Optimis Mewujudkan Ekonomi Hijau untuk Pembangunan Indonesia yang Berkelanjutan
- vstory
VIVA – Pada dasarnya, tidak ada satupun negara di dunia ini yang tidak melakukan pembangunan. Namun demikian, sering kali pembangunan yang dilakukan hanya terfokus pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Berbagai langkah untuk memperbesar angka Produk Domestik Bruto (PDB) menjadi target utama yang harus dicapai. Padahal, pembangunan yang baik sudah seyogyanya bersifat multidimensional dalam setiap prosesnya.
Salah satu aspek penting yang acap kali luput dari perhatian adalah kelestarian lingkungan. Lantas, pertanyaan kritis yang mungkin muncul adalah apakah pembangunan yang selama ini telah dilakukan sudah membawa perubahan menuju ke arah yang lebih baik tanpa adanya dampak risiko yang dapat merugikan? Adakah indikator yang mungkin bisa digunakan sebagai proxy alternatif untuk mengukur keberhasilan pembangunan berwawasan lingkungan?
PDB Hijau
Indonesia sebenarnya sudah berupaya dalam menetapkan konsep green economy (ekonomi hijau) dalam proses pembangunan ekonomi sesuai dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (TPB/Sustainable Development Goals (SDGs)).
Menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), TPB merupakan pembangunan yang menjaga peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat secara berkesinambungan dengan tetap menjaga peningkatan kualitas lingkungan hidup dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Selain itu juga, pembangunan ekonomi hijau termaktub di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Di dalam UU tersebut juga diatur indikator perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi yang mencakup dan meliputi penyusunan PDB dengan mempertimbangkan unsur penyusutan sumber daya alam dan kerusakan lingkungan, atau yang lebih dikenal dengan PDB hijau.
Penghitungan PDB hijau secara teknis umumnya memfokuskan pada kategori pertanian, kehutanan, dan perikanan, khususnya subkategori kehutanan dan penebangan kayu. PDB yang dihitung secara konvensional (PDB coklat) pada subkategori tersebut nantinya diakumulasi dengan nilai deplesi dan degradasi sumber daya hutan yang terjadi di setiap periode waktunya.
Nilai deplesi sumber daya hutan ini dapat dihitung dari nilai kayu yang ditebang dan melampaui batas penebangan lestari yang diizinkan setiap tahunnya (Annual Allowable Cut). Dalam praktiknya, penghitungan nilai deplesi ini sering kali didekati dengan total nilai provisi sumber daya hutan dan dana reboisasi yang dikeluarkan oleh Dinas Kehutanan terkait setiap tahunnya. Di sisi lain, penghitungan nilai degradasi sumber daya hutan dapat didekati dari total nilai ekonomi dari luas lahan yang mengalami deforestasi (Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2004).
Data Empiris
Indonesia pada umumnya sudah berupaya menetapkan konsep ekonomi hijau dalam pembangunan wilayahnya. Hal ini dapat terjelaskan dalam prioritas nasional ke-4 dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2022, yaitu mewujudkan pembangunan ketahanan pangan, air, energi, dan lingkungan hidup. Beberapa sasaran yang ingin dicapai pada misi tersebut antara lain seperti perbaikan kualitas lingkungan hidup, kualitas air dan udara, serta penurunan luas kerusakan kawasan hutan.
Hasil rilis Berita Resmi Statitsik (BRS) oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada 9 Mei 2022 menunjukan bahwa kategori pertanian, kehutanan, dan perikanan pada triwulan I 2022 masih mengalami pertumbuhan sebesar 9,09 persen dibandingkan triwulan IV 2021. Secara distribusi, kategori tersebut juga masih cukup mendominasi dalam pembentukan PDB triwulan I 2022. Dengan capaian sekitar 12,55 persen, menempatkan kategori tersebut di posisi ketiga terbesar dalam pembentukan PDB.
Sejalan dengan PDB, Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) yang dirilis oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengalami peningkatan beberapa poin bersama dengan komponen penyusunnya pada. Dari semula 70,72 (2020) menjadi 71,43 (2021). Hal ini utamanya disebabkan karena adanya peningkatan yang cukup signifikan pada komponen kualitas udara dan kualitas air laut.
Mewujudkan pembangunan ekonomi hijau pada dasarnya merupakan tanggung jawab kita bersama, tidak hanya pemerintah. Adapun beberapa langkah strategis yang dapat kita lakukan antara lain misalnya bagi pemerintah bisa memberikan perhatian yang lebih pada pemantauan kualitas air yang masuk ke badan sungai atau di aliran sungai. Selain itu regulasi yang ketat terkait dengan pembatasan jumlah kendaraan bermotor dengan memperhatikan umur kendaraan tersebut juga bisa dilakukan.
Bagi pelaku usaha dan masyarakat umum bisa membantu pemerintah misalnya dengan cara tidak melakukan pembakaran lahan secara liar. Mungkin itu semua akan sulit tercapai apabila kita hanya menunggu program kebijakan dari pemerintah. Namun, apabila semua elemen terlibat dan saling bahu-membahu, kita akan bisa menciptakan Indonesia yang maju tidak hanya dari sisi ekonominya tetapi juga kelestarian lingkungannya. Semoga.