Goodbye Kurikulum Merdeka
- vstory
VIVA – Kurikulum Merdeka nampaknya akan bernasib sama seperti Kurikulum-kurikulum sebelumnya. Kurikulum ini banyak menimbulkan kontroversi. Tidak adanya pelatihan guru dan uji cobanya yang terkesan diam-diam serta ekslusif di sekolah-sekolah terpilih yang dikenal dengan nama sekolah penggerak menimbulkan banyak tanya.
Banyak daerah yang tidak memiliki sekolah penggerak. Harapan Kemendikbudristek dengan bahwa sekolah penggerak akan memberikan semacam pelatihan kepada sekolah-sekolah non penggerak akan banyak menemui kesulitan. Untuk itu Kemendikbudristek mengucurkan dana 100 juta untuk satu sekolah penggerak. Dana itu dipakai untuk pelatihan guru, buku paket, dll. Yang jadi pertanyaan kecil adalah kalau memang di sekolah penggerak ada dana 100 juta untuk menerapkan kurikulum ini, mengapa sekolah lain tidak? Bukankah sekolah penggerak adalah sekolah unggulan Kemendikbudristek saat ini? Seharusnya yang di sekolah-sekolah unggulan, tidak perlu lagi ada pelatihan karena guru-guru dan kepala sekolahnya sangat kompeten.
Yang harus diberikan dana 100 juta itu adalah sekolah non penggerak yang notabone guru-guru dan kepala sekolahnya belum teruji dan belum lolos seleksi sekolah penggerak. Seperti yang kita ketahui bersama, sekolah penggerak yang menjalani proses seleksi adalah kepala sekolahnya dan hanya kepala sekolah dengan kualitas unggul yang lolos. Ketimpangan tidak adanya dana yang diberikan kepada sekolah non penggerak dalam implementasi kurikulum merdeka untuk sekolah non penggerak adalah bentuk diskriminasi terhadap sekolah-sekolah itu. Harusnya dengan alasan apapun, semua sekolah harus dapat untuk menerapkan aspek keadilan. Apakah sama, guru-guru yang mendapat pelatihan dengan yang hanya mendownload saja segala tetek bengek kurikulum merdeka dari aplikasi?
Masalah lain adalah, kurikulum ini akan memberi kebebasan tanpa melihat realitas yang ada. Misalnya seperti ini, bahwa guru boleh mempertimbangkan untuk tidak pindah ke materi yang lain jika materi sebelumnya belum dipahami siswa. Mari membuka mata, melihat fakta. Model yang dipakai adalah model Eropa dan Amerika yang di mana kelasnya adalah kelas yang kecil yang berisi paling banyak 20 orang siswa. Mudah bagi guru untuk sekadar berlama-lama pada satu materi. Bagaimana kelas-kelas di Indonesia? Apa semua satu kelas terisi hanya dua puluh siswa? Bagitu juga dengan projek, untuk kelass yang 30 bahkan 40 siswa, apa tidak mumet gurunya? Sebaiknya kemauan untuk maju juga dibarengi dengan penyediaan infrastruktur dan tenaga guru yang seimbang.
Mari menoleh ke kampung-kampung. Guru PNS bahkan sangat sedikit dan terkadang tidak ada sama sekali. Mengapa mempersoalkan guru PNS dan bukan PNS? Sedikit berlogika, apakah guru honorer juga dituntut untuk bersinergi dengan program pemerintah? PNS wajib. Perbaiki dulu tata kelola guru. Jangan timpang, bagaikan bumi dengan langit. Di desa paceklik guru, di kota mubazir guru alias berlebih. Idealkah menerapkan kurikulum canggih di sekolah-sekolah yang acak kadut baik fasilitas maupun tenaga guru yang defisit? Mengapa tidak menyamakan fasilitas sekolah desa dan kota? Atau jangan-jangan kurikulum ini memang hanya cocok diterapkan di sekolah-sekolah unggul.
Jurus Kemendikbudristek yang mengklaim bisa diterapkan di semua sekolah juga belum teruji bukan? Justru baru berhasil diterapkan di sekolah-sekolah penggerak, itupun diberi dana 100 juta dalam pelaksanaanya. Dengan semua kondisi di atas, maka apabila di 2024 ada penguasa baru dengan slogan dan misi baru, maka kurikulum ini juga tidak mustahil akan diganti lagi di 2024. Jangan lupa, isu bahwa kurikulum ini belum memiliki dasar hukum juga masih berhembus kencang, jadi? Mari menerapkan sebelum say goodbye to kurikulum Merdeka.