Pengkhianatan Kaum Intelektual Refleksi Keindonesiaan

Sumber : shutter stock
Sumber :
  • vstory

VIVA – Bias fungsi cendekiawan sudah berlangsung lama dalam masyarakat. Cendekiawan dipandang sebagai sosok -sosok yang tidak akan pernah berkhianat kepada masyarakat. Pembahasan tentang pegkhianatan kaum cendekiawan bahkan menjadi ramai ketika Julien Benda menulis satu buku yang cukup kotroversi yaitu " Pengkhianatan Kaum Cendekiawan”. Maklum saja, pandangan masyarakat selama ini setengah mengagungkan kaum cendekiawan sebagai manusia cerdik pandai.

Julien Benda, dengan keras mengkritik cendekiawan yang bermertamorfosis menjadi politisi. Menurut Benda, merupakan sebuah bentuk pengkhianatan kaum cendekiawan apabila mereka melibatkan diri dalam kegiatan politik kemudian melupakan tugasnya sebagai penjaga moral bangsa.

Khusus di Indonesia, beberapa dekade belakangan banyak cendekiawan yang justru berubah arah menjadi politisi. Sejak Amien Rais menjadi mesin reformasi 98 dan kemudian mendirikan Partai Amanat Nasional kemudian Partai Ummah, sejak saat itu fenomena cendekiawan merangkap politisi bak jamur di musim hujan, tumbuh subur dan berkembang. Ketika cendekiawan berubah menjadi politisi, maka sebagian besar kecedekiwananya akan luntur ditutupi aktivitas politik yang di mata masyarakat adalah sebagai sesuatu yang diasumsikan dunia gelap yang kadang-kadang kotor.

Dalam politik, tidak ada musuh yang abadi yang ada adalah kepentingan yang abadi. Bertahun-tahun kita menyaksikan bagaimana cendekiawan-cendekiawan yang dekat dengan kekuasaan dan kemudian menghuni hotel pradeo karena ikut terlibat dalam kasus -kasus KKN, nama besar dan kampus tempat mereka mengajar ikut terlumuri beban dosa yang mereka buat.

Demo kemarin pun memperlihatkan bagaimana seorang cendekiawan yang terlalu memihak kekuasaan pada akhirnya harus menjalani pengadilan jalanan atau justice streat. Saya tidak membenarkan kekerasan atas nama apapun. Namun, seyogyanya, sebagai seorang cendekiawan tidak perlu memperlihatkan keberpihakan kepada penguasa dengan terang benderang. Membuat video-video kontoversi yang menyulut banyak ketegangan dan kemarahan di tengah masyarakat adalah tidak bijak. Seorang cendekiawan pandai menempatkan diri sebagai mesin provokator kemajuan sains bukanya provokator politik di masyarakat.

Edward Said, seorang profesor  Universitas Colombia, menulis buku yang berjudul  Representation of The Intellectual menegaskan bahwa cendekiawan ialah mereka yang  pandai, tidak terikat dan tidak ikut-ikutan menceburkan diri dalam sebuah sistem kekuasaan. Cendekiawan dihargai karena ilmunya yang membela masyarakat dari penyimpangan kekuasaan birokrat. Mereka memiliki pandangan yang bisa menuntun bangsa untuk tidak terjebak dalam hegemoni kekuasaan, sehingga apa lacur, cendekiawan yang menjual idealisme menjadi bahan cemoohan di masyarakat.

Sebaiknya cendekiawan kembali ke khittah asal usul dan fungsinya. Mereka adalah penjaga dan penyeimbang ketidakbenaran dalam bernegara. Bukan ikut-ikutan culas dan menggunakan reputasi yang mereka miliki untuk melegitimasi kekuasaan yang salah arah dengan menjadi kaki tangan para penguasa. Masyarakat rindu sosok cendekiawan murni yang tidak melacurkan diri kepada kepentingan politik dan kekuasaan.

Berkacalah pada cendekiawan-cendekiaan dunia yang memberi begitu banyak manfaat, dalam kehidupan masyarakat. Contohnya saja James Watt, Wright Bersaudara, Edison dll. Dengan ilmunya mereka bisa mewujudkan revolusi inndustri yang mengantarkan kita dan meletakkan batu pertama masyarakat 1.0, 2.0 dan sampai ke 4.0 saat ini.

Peran cendekiawan di tengah hingar bingar politik rasa-rasanya begitu mencoreng idealisme dan nama besar yang mereka pikul. Ketika masyarakat merasakan pengkhianatan yang mereka lakukan, maka jangan salahkan masyarakat jika kemudian mereka akan dilabeli sebagai politisi kotor.

Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.