Kurikulum Menteri Nadiem, Kurikulum Setengah Hati

Sumber : flick.com
Sumber :
  • vstory

VIVA – Ketidaktegasan Kemendikbudristek dalam pengunaan kurikulum membuat banyak pihak gerah. Maklum saja keputusan Kemendikbudristek memberi opsi sekolah boleh memakai dan memilih kurikulum yang dianggap tepat untuk sekolah masing-masing menimbulkan polemik berkepanjangan.

Bagaimana  kemudian mengukur pencapaian dan kualitas pendidikan Indonesia dengan kurikulum warna-warni ini?  Padahal Kepala BSKAP Anindito Aditomo sudah menegaskan bahwa kurikulum Merdeka tidak bermasalah diterapkan di mana saja di wilayah Indonesia. Saya sudah membahas secara mendalam dalam opini saya di Harian Kompas tanggal 17 Februari 2022, dengan judul “Membincang Kurikulum Baru”.

Kalau saya melihat, akar masalah penolakan sejumlah pakar pendidikan, organisasi pendidikan dan juga organisasi guru terletak pada keburu-buruan penerapan kurikulum ini.

Yang pertama adalah kurikulum ini dijalankan secara senyap di 2.500 sekolah penggerak di seluruh Indonesia. Sekolah penggerak adalah sekolah-sekolah unggul yang melewati serangkaian proses ketat dalam rekrutmennya. Dalam penerapanya pun sekolah-sekolah penggerak tersebut  mendapat bantuan dana yang besar untuk menerapakan kurikulum ini yang tidak didapat oleh sekolah lain. Sekolah penggerak juga adalah bentuk sekolah unggulan kemdikbud saat ini.

Dalam seleksinya,  yang diuji adalah kepala sekolahnya dengan prosedur yang ketat.. Jadi klaim kepala Litbang tentang kurikulum Merdeka bisa diterapkan di sekolah mana saja belum terbukti. Terlebih dalam pelaksaannya teryata pemerintah memilih opsi membebaskan, bukan mewajibkan.

Belum pernah ada dalam sejarah Indonesia kerancuan model pendidikan yang tidak seragam ini. Apa beratnya diwajibkan semua sekolah memakai kurikulum Merdeka? Toh mandat yang diemban Kemdikbudristek jelas, sebagai penyelenggara pendidikan untuk urusan hulu atau pembuat kebijakan. Tidak pernah ada  dalam sejarah Indonesia ada sekolah yang melawan ketika diwajibkan memakai kurikulum.

Yang kedua adalah tidak adanya naskah akademik dan pelibatan pakar serta uji publik dalam kurikulum ini. Model yang diterapkan adalah model Sangkuriang yang membangun Tangkuban Perahu dalam satu malam. Tiba-tiba diluncurkan, tiba-tiba ada. Bahkan PGRI mengaku saat ini sangat sulit mengakses kebijakan-kebijakan Kemdikbudristek. Untuk itu, perlu diubah tatacara komunikasi Kemdibudristek dalam pembuatan dan penyampaian kebijakan.

Yang ketiga, kurikulum Merdeka minim sosialisasi. Dengan mengandalkan 2.500 sekolah penggerak, guru penggerak untuk menjadi semacam pelatih gratis penerapan kurikulum adalah naïf, terlebih hanya mengharapkan guru mengunduh dari platform Merdeka dan serta merta paham apa yang harus dilakukan, hal itu adalah sesat. Bagaimana penerapannya di sekolah? Koloborasi proyek antar mata pelajaran seperti apa? Kalau sekolah elit dengan guru-guru unggul dan juga kepala sekolah penggerak jelas masalah yang timbul minimalis. Bagaimana sekolah-sekolah yang minim akses, guru –guru di dominasi guru  honerer yang miskin pengalaman, kepala sekolah yang bukan kepala sekolah penggerak? Apa yang harus dilakukan?

Menarik, mencermati rapat Panja kurikulum komisi 27 Maret 2022 yang ditayangkan live di mana komisi yang menangani pendidikan ini  melibatkan pakar hukum dan pendidikan. Mayoritas menyoal penerapan kurikulum yang belum melalui uji publik kurikulum Merdeka dalam pelaksanaannya. Malahan ada yang menyarankan satu memakai satu kurikulum generik yang lebih baik yaitu misalnya K13. Kesemua masalah bermula dari tidak adanya keterbukaan terhadap publik.

Dengan demikian, sangat disayangkan mengingat begitu banyak energi guru-guru yang terbuang dalam memahami kurikulum ini. Sampai saat ini, kurikulum Merdeka masih saja saja  mendapat tantangan dari berbagai elemen masyarakat. Tahun depan di 2023 menurut Dede Yusuf adalah tahun sibuk. Ketika melakukan konferensi pers tentang revisi RUU Sisdiknas sehingga nasib kurikulum ini akan semakin tragis.

Jika saja saat ini semua sekolah memakai kurikulum Merdeka, maka dipastikan di tahun 2024, sekolah-sekolah di Indonesia sudah dua tahun memakai kurikulum yang seragam. Sehingga untuk diganti lagi kecil kemungkinan.

Alasan utama tidak mewajibkan kurikulum Merdeka adalah untuk tidak memaksa sekolah juga tidak bisa diterima akal sehat. Bukankah Kepala Litbang kurikulum sudah menjamin bisa diterapkan di semua sekolah? Ketidaktegasan yang berakibat fatal. Begitu banyak energi  yang terbuang dan guru-guru yang ter-PHP, dengan mimpi-mimpi pembelajaran lebih merdeka harus pupus dan terkubur akibat banyaknya masalah yang timbul dalam penerapannya.

 

Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.