Mengkhawatirkan Peta Jalan Pendidikan Indonesia

Sumber : Flickar.com
Sumber :
  • vstory

VIVA – Sejak dikeluarkan bulan Mei tahun 2020, draf peta jalan pendidikan Indonesia sudah menuai kontroversi. Pasalnya peta jalan tidak memuat frasa kata agama yang dianggap bertolak belakang dengan pandangan hidup bangsa ini.

Saya justru melihat yang dibutuhkan adalah blue print pendidikan dan bukannya peta jalan. Peta jalan pendidikan Indonesia juga menjadi sedikit aneh karena sangat menyerupai OECD learning compass 2030. Bahkan di halaman 7 peta jalan pendidikan Indonesia, OEDC learning compass 2030 dimasukan secara utuh beserta negara yang akan mengadopsi learning compass tersebut.

Melihat Indonesia memasukkan OECD learning compass itu dalam peta jalan pendidikan Indonesia menjadi sedikit absurd, mengingat Indonesia bukanlah anggota dari OECD.

Sebagai negara besar, merdeka dan berdaulat kita terkesan hanya menjiplak apa yang telah dibuat oleh lembaga internasional. Masalah pendidikan di Indonesia, sangat jauh bila dibandingkan dengan negara-negara maju tersebut. Sebagai bangsa yang hidup di tataran global, Indonesia tidak akan bisa melepaskan diri dari kemajuan teknologi 4.0 dan masyarakat 5.0.

Namun, semuanya tidak akan berjalan bila masalah-masalah dasar yang masih mencengkram pendidikan Indonesia tidak bisa diselesaikan secara fundamental.

Apa Itu Peta Jalan?

Peta jalan, jika ditilik dari bahasa adalah petunjuk jalan. Yang dibutuhkan negara ini adalah blue print, atau cetak biru. Banyak masalah pendidikan yang masih menjadi fenomena gunung Es. Menyimpan hal-hal krusial yang tidak terlihat dipermukaan.

Mari sejenak melihat Malaysia, sebagai negara persemakmuran Inggris justru negara jiran kita itu tidak ikut-ikutan mamasukan model cetak biru pendidikan Inggris dalam blue print pendidikan mereka. Namanya blue print pendidikan Malaysia 2013-2025. Malaysia secara detail menguraikan apa yang akan dicapai dan permasalahan apa yang harus dibereskan sejak 2013 sampai 2025.

Blue print itu dikhusukan untuk memperbaiki pendidikan dasar dan menengah Malaysia. Blue print setebal 292 halaman itu bertujuan untuk “ Menyiapkan siswa-siswa Malaysia mencapai skill pembelajaran abad 21”. Mereka menyiapkan 11 strategi untuk mencapai tujuan dari blue print tersebut.

11 strategi itu dijabarkan dengan detail beserta langkah-langkah yang dilakukan. Strategi yang pertama adalah menyiapkan dan membagikan fasilitas dan akses yang sama untuk semua siswa Malaysia sesuai standar internasional. Ada delapan langkah yang dilakukan oleh pemerintah Malaysia untuk mencapai poin satu tersebut.

Strategi kedua adalah memastikan siswa Malaysia menguasai bahasa Melayu dan bahasa Inggris dengan baik dan juga bahasa internasional lain. Ada lima langkah yang dilakukan pemerintah Malaysia.

Strategi keempat dan kelima khusus ditujukan untuk guru dan kepala sekolah. Tidak lupa juga diuraikan gap fasilitas pendidikan antar negeri di Malaysia termasuk juga gap antara sekolah negeri dan swasta, beserta apa yang harus dilakukan untuk mengatasinya.

Blue print seperti inilah yang dibutuhkan oleh Indonesia, bukan hanya menguraikan hal-hal umum yang sudah diketahui bersama di era disrupsi ini. Seperti data-data jumlah pekerjaan yang akan hilang, namun sisi-sisi krusial yang mengancam pendidikan tidak diuraikan.

Misalnya saja, tata kelola guru yang tidak efisien, bagaimana mengatasi jumlah ketimpangan guru di kota dan desa? Penyebaran guru yang tidak merata sungguh mengkhawatirkan. Di Kota guru-guru surplus bahkan berlebihan sampai harus mencari sekolah-sekolah untuk kecukupan jam sertifikasi, di daerah tertentu terjadi paceklik guru.

Apa yang harus dilakukan oleh Kemendikbudristek tidak diuraikan secara mendetail. Jika pada cetak biru, hal ini bisa dibuat langkah-langkah lebih konkret. Membuat peta jalan pendidikan dan hanya memburu hal-hal besar seolah-olah pendidikan Indonesia sudah tidak memiliki masalah –masalah dasar yang harus diselesaikan. Upaya apa yang akan dilakukan oleh Kemendikbud untuk menuntaskan sekolah-sekolah yang belum terjamah listrik dan internet? Bagaimana rencana Kemendikbudristek untuk menaikan APK dan APM siswa?

Program Merdeka Belajar dalam Peta Jalan Pendidikan Indonesia

Kemendikbudristek juga memasukkan Merdeka belajar sebagai solusi semua masalah pendidikan Indonesia. Yang jadi pertanyaan besar, apakah Kemendikbudristek bisa memastikan bahwa setelah Pilpres 2024, program Merdeka belajar akan terus berlanjut? Seandainya Menterinya ganti, apakah kebijakan tidak kembali bersalin rupa? Jangan lupa, negara ini tidak menjadikan pendidikan sebagai kawasan yang steril politik. Sebagaimana Pak Menteri yang mengutak-atik K13, kemudian meluncurkan kurikulum merdeka sebagai gantinya, kemungkinan Mentrei baru di tahun 2024 juga akan mengutak-atik program Merdeka belajar jika Menterinya ganti dan dianggap tidak sesuai dengan visi dan misi pemerintahan selanjutnya. Sebaiknya hal-hal ini diantisapasi dalam draf peta jalan pendidikan Indonesia 2035.

Peta jalan ini harus dibuat netral dan menyasar hal-hal penting yang perlu diselesaikan ketimbang memasukkan program-program saat ini yang belum bisa dijamin apakah akan berumur panjang atau tidak. Tidak ada jaminan, bahwa pendidikan tidak akan disusupi kepentingan politik. Pendidikan yang harusnya tidak boleh dicampuri oleh syahwat kepentingan sesaat, sampai saat ini masih belum bisa terwujud.

Khusus sekolah penggerak dalam peta jalan pendidikan Indonesia sasarannya adalah mewujudkan pilot projek 100 sekolah penggerak di provinsi yang mendukung. Hal ini adalah diskriminasi untuk sekolah-sekolah lain. Yang dimaksud dengan provinsi yang mendukung itu yang seperti apa kriterianya? Adakah ada provinsi yang tidak mendukung?

Dalam UUD dasar, amanat yang harus dijalankan adalah tidak boleh ada ekslusifitas dalam dunia pendidikan. Mari sedikit membuka memori program Kemendikbudristek yang bernama RSBI atau sekolah rintisan berstandar international. Program itu meresahkan banyak kalangan. Di samping berbiaya lebih mahal, pengelolaanya yang lebih baik dari seolah non RSBI, memakai bahasa asing sebagai bahasa pengantar dan yang paling penting adalah menciptakan kastanisasi sekolah.

Dengan semua alasan di atas RSBI resmi dibubarkan tahun 2013. Jumlah RSBI di seluruh Indonesia saat itu sebanyak 1300 sekolah dan program itu sudah digulirkan sejak tahun 2006. Saat ini ada 2500 sekolah penggerak. Data jumlah sekolah Indonesia tahun 2021 menurut data BPS adalah 217.283 sekolah. Sekolah-sekolah penggerak diperlakukan istimewa. Contoh kecil saja, sebelum diluncurkan kurikulum Merdeka dipakai di sekolah-sekolah itu yang sebelumnya namanya adalah kurikulum prototipe satahun sebelumnya dan mendapat bantuan 100 juta per sekolah dalam pelaksanaanya.

Sekolah-sekolah non penggerak, tidak mendapatkan perlakuan yang sama. Hal ini bisa memicu kecemburuan dan perasaan dianaktirikan serta merasa lebih buruk bagi sekolah non sekolah penggerak.

Target Skor PISA Rendah

Yang menjadi kejanggalan lainnya adalah sebagai negara yang sangat terpengaruh oleh hasil tes PISA, dalam memperbaiki kebijakan pendidikan, Kemdikbud pada peta jalan 2035 justru memasang target pencapaian yang rendah untuk pencapaian PISA hingga ke 2035.

Pada peta jalan itu, hanya ditargetkan naik hingga 2025 misalnya hanya di 396 bahkan dibawah pencapaian PISA tahun 2018. Jangan lupa pada laman OECD, model tes PISA tahun 2025 akan ditekankan pada asesmen baru yaitu salah satunya adalah foreign language atau kemampuan berbahasa asing. Bagaimana mengantisapasi hal itu?

Upaya apa yang akan dilakukan juga belum diuraikan secara detail. Jika selama ini yang disorot adalah kemampuan baca siswa. Bagaimana minat baca guru? Yang selalu diangkat kepermukaan adalah minat baca siswa. “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Apakah minat baca guru-guru di Indonesia sudah tinggi? Siswa akan meniru guru.

Bank Dunia tahun 2018, bahkan mengatakan bahwa siswa Indonesia yang berumur 15 tahun berada pada kemampuan baca di bawah tahap dua berdasasrkan tes PISA dan 55 persen masyarakat Indonesia yang sudah meyelesaikan studi mengalami apa yang disebut dengan “ iliterasi” yaitu hanya mampu membaca tanpa mengetahui apa yang dibaca. Atau buta huruf fungsional. Sebaiknya dibuat program untuk menggalakan dan mencintai membaca buku untuk guru dan siswa.

Bagaimana mungkin nilai literasi tinggi kalau berdasarkan penelitian lembaga internasional salah satunya Unesco, mengatakan minat baca masyarakat Indonesia sangat rendah. Hanya ada satu orang yang membaca buku dibanding 1000 penduduk. Penelitain lainnya yang bertema World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61).

Padahal, dari penyediaan infrastuktur untuk mendukung membaca, peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa. Data BPS tahun 2022, menempatkan Jogyakarta sebagai provinsi dengan minat baca tertinggi tinggi yaitu satu jam 46 menit per hari. Negara maju menghabiskan waktu 6 jam per hari untuk membaca buku. Ironisnya kemampuan bangsa Indonesia menatap gadget berdurasi 9 jam sehari.

Kesemua masalah-masalah di atas memerlukan penyelesaian yang terukur dan terperinci dalam satu blue print atau cetak biru. Jika hanya peta jalan seolah-olah sudah tidak ada lagi masalah-masalah ekstrem dalam dunia pendidikan Indonesia dan hanya menjadi petunjuk akan apa yang dilakukan dengan lompatan-lompatan yang besar ke depan.

Seandainya yang dibuat adalah blue print, diharapkan pemerintah selanjutnya punya patokan apa yang harus dilakukan dan menuntaskan masalah-masalah yang belum terurai yang menjadi sengkarut dan benang kusut pendidikan di Indonesia yang masih saja berkubang dengan masalah kualitas yang tidak juga kunjung terselesaikan dari tahun ke tahun.

 

 

Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.