Adaptasi Baru Atasi Langka dan Mahalnya Minyak Goreng

Ibu rumah tangga sedang melakukan aktivitas memasak (Dokumen pribadi)
Sumber :
  • vstory

VIVA – Dalam dua bulan ini masyarakat Indonesia dihebohkan dengan kelangkaan minyak goreng. Betapa tidak, minyak goreng sebagai salah satu kebutuhan pokok dalam kehidupan sehari-hari sangat sulit dicari ketersediaannya baik di pasar, minimarket dan toko-toko sekitar rumah warga.

Rak minimarket yang biasanya tersedia minyak goreng berbagai merek dan kemasan, lebih sering kosong. Kalaupun ada, stok terbatas dan langsung ludes terjual. Sementara meskipun minyak goreng kemasan ada di supermaket, tapi harganya selangit.

Tidak dapat dipungkiri, sebagai salah satu kebutuhan pokok, minyak goreng menjadi idola karena hampir setiap hari mengolah masakan menggunakan minyak goreng. Bagi para ibu-ibu, menyediakan stok kebutuhan bahan pokok seperti beras, gula, minyak goreng, telur merupakan hal yang wajar.

Dan bagi pengusaha kuliner, minyak goreng juga menjadi kebutuhan pokok yang harus tersedia. Namun sumber mata pencaharian mereka beberapa pekan belakangan ini terhambat karena permasalahan minyak goreng yang langka dan harga makin meroket.

Keresahan akan kebutuhan minyak goreng yang langka membuat masyarakat berbondong-bondong rela antre untuk mendapatkan minyak goreng. Bahkan panic buying dilakukan masyarakat tatkala tahu ketersediaan minyak goreng di toko atau minimarket. Kehebohan ini terjadi karena masyarakat takut tidak bisa mendapatkan minyak dalam jangka waktu yang panjang.

Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi telah mencabut Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 6/2022 tentang HET Minyak Goreng. Kementerian Perdagangan (Kemendag) per 16 Maret 2022 menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 11/2022 dan mencabut ketentuan HET Permendag No 06/2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng.

Hal ini disampaikan Mendag dalam rapat kerja (Raker) dengan Komisi VI DPR RI terkait Pembahasan Mengenai Harga Komoditas dan Kesiapan Kementerian Perdagangan dalam Stabilisasi Harga dan Pasokan Barang Kebutuhan Pokok Menjelang Puasa dan Lebaran, pada 17/3/2022.

Sehari setelah pemerintah mengumumkan perubahan kebijakan minyak goreng dari harga eceran tertinggi (HET) dengan wajib pemenuhan domestik (domestic market obligation/ DMO) menjadi mekanisme pasar dengan subsidi untuk minyak goreng curah, minyak goreng kemasan tidak lagi menjadi barang langka dan mendadak membanjiri supermarket. Hal ini semakin membuat masyarakat bertanya-tanya mengapa hal itu bisa terjadi.

Fakta bahwa Indonesia merupakan produsen terbesar minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang merupakan bahan baku pangan pokok tersebut, Kemendag telah menjelaskan penyebab harga minyak goreng fluktuatif mengikuti harga CPO dunia. Indonesia memang produsen CPO terbesar, namun kondisi di lapangan menunjukkan sebagian besar produsen minyak goreng tidak terintegrasi dengan produsen CPO.

Sebenarnya yang masyarakat inginkan adalah ketersediaan minyak goreng selalu ada dengan harga terjangkau. Karena kelangkaan seperti ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Masyarakat pasti membeli sesuai kebutuhannya, begitu pula pengusaha kuliner. Mahalnya minyak goreng kemasan non subsidi dan susahnya mendapatkan minyak curah masih menjadi masalah serius yang wajib diselesaikan oleh pemerintah.

Kaum ibu-ibu yang telah terbiasa memasak berbagai olahan dengan minyak goreng merasakan dampak yang luar biasa. Banyak saran dan tips agar kebiasaan menggoreng dan memasak dengan menggunakan minyak goreng dikurangi dan mengganti dengan masakan yang diolah dengan cara dikukus atau direbus. Tetapi hal ini bukanlah hal yang mudah dengan merubah kebiasaan dalam waktu singkat. Masalah masakan adalah selera bagi setiap orang. Tidak bisa dipaksakan walau dengan alasan lebih sehat tanpa minyak goreng.

Mengganti masakan dengan berbagai macam olahan kukusan dan rebusan bukanlah menyelesaikan masalah. Bagi para ibu-ibu hal ini mungkin saja bisa dilakukan pelan-pelan dengan mengurangi penggunaan minyak goreng. Lalu bagaimana dengan para pengusaha kuliner seperti penjual gorengan atau pengusaha kuliner yang menjual berbagai macam masakan dengan menggunakan minyak goreng? 

Tidak bisa dibayangkan ketika penjual lalapan dengan berbagai macam olahan ikan atau ayam mengganti dengan olahan yang direbus atau dikukus, batagor, ketoprak, rujak cingur, rawon, soto, bakso, gado-gado yang sebagian besar bahannya atau bumbunya ditumis menggunakan minyak goreng.

Tidak terbayang penjual gorengan tahu isi, bakwan, tempe mendoan, pisang goreng, roti goreng tiba-tiba menjadi berkurang drastis penghasilannya karena harga minyak goreng non subsidi yang mahal dan minyak subsidi susah diperoleh.

Salah satu makanan favorit masyarakat adalah gorengan yang bisa dijumpai di kala pertemuan arisan, nongkrong di warung, atau bahkan di kantin kantor maupun sekolah juga menyediakan gorengan sebagai sajian.

Saat musim hujan, gorengan adalah jajanan favorit keluarga selain mi rebus dan bakso. Sambil menonton TV, gorengan terhidang bersama minuman hangat. Hal ini yang menambah kehangatan saat berkumpul dengan keluarga.

Adaptasi Baru Antisipasi Langkanya Minyak Goreng

Agar dampak langkanya minyak goreng ini tidak terlalu menyiksa masyarakat, adaptasi baru mengantisipasi langkanya minyak goreng harus dimulai  salah satunya dengan mulai mengurangi masakan atau makanan yang harus digoreng atau ditumis. 

Membiasakan diri dengan mengurangi makan makanan yang berminyak akan memberi dampak positif bagi kesehatan. Setidaknya, jika dalam seminggu penuh dengan olahan masakan yang ditumis atau digoreng, maka intensitasnya dikurangi menjadi seminggu 3 atau 4 kali dengan olahan masakan yang menggunakan minyak goreng. Mulai berselancar di google masakan apa saja yang diolah tanpa minyak goreng. Masakan yang dikukus atau direbus pasti banyak kita jumpai di google dengan berbagai resep tersedia.

Bagi pengusaha kuliner, penggunaan minyak goreng bisa disikapi dengan sedikit menaikkan harga atau mengurangi ukuran dan kapasitas/ volumenya, tergantung dari jenis makanan atau masakan yang dijual. 

Hal ini berat dan belum menjadi solusi, tetapi masyarakat selalu membutuhkan makanan yang cepat saji. Bisa dipastikan walau kapasitas atau isinya lebih sedikit dengan harga sama seperti sebelumnya, masyarakat masih mau membelinya. Atau tetap menaikkan harga yang sesuai, sambil melihat respons pasar. Jika pasar masih sangat membutuhkan, pengusaha kuliner tentu bisa merasakan keuntungan dari penjualannya.

Nah, bagaimana masih tetap setia dengan menu goreng-gorengan, mengurangi gorengan atau beralih ke makanan yang lebih sehat tanpa minyak goreng?

Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.