Pembangunan Manusia dan Sadar Vaksinasi

Sumber foto: Freepik.com
Sumber :
  • vstory

VIVA – Antara capaian vaksinasi dan tingkat pembangunan manusia terdapat hal yang menarik ketika dihubungkan, khususnya di Indonesia. Pembangunan manusia yang diukur dengan angka indeks pembangunan manusia (IPM) ternyata mempunyai hubungan dengan capaian vaksinasi Covid-19.

Provinsi-provinsi yang memiliki capaian vaksinasi relatif tinggi, juga memiliki IPM yang relatif tinggi. Sebaliknya provinsi-provinsi dengan tingkat vaksinasi yang relatif rendah mempunyai IPM yang juga relatif rendah.

Capaian vaksinasi berjalan lurus dan searah dengan capaian IPM. Secara statistik, hubungan antaranya keduanya bermakna cukup kuat. Kesimpulan ini setidaknya berdasarkan hasil pengamatan data pada saat vaksinasi per tanggal 20 Februari 2022. Tentu saja hal ini bisa berubah, sebab vaksinasi yang masih terus berjalan ke depannya.

Namun temuan ini dapat menjadi bahan perhatian untuk kemudian diambil langkah antisipasi dan mitigasi agar target vaksinasi dapat tercapai. Target vaksinasi yang tercapai akan berdampak positif untuk membentuk kekebalan kelompok (herd immunity).

Di luar hal itu, langkah percepatan capaian vaksinasi juga penting. Sebab semakin cepat menuju target, semakin mengecil pula tekanan pandemi pada berbagai sendi kehidupan masyarakat. Melihat faktanya, memasuki tahun ketiga pandemi, Indonesia masih dihadapkan pada capaian target.

Hingga 20 Februari 2022, Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan mencatat masyarakat Indonesia yang divaksin lengkap sudah mencapai 67,37 persen. Jika yang disyaratkan 70 persen untuk membentuk kekebalan kelompok secara kasarnya, maka diperlukan sekitar 3 persen saja lagi.

Namun sayangnya kondisi ini tidak merata. Hanya ada 8 (delapan) provinsi yang capaiannya di atas 70 persen. Bahkan ada provinsi yang baru mencapai 22 persen. Artinya masih banyak provinsi lain mengejar target vaksinasi yang ditetapkan. Kondisi ini memberi petunjuk pentingnya mengambil langkah-langkah dalam rangka percepatan vaksinasi.

Percepatan vaksin di lapangan dihadapkan pada berbagai tantangan. Ini tercermin dari alasan orang tidak bervaksin yang terungkap melalui survei-survei. Alasannya beragam. Johns Hopkins Center for Communication Programs (JHCCP) menemukan masih ada 34 persen warga Indonesia yang tidak ingin mendapatkan vaksin Covid-19.

Survei yang dilaksanakan Mei-Oktober 2021 tersebut mencatat alasan tersebut di antaranya karena ragu terhadap keamanan vaksin, menunggu, khawatir, karena agama, dan merasa yakin tidak memerlukan vaksin. Demikian laporan detik.com pada tanggal 15 Oktober 2021.

Survei lain yang dilakukan oleh BPS pada Mei 2021 terkait perilaku masyarakat pada masa PPKM darurat juga merekam alasan keengganan orang untuk bervaksin. BPS menemukan masih ada di kalangan masyakarat yang belum bervaksin karena khawatir dengan efek samping dan atau tidak percaya efektivitas vaksin. Jumlah mereka seperlima dari responden survei. Angka yang cukup besar.

Sikap antipati masyarakat terhadap vaksin inilah yang dapat dijelaskan melalui IPM. IPM sendiri adalah sebuah indikator penting yang digunakan untuk mengukur keberhasilan dalam upaya membangun kualitas hidup manusia (masyarakat/penduduk). IPM dibentuk oleh tiga dimensi yakni umur panjang dan hidup sehat, pengetahuan, dan standar hidup layak.

Satu satu indikator yang mewakili dimensi pengetahuan adalah rata-rata lama sekolah. Rata-rata lama sekolah mencerminkan tingkat pendidikan secara rata-rata penduduk sebuah wilayah.

Saat ini rata-rata lama sekolah penduduk Indonesia mencapai 8,54 tahun. Ini setara dengan jenjang sekolah di kelas 8 atau SMP kelas 2. Beberapa provinsi berada pada kelompok yang tinggi sekitar 10 tahun. Bahkan Jakarta telah mencapai 11,17 tahun. Hampir menuntaskan wajib belajar 12 tahun. Namun ada juga provinsi yang baru mencapai 6 tahun.

Tingkat pendidikan mempunyai pengaruh terhadap pola pikir seseorang memandang sebuah permasalahan. Pola pikir pada akhirnya menentukan bagaimana seseorang bersikap dan mengambil keputusan. Termasuk pandangannya terhadap vaksin Covid-19. Pandangan yang dibentuk berdasarkan rasionalitas sesuai jenjang tingkat pengetahuan yang didapatnya.

Sebagaimana yang diketahui, bahwa di dalam vaksin berisi virus yang dilemahkan. Tubuh manusia yang disuntikkan vaksin dilatih untuk membentuk kekebalan secara sengaja. Kekebalan ini muncul karena tubuh merespons dengan memproduksi zat antibodi. Bila antigen penyakit Covid-19 misalnya menyerang kembali, maka akan muncul reaksi imunitas yang lebih kuat dan cepat dari tubuh. Karena tubuh yang sudah divaksin telah mengenali virus Covid-19. Itulah sebabnya mengapa tingkat keparahan dan tingkat kematian jauh lebih rendah dialami oleh mereka yang sudah divaksin.

Pengetahuan tentang vaksin seperti ini lebih mudah diterima oleh mereka yang berpendidikan. Sebab di bangku sekolah mereka telah mendapatkan informasi yang serupa. Namun tidak berjalan mulus pada mereka yang belum mendapatkannya. Akan ada banyak alasan untuk menolak vaksin.

Rasionalitas dalam berpikir belum menyeluruh dipahami oleh kelompok kedua ini. Oleh karena itu sangat penting sekali untuk memberikan pendekatan secara persuasif dan kekeluargaan. Sebab jika hanya sosialisasi biasa, apalagi hanya satu arah, maka informasi ini hanya seperti “angin lalu”.

Melihat kondisi di atas, agar dapat terfokus mengejar ketertinggalan, maka wilayah baik di level provinsi hingga kabupaten/kota yang mempunyai IPM serta rata-rata lama sekolah yang relatif rendah dapat menjadi prioritas awal. Jakarta, Bali, Yogyakarta, Kepulauan Riau dan Kalimantan Timur adalah lima provinsi teratas dengan IPM tertinggi seluruh Indonesia. Di sisi lain kelimanya juga telah mencapai vaksinasi paling tinggi. Bahkan jauh melesat melebihi target 70 persen. Semoga dengan percepatan vaksinasi, dapat mengejar target kekebalan kelompok.

Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.