Kisah Pangeran Antasari Menentang Eksploitasi Alam Kalimantan

Dokpri. Gunung Tumpang Pitu
Sumber :
  • vstory

VIVA – Beberapa hari ini, tengah sering kita dengar berbagai peristiwa yang berkaiatan dengan persoalan lingkungan. Tidak sekadar dampak yang ditimbulkan, melainkan pemahaman mengenai latar belakang peristiwanya.

Ada sebab dan akibat yang saling berkaitan. Sehingga publik pada akhirnya membuat kesimpulan-kesimpulannya sendiri mengenai latar belakang peristiwanya.

Seperti peristiwa longsor, banjir bandang, kebakaran hutan, ataupun bencana alam lainnya. Semua dapat dikatakan memiliki sebabnya. Dalam hal ini adalah rusaknya alam, sebagai soko guru kehidupan manusia. Suatu problematika umum yang kelak memberi konsekuensi kepada generasi penerus negeri.

Latar belakang eksploitasi alam yang pada akhirnya disebut-sebut sebagai biang keladinya. Realitas penyusutan hutan lindung di Indonesia akhir-akhir ini menjadi sorotan dunia, di tengah persoalan iklim global. Tertulis dalam sejarah Indonesia, perlawanan terhadap upaya-upaya perusakan alam telah terjadi sejak abad ke-18. Kesultanan Banjar mewujudkan kegelisahan terhadap kerusakan alam di Kalimantan dengan jalan perlawanan terhadap kolonialis Belanda.

Pangeran Antasari, dengan tegas menolak dibukanya tambang-tambang batu bara di wilayah kesultanannya. Dengan pandangan terhadap dampak yang jelas akan merugikan masyarakat Kalimantan Selatan.

Walau dalam beberapa redaksi dijelaskan bahwa, persoalan internal Kesultanan yang jadi latar belakang utamanya. Seperti campur tangan Belanda dalam pergantian pemimpin di Kesultanan Banjar.

Persoalan ekonomi yang berkaitan dengan monopoli dagang Belanda tentu menjadi realitas yang dominan terjadi kala itu. Tetapi, tidak dipungkiri bahwa persoalan eksploitasi alam yang terjadi kemudian, dapat dianggap sebagai salah satu latar belakang terjadinya Perang Banjar pada tahun 1859.

Pembukaan tambang Oranje Nassau pada tahun 1849, disebut-sebut telah merusak alam yang berada di daerah kekuasaan Kesultanan Banjar. Dampak dari kerusakan alam tersebut pada akhirnya membuat suku-suku Dayak menyatakan juga perlawanannya terhadap pemerintah kolonial. Kelak, mereka juga turut bergabung dengan pasukan Pangeran Antasari dalam Perang Banjar.

Hingga kisah mengenai eksistensi Pangeran Burung yang dengan tegas menentang perusakan alam kala itu. Hal ini dijelaskan dalam situs Kesultanan Banjar, bahwa Panglima Burung berperang menentang kolonialisme hingga masa Gusti Zaleha memimpin usai meninggalnya Pangeran Antasari. Dengan latar belakang penolakan terhadap eksploitasi alam di Kalimantan.

Hal ini tentu dapat dipahami sebagai upaya menjaga alam oleh para pahlawan bangsa Indonesia sejak dahulu kala. Tidak sekadar menentang penjajahan, tetapi juga memikirkan masa depan generasi penerus bangsanya. Agar tetap menjadi penjaga alam Indonesia dari berbagai ragam perusakan lingkungan. Perang Banjar dan situs pertambangan Oranje Nassau adalah buktinya.

Semoga kita dapat terus menjaga alam dengan cara terbaik yang solutif dengan pendekatan humanis dalam melihat realitas saat ini. Karena saat ini bukanlah seperti zaman kompeni.

Semua tentu ada konsekuensinya, karena alam adalah sumber penghasilan terbaik yang dimiliki bangsa Indonesia kini. Walau, akan ada perbedaan dalam memperjuangkan kelestarian alam kini. Seperti yang dilakukan oleh para petani Kendeng, Tumpang Pitu, Salim Kancil (alm), hingga warga desa Wadas, beberapa waktu belakangan ini. Salam lestari.

 

Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.