Menilik Kepemimpinan Ibu Risma Selama Pandemi

Tri Rismaharini (Instagram.com/trirismaharini.id)
Sumber :
  • vstory

VIVA  – Pandemi COVID-19 tentunya memberikan implikasi yang cukup besar kepada masyarakat luas. Eksternalitas yang ditimbulkan dari COVID-19 menuntut terjadinya perubahan yang cepat di berbagai bidang.

Untuk dapat menanggulangi ekses-ekses negatif yang timbul akibat COVID-19, maka diperlukan sosok pemimpin yang adaptif dan inovatif untuk dapat meminimalisir eksternalitas dari COVID-19.

Kepemimpinan pejabat publik sangat diuji di masa pandemi, pejabat publik dituntut harus memiliki kecakapan dalam merespons suatu masalah secara cepat dan dengan metode yang inovatif. Tidak semua pejabat publik memiliki kapabilitas tersebut dan tidak jarang juga justru ditemui pejabat publik yang tersandung dengan kasus korupsi.  

Salah satu pejabat publik yang memiliki kapabilitas tersebut adalah Tri Rismaharini atau beliau lebih akrab dipanggil dengan Ibu Risma. Berkat kemampuan dan kapabilitasnya beliau diangkat menjadi Menteri Sosial Republik Indonesia, yang di mana sebelumnya menjabat sebagai Walikota Surabaya. 

Gender dan Kepemimpinan 

Di era industri 4.0 seharusnya perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama untuk dapat berkembang baik di ranah domestik maupun ranah publik. Walaupun Ibu Risma merupakan seorang perempuan, tetapi ketegasan dan gaya kepemimpinan Ibu Risma tidak diragukan lagi.

Kemampuan Ibu Risma dalam mengelola kemampuan emosional menjadi nilai lebih dan keunikan tersendiri dalam kepemimpinan Ibu Risma. Sebagai sosok pemimpin perempuan Ibu Risma menunjukkan bahwa ketegasan tidak hanya dimiliki oleh laki-laki, melainkan juga dimiliki oleh perempuan.

Salah satu ketegasan Ibu Risma dapat dilihat ketika Ibu Risma memarahi petugas penyalur bantuan sosial (bansos) COVID-19, yaitu saat petugas lamban dalam menyalurkan bansos dan target sasaran bansos tidak tepat. Bentuk kemarahan yang dilakukan Ibu Risma menuai pro-kontra dari masyarakat.

Masyarakat menilai bentuk kemarahan tersebut merupakan bentuk tanggung jawab dan kepedulian yang tinggi, tetapi tidak jarang pula masyarakat berpendapat bahwa hal tersebut hanya mencerminkan kepribadian Ibu Risma yang emosional. Ibu Risma tidak takut akan citranya yang dinilai buruk, Ibu Risma menilai hal itu harus dilakukan dalam upaya untuk meningkatkan kinerja pegawai dan mempercepat penyaluran bansos.

Sumber Kekuasaan 

Jika ditilik dari sumber kekuasaan yang dimiliki Ibu Risma, maka sumber kekuasaan Ibu Risma termasuk pada golongan legitimate power. Legitimate power merupakan kekuasaan yang bersumber dari organisasi dan bersifat resmi, sehingga memberikan pemimpin tanggung jawab, hak, dan wewenang dalam menjalankan suatu organisasi untuk mencapai tujuan bersama. 

Gaya Kepemimpinan

Untuk menjalankan kekuasaannya, tentu setiap pejabat publik memiliki gaya kepemimpinan masing-masing. Karena memang sejatinya gaya  kepemimpinan setiap orang tentulah berbeda, hal ini dikarenakan setiap pemimpin memiliki gaya kepemimpinan yang sangat dipengaruhi oleh sifat, watak, kepribadian, dan kebiasaan seseorang.

Gaya kepemimpinan yang dimiliki Ibu Risma adalah gaya kepemimpinan transformasional. Kepemimpinan transformasional secara konseptual didefinisikan sebagai kemampuan seorang pemimpin untuk dapat mengubah lingkungan kerjanya, meningkatkan motivasi kerja, nilai-nilai kerja, dan pola kerja untuk diinternalisasikan kepada bawahannya agar dapat mencapai tujuan organisasi.

Kepemimpinan Visioner dan Inovatif 

Gaya kepemimpinan transformasional selaras dengan konsep kepemimpinan yang visioner dan inovatif. Menurut Barbara Brow terdapat sepuluh aspek yang menjadi kriteria seorang pemimpin dikatakan visioner dan inovatif yaitu visualizing, Futuristic Thinking, Showing Foresight, Proactive Planning, Creative Thinking, Taking Risks, Process alignment, Coalition building, Continuous Learning, dan  Embracing Change.

Aspek visualizing dan  Futuristic Thinking dapat terlihat ketika Ibu Risma memiliki visi sejak awal menjabat sebagai Wali Kota Surabaya untuk memajukan pendidikan di Surabaya, untuk mewujudkan visi tersebut Ibu Risma berpegang teguh untuk mengalokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebesar lebih dari 20 persen ditimbang mengalokasi APBD untuk membangun jalan tol karena dianggap akan menimbulkan kesenjangan sosial.

Sedangkan aspek Showing Foresight dan Proactive Planning dapat terlihat ketika Ibu Risma membuat rencana untuk memfokuskan pembangunan di Surabaya menjadi kawasan hijau, Ibu Risma berhasil menetapkan sasaran strategi dan menganalisa faktor-faktor untuk mendukung pembangunan kawasan hijau di Surabaya, berkat kemampuan tersebut Ibu Risma berhasil untuk membuat pedestrian bagi pejalan kaki dengan konsep modern di sepanjang jalan Basuki Rahmat, jalan Tunjungan, Blauran, dan Panglima Sudirman.

Sedangkan kemampuan Creative Thinking dan Process alignment dapat terlihat dari inovasi Ibu Risma menggunakkan Fintech untuk mengurangi korupsi dan supaya sumber daya yang dimiliki pemerintah dapat tersalurkan dengan tepat kepada masyarakat luas terutama masyarakat menengah kebawah. Kemampuan Ibu Risma dalam Taking Risks terlihat pada saat Ibu Risma menolak untuk membangun jalan tol dan tetap berpegang teguh untuk mengalokasikan APBD di bidang pendidikan.

Aspek Coalition building pada Ibu Risma dapat terlihat ketika Ibu Risma dapat membangun hubungan yang harmonis dengan berbagai stakeholders terutama masyarakat, contoh konkrit tersebut dapat dilihat ketika Ibu Risma mengajak masyarakat khususnya tim jumantik untuk memberantas nyamuk Demam Berdarah Dengue (DBD).

Sedangkan aspek Continuous Learning, dan  Embracing Change yaitu dapat terlihat pada Program Bantuan Sosial di mana masih terdapat 31.624 Aparatur Sipil Negara (ASN)  yang aktif terdaftar sebagai penerima Bansos, dengan data tersebut Ibu Risma mencoba untuk mempelajari dan dijadikan evaluasi agar dapat lebih mengakuratkan data penerima bantuan. 

Kepemimpinan Kolaboratif di Era Digital 

Gaya kepemimpinan yang dimiliki Ibu Risma merupakan gaya kepemimpinan yang dibutuhkan di era digital. Kepemimpinan digital adalah kepemimpinan yang memanfaatkan instrumen digital untuk mengembangan pelayaan publik yang jauh lebih inovatif, efisien, dan efektif.

Tiga kunci utama dalam kepemimpinan digital adalah memiliki komitmen untuk melakukan perubahan dari tingkatan bawah hingga ke atas, mampu melakukan transformasi dalam jangka waktu 2-5 tahun, dan dapat menghubungkan transformasi digital dengan tujuan organisasi yang terukur. Untuk mewujudkan kepemimpinan di era digital yang efektif dan efisiensi dibutuhkan adanya kepemimpinan kolaborasi.

Kepemimpinan kolaborasi adalah bentuk usaha yang dilakukan secara bersama di mana antar individu secara kolektif saling terlibat dan saling berinteraksi yang bersinergis untuk mencapai tujuan bersama.

Kepemimpinan digital dan kolaboratif pada Ibu Risma dapat dilihat ketika pemerintah membuat mobile smart application dalam rangka membangun Surabaya Smart City, dengan adanya mobile smart application diharapkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dan swasta dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Karena sejatinya pelayanan publik merupakan tanggung jawab bersama sehingga perlu adanya kolaborasi dan sinergitas dari berbagai aktor. (Lintang Shafa Mazaya, Mahasiswi Ilmu Adminitrasi Negara, FIA, Universitas Indonesia)

 

Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.