Mengapa Memilih Bunuh Diri?
- vstory
VIVA – Baru-baru ini kita dikejutkan dengan kasus bunuh diri yang menimpa seorang mahasiswi. Almarhumah meninggal di sisi makam sang ayah dengan cara meminum racun. Ia diketahui mengalami sejumlah depresi dan sempat curhat mengenai itu di media sosial pribadinya. Kasus ini menambah daftar orang yang memutuskan mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri.
WHO mencatat kasus kematian akibat bunuh diri sekitar 800.000 per tahun atau 1 kematian tiap 40 detik di seluruh dunia.
Di Indonesia terdapat beberapa sumber data yang dapat dijadikan rujukan untuk menghitung angka bunuh diri. Di antaranya, data dari BPS dan Kemenkes RI. BPS mencatat angka kematian akibat bunuh diri sebanyak 4.560 kasus di tahun 2018. Berdasarkan persebarannya, tidak ada provinsi yang bersih dari kasus bunuh diri.
Sedangkan, dalam laporannya Kemenkes RI menyebutkan korban bunuh diri 75% nya pada kelompok penduduk usia produktif dengan persentase lebih banyak laki-laki dibandingkan perempuan. Angka ini bukanlah angka yang kecil, bahkan beberapa ahli menyebutkan fenomena bunuh diri selayaknya fenomena gunung es – lebih sedikit yang terungkap dibandingkan kasus sebenarnya.
Banyak hal yang melatarbelakangi seseorang memilih untuk mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri. Simptomnya pun tak mutlak. Akumulasi dari berbagai masalah seperti faktor genetik, psikologis, dan sosiokultural disinyalir sebagai faktornya.
Faktor-faktor tersebut terjadi sepanjang hidup, kemudian terakumulasi dan pada akhirnya saling menguatkan sehingga tindakan bunuh diri menjadi jawaban terbaik. Faktor internal seperti depresi ditambah faktor eksternal seperti penghakiman orang lain ikut andil di dalamnya.
Terdapat beberapa tanda-tanda yang timbul apabila seseorang rentan melakukan tindakan bunuh diri. Dilansir dari Kemenkes RI umumnya mereka membicarakan tentang bunuh diri, mulai mencari akses memiliki senjata api, menarik diri dari orang sekitar, perubahan suasana hati yang parah, merasa terjebak dalam masalah, mudah marah tak terkendali, memiliki masalah hidup yang sangat berat, konsumsi miras meningkat, mulai menyakiti diri sendiri, dan mulai memberikan barang pribadi kepada orang lain.
Mereka yang memutuskan untuk bunuh diri pada dasarnya tidaklah ingin mengakhiri hidup, melainkan mereka ingin menghentikan permasalahan yang dihadapi. Mereka menjadi putus asa dan hilang harapan.
Tak ada teman atau tempat untuk mencurahkan isi hati. Tak ada yang bisa bahkan mau mendengarkan permasalahan mereka. Terlebih keluarga yang seharusnya menjadi tempat bersandar justru menjadi pihak yang dapat mencetuskan keputusan untuk bunuh diri.
Tiap orang memiliki permasalahan dan persoalan berbeda-beda. Kita tak bisa menilai benar atau salah perbuatan almarhumah atau korban bunuh diri lainnya karena kita tidak berada di situasi mereka. Kita tak memakai sepatu yang mereka pakai.
Oleh karena itu, ketika permasalahan serasa begitu berat seolah menghimpitmu sampai dadamu sesak, akalmu seolah berhenti ingatlah bahwa kematian bukanlah jawabannya. Seperti tema Hari Pencegahan Bunuh Diri tahun ini “Creating Hope Through Action” adalah pengingat ada jawaban lain selain bunuh diri.
Kejadian kasus bunuh diri bukanlah sekadar fakta psikis. Simptomnya tidak dapat diidentifikasi secara jelas seperti penyakit lainnya. Penyebabnya pun tak jelas pasti.
Namun, disagregasi sosial dapat menjadi pemicu seperti kemiskinan, pengangguran, tindak kejahatan, terlebih kehancuran keluarga, menjadi sebuah ekosistem yang mujarab mendorong seseorang untuk melakukan bunuh diri.
Bunuh diri juga bukanlah topik yang mudah untuk dibicarakan. Norma tabu dan stigma masih melingkupi sehingga banyak yang menghindarinya. Sikap penghindaran dapat menyebabkan mereka yang membutuhkan uluran tangan kita menjadi tak tertolong.(Dita Christina, PNS di Badan Pusat Statistik)