Etika Notaris PPAT dalam Kasus Mafia Tanah Nirina Zubir

Potret Nirina Zubir bersama Keluarga (Instagram/nirinazubir_)
Sumber :
  • vstory

VIVA  – Bermula dari adanya kecurigaan seorang artis Nirina Zubir yang kerap kali mendapatkan surat kaleng (tidak diketahui siapa pemiliknya yang di dalamnya memuat informasi-informasi penting).

Di dalam surat kaleng tersebut juga berisi bahwa keluarga Nirina harus segera mengecek surat tanah ibunya. Tak percaya begitu saja, Nirina mengecek langsung ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan ternyata benar, sudah dilakukan perpindahan nama dari sertifikat tanah ibunya.

Dugaan perpindahan nama ini dijelaskan oleh Nirina dalam konferensi pers di Polda Metro Jaya “bermula dari keresahan ibu saya yang merasa surat tanahnya hilang sehingga beliau meminta tolong kepada Asisten Rumah Tangga untuk mengurus sertifikatnya yang hilang tersebut. Namun kenyataannya surat tersebut disalahgunakan oleh RK untuk mengubah nama kepemilikannya,” urai Nirina Zubir pada hari Rabu (17/11).

Kanit Krimum Polres Metro Jakarta Barat mengatakan bahwa anggotanya sudah melakukan pemeriksaan di Polda Metro Jaya, namun baru hari ini dilakukan panggilan kepada RK. Tidak hanya itu, mereka dibantu oleh tiga orang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam proses perubahan nama kepemilikan atas properti yang berada di kawasan Jakarta Barat.

Notaris tersebut merupakan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) di daerah Jakarta Barat yang bernama Faridah, Ina, dan Edwin. Faridah sudah terlebih dahulu menyerahkan dirinya kepada pihak kepolisian namun dua orang lainnya dijemput secara paksa.

Nirina sudah melaporkan kepada pihak yang berwajib atas kerugian yang dimiliki dengan nomor laporan LP/B/2844/VI/SPKT PMJ atas nama kakaknya yaitu, Fadhlan Karim di Polda Metro Jaya, Juni 2021 kemarin atas kasus penggelapan aset.

Meninjau Lebih Jauh tentang PPAT

Untuk memberi jaminan kepastian hukum dari pemerintah, pendaftaran tanah kemudian diatur secara lebih mendalam di dalam PP No. 24 Tahun 1997 mengenai Pendaftaran Tanah yang memperjelas bahwa Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) merupakan pemimpin umum yang memiliki wewenang untuk membuat akta-akta tanah tertentu.
 
PPAT memiliki Tugas dan Wewenang yang tercantum dalam PP Nomor 37 Tahun 1997, antara lain :

Dalam Pasal 2, PPAT diketahui mempunyai tugas pokok dalam menjalankan sebagian rangkaian aktivitas pendaftaran tanah melalui pembuatan akta yang digunakan untuk dijadikan bukti tentang hak atas tanah ataupun hak milik atas seperangkat rumah susun, dan kemudian diubah menjadi suatu landasan untuk pendaftaran peralihan data pendaftaran tanah dikarenakan hasil dari aktivitas hukum.

Dalam Pasal 3, PPAT menyebutkan bahwa PPAT memiliki wewenang dalam pembuatan akta otentik mengenai seluruh aktivitas hukum.

Dalam Pasal 4, terlampir bahwa PPAT sekadar memiliki wewenang untuk membuat akta tentang hak atas tanah atau Hak milik Atas Satuan Rumah Susun yang masih ada di dalam cakupan wilayah kerja mereka.

 Peran Kementerian ATR/BPN dalam membantu memberantas kasus mafia tanah di Indonesia

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertahanan Nasional atau yang disingkat Kementerian ATR/BPN sesuai dengan Peraturan Presiden No.17 Tahun 2015 memiliki tugas untuk membantu presiden dalam menjalankan pemerintahan dengan cara menyelenggarakan urursan pemerintahan di bidang agraria/pertahanan dan tata ruang.

Maraknya kasus mafia tanah yang kerap terjadi di Indonesia, Kementerian ATR/BPN berupaya untuk melibatkan beberapa pihak seperti Polri dan Kejaksaan Agung pada satuan tugas anti mafia tanah.

Kementerian ATR/BPN berusaha untuk memberikan kepastian hukum atas tanah melalui program pendaftaran tanah sistematis lengkap atau PTSL. PTSL tersebut dilakukan dengan mendaftarkan seluruh tanah yang ada di Indonesia dengan melakukan pengukuran, sehingga hal tersebut juga menghindarkan adanya sengketa tanah karena perebutan luas tanah.
 
Dalam kasus mafia tanah, oknum kerap melibatkan notaris dan pegawai pemerintah dan seringkali pegawai BPN ikut terlibat  dalam pembuatan sertifikat tanah palsu. Kementerian ATR/BPN juga menindak tegas oknum BPN yang terlibat dalam kasus mafia tanah dengan menjatuhkan sanksi-sanksi sehingga pelayanan kementerian ATR/BPN tetap bersih dari oknum yang terlibat dalam kasus mafia tanah.
 
Kode Etik Notaris PPAT

Kode etik dilihat sebagai seperangkat sistem nilai, norma dan aturan yang sifatnya formal tertulis yang secara lantang mendefinisikan apa yang baik dan buruk bagi seorang profesional. Etika profesi merupakan suatu pedoman sikap dan tingkah laku ketika menjalankan tugas dan juga dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. pedoman ini berisi tentang prinsip-prinsip profesionalisme mencakup kapabilitas teknis, kualitas kerja, dan komitmen.
 
Menjadi seorang PPAT tentunya memerlukan sikap profesionalisme yang dapat benar-benar terukur. Sehingga, seorang PPAT sangat memerlukan sikap kehati-hatian dalam menjalankan tugasnya dan juga mereka harus memahami peraturan perundang-undangan yang tengah berlaku secara keseluruhan.
 
Selayaknya organisasi pemerintah, PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) memiliki kode etik tersendiri untuk mengarahkan para anggotanya untuk menghadapi lingkungan internal dan eksternal. Kode etik PPAT yang berlaku saat ini dapat kita lihat yaitu hasil dari keputusan Kongres IV IPPAT yang disepakati di tanggal 31 Agustus – 1 September 2007.

Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 112 Tahun 2017 membicarakan mengenai Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Dalam Bab 3 Pasal 3 dijelaskan kewajiban, larangan dan hal-hal yang dikecualikan dalam kode etik PPAT, di antaranya adalah jika seorang PPAT menemukan kesalahan pada akta yang dibuat oleh rekannya maka PPAT wajib mengingatkan rekan bersangkutan dan segera melakukan klarifikasi kepada klien.

Hal ini dapat menjadi alat bagi pihak lain untuk menandatangani akta buatan orang lain sebagai akta yang dibuat oleh PPAT yang bersangkutan.
 
Analisis Pelanggaran Kode Etik Profesi dalam Kasus Nirina Zubir

Jika kita telaah lagi lebih dalam dari kasus Nirina Zubir ini, ketiga oknum PPAT yang diduga sebagai bagian dari mafia tanah pada kasus ini tentunya melanggar kode etik profesi bagi seorang PPAT.

Menjadi seorang PPAT tentunya memerlukan sikap profesionalisme yang dapat benar-benar terukur. Sehingga, seorang PPAT sangat memerlukan sikap kehati-hatian dalam menjalankan tugasnya dan juga mereka harus memahami peraturan perundang-undangan yang tengah berlaku secara keseluruhan.
 
Kejadian serupa tidak hanya merugikan pihak lain namun merugikan nama baik diri sendiri. Sebagai seorang notaris seharusnya kelalaian seperti ini tidak terjadi. Tentunya dilakukan cross check terhadap surat-surat yang ada terutama untuk pemilik yang sudah meninggal. Sertifikat harus disetujui oleh ahli waris jika melakukan perpindahan nama.
 
PPAT dalam kasus Nirina Zubir ini sama sekali tidak bersikap profesional ketika bertugas karena diduga membantu pelaku dalam hal pemalsuan akta tanah yang dimiliki keluarga Nirina Zubir. 

Ketiga oknum tersebut telah melanggar kode etik notaris sehingga dilakukan penegakkan melalui penonaktifan akun PPAT yang dimiliki Ina dan Edwin oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN RI.

Ketiga oknum tersebut juga telah dijatuhkan hukuman lebih dari lima tahun penjara dengan dijerat Pasal 378, Pasal 372, dan Pasal 263 KUHP mengenai penipuan dan pemalsuan dokumen. (Pearly Syifa Maharani, Mahasiswi Prodi Ilmu Administrasi Negara, FIA, Universitas Indonesia)

 

 

Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.