Hari Guru Nasional: Guru Digugu, Ditiru dan Kembali Dirindu
- vstory
VIVA – “Eh, rindu ya sama Pak Guru Kita yang pernah hukum kita semua.” Salah satu teman saya tiba-tiba mengungkapkan hal tak terduga. Di antara percakapan kami yang membahas persoalan apa pun di Indonesia tiba-tiba ia melontarkan perasaan rindunya kepada salah satu guru kami di sekolah.
Ya, di masa sekolah kami diajarkan oleh banyak guru dengan masing-masing karakter. Ada yang super tegas, ada tegasnya masih level 2, ada yang cuek, ada yang humoris bahkan hingga karakter guru yang sering memberi motivasi.
Mereka semua tentu memiliki jasa yang sangat besar bagi kehidupan saya dan teman-teman. Guru-guru yang mengajar di sekolah saya selalu mengajarkan arti kehidupan dan kesabaran yang sebenarnya.
Namun tetap, beberapa orang termasuk saya memiliki sosok guru yang selalu dirindukan jika saya dan teman-teman bertemu dan membahas masa lalu saat duduk di bangku sekolah. Bukan berati guru yang lain tidak dirindukan, akan tetapi ada beberapa momen atau karakter yang guru tersebut menjadi orang yang sangat saya rindukan.
Contoh momen yang saya ingat adalah ketika saya cekcok dengan guru saya. Saat itu, saya menolak perintah guru menyimpan buku dan uang fotocopy. Saat itu saya merasa menjadi orang yang tidak apik dan belum bisa amanah.
Namun entah mengapa saya menolak dan menjawab bahwa takut tidak keburu melakukan hal yang diperintah karena banyak tugas.
Tahu apa yang terjadi? Jelas, saya dimarahi dan selalu menjadi pembahasan dalam beberapa pertemuan. Saya merasa salah dan akhirnya minta maaf, lalu saya menjelaskan alasan yang sebenarnya.
Nasi sudah menjadi bubur, sejak saat itu saya selalu melakukan semua perintah guru dan juga menolak secara tegas jika kondisinya tidak memungkinkan lalu mengatakannya secara jujur, sejak kejadian yang menyesakkan hati saya malah saya semakin dekat dengan guru tersebut, bahkan saya sering bercerita apa pun kepadanya termasuk urusan percintaan.
Bagi saya, tidak mudah untuk bercerita urusan percintaan kepada seorang guru, namun ternyata seorang guru yang sudah saya anggap sebagai saudara bisa memahami berbagai kondisi yang saya rasakan ketika menjadi siswa.
Tidak mudah, mencari seorang guru yang sangat dekat siswa secara emosional, yang sering ditemui hanyalah siswa yang mencari muka dengan guru atau murid terpintar dan ternakal yang sangat dikenal guru.
Guru, memang merupakan profesi yang paling mulia, mereka tidak hanya mencerdaskan anak bangsa, tetapi membangun jalan hidup seorang anak manusia yang bukan darah dagingnya menjadi orang-orang hebat.
Pendidikan di Masa Pandemi
Semua siswa tentu memiliki selera masing-masing terhadap guru favorit mereka, ada yang dekat dengan guru BK, ada yang dekat guru olahraga, kimia, bahasa dan lainnya, karena masing-masing siswa memiliki kriteria guru yang bisa dekat dengan dirinya. Dan ini terjadi sebelum pandemi menyerang.
Lalu, semua berubah ketika Covid-19 menyerang. Semua sektor berusaha untuk bangkit dan saya yakin bidang pendidikan pun demikian. Banyak guru dan siswa yang harus beradaptasi dengan sistem belajar daring.
Tugas guru yang sudah berat harus menjaga moral anak bangsa, menjadi semakin berat ketika penyesuaian teknologi, penyesuaian kebiasaan hingga memastikan siswa-siswa tidak menjadi candu terhadap gadget.
Guru harus siap dengan berbagai kondisi pembelajaran dan kondisi siswa, termasuk perkembangan kehidupan di masyarakat (Abdullah, 2016; Darlingn Hammond & John Bransford, 2005; Zein, 2016).
Guru harus digugu, di mana setiap yang dikatakan dan mereka perbuat harus dipertanggungjawabkan. Semuanya harus dipatuhi atau dipercaya oleh semua siswa. Maka semenjak pandemi guru terus melakukan langkah-langkah baru agar siswanya tetap percaya dan mematuhinya.
Begitu juga dengan ditiru. Saat belajar online, guru memikirkan bagaimana memaksimalkan kemampuannya dalam mengelola teknologi sehingga siswanya mengikuti. Contohnya dengan menyalakan kamera saat proses belajar mengajar.
Usaha keras guru dalam menjalankan proses pendidikan selama Covid-19 merupakan hal yang luar biasa. Karena harus bertahan dalam segala kondisi, bahkan di beberapa daerah di Indonesia, banyak guru yang jemput bola ke rumah-rumah siswa yang tidak memiliki gadget. Betapa hebatnya mereka.
Menjadi Guru yang Dirindu
Hari Guru Nasional 2021 mengusung tema bergerak dengan hati, pulihkan pendidikan menjadi momentum yang tepat bagi para guru untuk kembali menjadi orang yang dirindu murid-murid karena pembelajaran tatap muka sudah dimulai kembali.
Memulihkan pendidikan pasca pandemi bukanlah hal yang mudah, ibaratnya pembelajaran tatap muka sebagai proses belajar yang baru. Proses pembelajaran (kembali) menggunakan seragam, papan tulis menjadi hal yang aneh setelah 2 tahun belajar dari rumah.
Secara interaksi pun tentu berbeda. Banyak anak-anak yang baru mengalami kenaikan tingkat yang biasa mengenal dan menatap guru mereka menggunakan gadget sekarang bisa bertemu secara langsung dan berinteraksi langsung.
Di sinilah peran guru kembali maksimal, mencerdaskan kehidupan bangsa dan menjadi benteng para penghancur moral anak-anak bangsa. Melalui interaksi dan menggunakan hati seluruh guru di Indonesia membangkitkan pendidikan yang selalu dirindu oleh anak-anaknya.
Menurut M. Uzer Usman (1997: 4) Peranan guru adalah terciptanya serangkaian tingkah laku yang saling berkaitan yang dilakukan dalam suatu situasi tertentu serta berhubungan dengan kemajuan perubahan tingkah laku dan perkembangan siswa yang menjadi tujuannya
Saya yakin, saat pandemi berlangsung. Peran guru seperti yang Usman katakan menjadi berkurang, pembelajaran menjadi garing, anak-anak tidak antusias, dan parahnya yang dirindukan dari proses belajar daring adalah gadget mereka. Ya, setelah belajar daring, tutup aplikasi belajar dan membuka aplikasi game (walau tidak semua demikian).
Melalui gerakan yang dilakukan para guru di Indonesia yang sangat mulia dengan hati yang tulus. Saya yakin, guru-guru akan kembali menjadi orang yang dirindu. Tidak hanya masa sekolah tetapi jauh setelah lulus akan tetap sama.
Lalu perlahan dunia pendidikan di Indonesia akan kembali bangkit dari tangan guru. Mengapa? Karena jika tidak ada guru yang dirindu, maka tidak akan ada profesi-profesi lain yang menjadikan Indonesia yang lebih maju. (Fathin Robbani Sukmana, Sekretaris Jaringan Muda Politik dan Demokrasi (JMPD) Indonesia)