Kebebasan Berekspresi: Cita-cita Reformasi Perlu Dihabituasi
- vstory
VIVA – Cita-cita fundamen dari reformasi adalah runtuhnya rezim otoriter dan melahirkan tatanan negara yang lebih demokratis. Di sisi lain, reformasi juga tercipta untuk membumi hanguskan sistem pemerintahan yang korup, hal tersebut juga merupakan akar lahirnya KPK selaku “anak kandung” dari reformasi.
Menilik soal demokrasi, demokrasi hari ini dinilai belum mampu berwujud sempurna dengan puncaknya melahirkan negara yang demokratis. Kebebasan berpendapat yang juga merupakan bagian dari ciri demokrasi, hari ini cenderung mendapatkan banyak tantangan dan persoalan. Mari kita lihat dari isu yang hari ini hangat diperbincangkan, ketika Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI melayangkan kritikan pada rezim Jokowi.
BEM UI memberikan predikat “The King of Lip Service” kepada Presiden Jokowi, kritikan tersebut berkar dari banyaknya indikasi inkonsistensi dari apa yang diucapkan oleh presiden dengan bagaimana nyatanya yang terjadi. Kritik yang dilayangkan oleh rekan-rekan dari BEM UI bukanlah kritikan konyol yang tak berdata, hal tersebut jika di crosscheck memang nyata adanya. Namun apa yang dilakukan tersebut ternyata mengundang banyak pro dan kontra dari berbagai kalangan, dan yang menarik bermuara langsung dari jajaran rektorat serta istana.
Buntut dari hal kritikan tersebut cukup beragam, ada berbagai macam terror, balasan kritikan, upaya peretasan, diharuskan untuk melakukan take down pamphlet, dan berbagai ancaman lainnya. Bagi penulis, kritikan semacam itu merupakan bentuk keaktifan warga khususnya mahasiswa dalam sistem negara demokrasi.
Kritikan merupakan representasi dari kepedulian mahasiswa untuk turut serta memberikan andil bagi kebaikan bangsa dan negara. Mahasiswa yang memiliki peran sebagai agent of control justru perlu untuk membudayakan hal tersebut, sebab demokrasi merupakan cita-cita dari para pejuang reformasi yang perlu untuk dihabituasi (dibiasakan).
Berkaca dari apa yang dialami oleh rekan-rekan dari BEM UI hari ini, nyatanya kebebasan berekspresi dan memberikan aspirasi adalah upaya yang masih perlu untuk diadvokasi. Padahal dalam sistem negara demokrasi seharusnya itu adalah hal biasa dan justru perlu untuk dihabituasi.
Adapun konklusi yang dapat penulis sampaikan bahwasannya kebebasan berekspresi ataupun layangan kritikan kepada pemerintah merupakan representasi dari cita-cita mulia reformasi yang perlu untuk dihabituasi.
Selain itupula, penulis mengajak para pembaca sekalian untuk memberikan dukungan moral bagi siapapun warga negara ataupun kelompok organisasi yang mencoba memberikan kritikan kepada pemerintah, sebab kritikan merupakan cambuk untuk menghadirkan perbaikan bagi kebijakan pemerintah yang dinilai melenceng dari sebagaimana mestiny.
Kritik adalah bagian dari kebebasan berekspresi yang juga merupakan bagian dari cita-cita reformasi, oleh sebab itulah mengapa penting untuk dihabituasi dalam sebuah sistem negara demokrasi. Oleh: Zainul Rahman (Mahasiswa Prodi Ilmu Pemerintahan & Staf KEMENPOLHUKAM BEM Universitas Muhammadiyah Malang)