Manusia Pemikir Ilmiah

Mahasiswa daruul Ulum Asahan semester 2
Sumber :
  • vstory

VIVA – Akal manusia pada hakikatnya memerlukan aturan dalam menganalisa berbagai masalah yang ada karena ilmu logika merupakan ilmu yang mengatur cara berpikir (analisa) manusia, maka keperluan kita kepada ilmu logika adalah untuk mengatur dan mengarahkan kita kepada suatu cara berpikir yang benar.

Logika merupakan bagian dari kajian epistemologi, yaitu cabang filsafat yang membicarakan mengenai pengetahuan. Ia bisa dikatakan ruh dari filsafat. Karena mungkin tidak akan ada filsafat kalau tidak ada logika.

Berpikir ilmiah adalah pola penalaran berdasarkan sarana tertentu secara teratur dan cermat. Harus disadari bahwa setiap orang  mempunyai kebutuhan untuk berpikir serta menggunakan akalnya semaksimal mungkin.

Seseorang yang tidak berpikir, berada sangat jauh dari kebenaran dan menjalani sebuah kehidupan   yang penuh kepalsuan dan kesesatan. Akibatnya ia tidak akan mengetahui tujuan penciptaan  alam dan arti keberadaan dirinya di dunia.

Cara Berpikir Ilmiah
Berfikir adalah menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu. Sedangkan ilmiah yakni bersifat ilmu pengetahun, memenuhi syarat kaidah ilmu pengetahuan.

Manusia memiliki sifat yang senantiasa mencari jawaban atas pertanyaan yang timbul dalam kehidupannya. Dalam mencari ilmu pengetahuan, manusia melakukan telaah yang mencakup 3 hal, antara lain:
objek yang dikaji
proses menemukan ilmu
manfaat atau kegunaan ilmu tersebut.

Untuk itu, manusia akan selalu berpikir, dengan berpikir akan muncul pertanyaan, dan dengan bertany maka akan ditemukan jawaban yang mana jawaban tersebut adalah suatu kebenaran.

Menurut Ford (2006), kebenaran atau truth dapat dibedakan atas 4 macam:
A. Kebenaran metafisik. Sesungguhnya kebenaran ini tidak bisa diuji kebenarannya (baik melalui justikasi maupun falsikasi/kritik) berdasarkan norma eksternal seperti kesesuaian dengan alam, logika deduktif, atau standar-standar perilaku profesional. Kebenaran metafisik merupakan kebenaran yang paling mendasar dan puncak dari seluruh kebenaran (basic, ultimate truth) karena itu harus diterima apa adanya (given for granted). Misalnya, kebenaran iman dan doktrin-doktrin absolut agama.

B. Kebenaran etik. Kebenaran etik merujuk pada perangkat standar moral atau profesional tentang perilaku yang pantas dilakukan. Seseorang dikatakan benar secara etik bila ia berperilaku sesuai dengan standar perilaku itu. Sumber kebenaran etik bisa berasal dari kebenaran metafisik atau dari norma sosial-budaya suatu kelompok masyarakat atau komunitas profesi tertentu. Kebenaran ini ada yang mutlak (memenuhi standar etika universal) dan ada pula yang relatif.

C. Kebenaran logika. Sesuatu dianggap benar apabila secara logik atau matematis konsisten dan koheren dengan apa yang telah diakui sebagai benar atau sesuai dengan apa yang benar menurut kepercayaan metafisik dapat dianggap benar. Namun demikian, di dalam kebenaran ini juga tidak terlepas dari konsensus orang-orang yang terlibat di dalamnya. Misalnya, 1+1 ? 3, karena secara konsensus telah diterima demikian.

D. Kebenaran empirik . Kebenaran ini yang lazimnya dipercayai melandasi pekerjaan ilmuwan dalam melakukan penelitian. Sesuai (kepercayaan asumsi, dalil, hipotesis, proposisi) dianggap benar apabila konsisten dengan kenyataan alam, dalam arti dapat diverifikasi, dijustifikasi, atau kritik.Dari uraian tersebut, dalam kajian filsafat imu yang menjadi fokus utama adalah kebenaran empirik . Kebenaran empirik sering disebut sebagai kebenaran imiah. Namun, tentu saja dengan tidak mengesampingkan kebenaran lainnya.

Cara Kerja
Berpikir ilmiah merupakan proses berpikir/pengembangan pikiran yang tersusun secara sistematis berdasarkan pengetahua pengetahuan ilmiah yang sudah ada (Eman Sulaeman).

Berpikir ilmiah adalah metode berpikir yang didasarkan pada logika deduktif dan induktif (Mumuh Mulyana Mubarak, SE). Metode berpikir ilmiah tidak lepas dari fakta kejadian alam yang kebenarannya selalu ada hubungannya dengan hasil uji eksperimental. Jika suatu teori tidak bisa dibuktikan dengan uji eksperimental, dikatakan bahwa teori itu tidak bisa diyakini kebenarannya karena tidak memenuhi kriteria sebagai sains (Goldstein 1989)

a. Metode berpikir ilmiah
Suatu pengetahuan ilmiah disebut sahih ketika kita melakukan penyimpulan dengan benar pula. Kegiatan penyimpulan inilah yang disebut logika. Dengan demikian, kita sudah mendapati hubungan antara syarat berpikir ilmiah dan kegiatan penyimpulan. Keduanya sama-sama memenuhi suatu pola pikir tertentu yang kita sebut logika.

Tugas Penyidik
Dalam berfikir ilmiah, demi mendapatkan hasil yang berkualitas maka penyidik perlu melakukan hal hal berikut:
Merumuskan masalah
Merumuskan hipotesis
Mengumpulkan data
Menguji hipotesis
Merumuskan kesimpulan

Klarifikasi
Penalaran dalam fungsinya sebagai kegiatan berfikir tentunya memiliki karakteristik atau ciri-ciri tertentu.

Pertama, adanya pola berfikir yang secara luas (logis), hal inilah yang sering disebut sebagai logika.

Selanjutnya dapat dikatakan bahwa setiap usaha penalaran mempunyai logikanya tersendiri karena ia merupakan sebuah proses berfikir. Sehingga Berfikir secara logis dapat dimaknai sebagai suatu pola, dan ketentuan tertentu yang digunakan dalam proses berfikir.

Maka dari itu sebuah kerangka logika dalam satu hal tertentu sangat mungkin dianggap tidak logis jika ditinjau dari kerangka lainnya. Hal inilah yang menimbulkan adanya ketidakkonsistenan dalam menggunakan pola pikir, yang akhirnya melahirkan beberapa motode pendekatan yang bermacam-macam.

Kedua, penalaran harus bersifat analistik, dengan maksud ia merupakan pencerminan dari suatu proses berfikir yang bersandar pada suatu analisa dan kerangka berfikir tertentu, dengan logika sebagai pijakannya.

Secara sederhananya poin kedua ini merupakan sebuah proses menganalisa denga n logika ilmiah sebagai pijakannya. Yang mana analisa sendiri adalah suatu kegiatan berfikir dengan langkah-langkah yang tertentu. Sehingga kegiatan berfikir tidak semuanya berlandaskan pada penalaran.

Maka dari itu berfikir dapat dibedakan mana yang menggunakan dasar logika dan analisa, serta mana yang tanpa menggunakan penalaran seperti menggunakan perasaan, intuisi, ataupun hal lainnya. Karena hal-hal tersebut bersifat non-analistik, yang tidak mendasarkan diri pada suatu pola berfikir tertentu.

Objek Material dan Formal
Objek formal adalah cara yang digunakan untuk mengetahui ilmu Itu sendiri, ataupun prespektif yang digunakan seseorang untuk memahami dan mengetahui objek material. Dalam objek formal ada dua bagian, yaitu spesifikasi dan perspektif.

Spesifikasi ini adalah sesuatu yang kita teliti melalui bagian terkecil dari materi, yaitu seperti bentuk atau ciri-ciri dari objek tersebut. Sedangkan melalui perspektif maka kita akan meneliti atau mengkajian ilmu dari sudut pandang pengkaji ataupun peneliti.
Objek material adalah sesuatu yang dipelajari sedangkan objek formal adalah cara yang digunakan untuk mengetahui sesuatu/pengetahuan itu sendiri.

Dari makalah di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa dalam mempelajari suatu nilai kebenaran, manusia dituntut untuk bisa memanfaatkan wahana berpikir yang dimilikinya, manusia juga harus mampu memposisikan dirinya di posisi kebenaran.

Hal yang harus dilakukan manusia adalah menempatkan penalaran. Penalaran sebagai salah satu langkah menemukan titik kebenaran. Pengetahuan inilah yang disebut dengan ilmu dan ilmu inilah yang membuat manusia bisa berpikir.

Metode ilmiah berkaitan dengan gabungan dari metode deduksi dan metode induksi. Jadi suatu proses pemikiran dapat dituangkan dalam pembuatan metode ilmiah dan juga membuktikan tentang penalaran yang melahirkan logika dibantu dengan metode deduksi dan induksi maka akan menghasilkan pengetahuan yang baru. Dengan metode ilmiah pengetahuan akan dianggap sah adanya. (Aprilia Sri Rahayu Dan Fikriansyah Siregar)

 

Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.