Mereka yang Luput dari Blusukan Ibu Mensos

Pengamen cilik (foto : Nur Terbit)
Sumber :
  • vstory

VIVA - Problema sosial seakan tak pernah berakhir. Penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) makin sering terlihat. Terutama belakangan ini di tengah musim Pandemi Covid-19.

Dari menyanyi, baca puisi, ngelap kaca mobil, hingga manusia perak. Tinggal pilih, yang mana cocok dan sesuai peran yang dikuasai.

Berbagai cara orang mencari duit. Salah satunya dengan "mengamen" sepanjang jalan, dari rumah ke rumah di kompleks, pusat perbelanjaan, atau area perkantoran.

Sayangnya, segelintir orang yang menggeluti "profesi" tanpa perlu basic pendidikan memadai ini, belum sempat "diblusuki" oleh ibu Menteri Sosial yang baru: Tri Rismaharini, mantan Walikota Surabaya.

Seperti yang saya temukan di salah satu warung makan, wilayah perkantoran Pemkab Bekasi, di Cikarang, Jawa Barat, Selasa 5 Januari 2021.

Pria satu ini punya gaya sendiri, dengan memberi "ceramah" ke setiap ada kumpulan orang, termasuk di warung makan.
.
Dari "ceramah"-nya inilah pria tersebut mendapatkan "sedekah" dari orang yang didatanginya. Nyalinya cukup besar ya...

Termasuk, ketika dia datang menghampiri tempat duduk saya dan istri duduk. Dia lupa, ini untuk ketiga kalinya kami bersua.

Dua kali di tempat yang sama, hanya berselang beberapa hari. Sekali ketemu, sudah cukup lama di malam hari. Di sebuah rumah makan sea food, bilangan Perumnas 3, Bekasi Timur Kota Bekasi.

Mungkin hanya mirip, atau kebetulan sudah ada orang lain yang menemukan metode serupa : "mengamen" dengan kemasan "dakwah bil lisan".

Metode lama, dianggap sudah tidak "mainstream" lagi. Misalnya menyanyi sambil memainkan alat musik -- gitar atau mutar kaset melalui tape recorder mini -- atau tanpa alat musik sekalipun. Cuma mengandalkan mulut. Ada juga berpuisi.

Yang lebih nekat lagi, mengamen di lampu merah. Di mana pesertanya terlihat tampil dengan berbagai peran dan akting. Dari bentuk orasi, teaterikal, hingga si "manusia perak".

Saat kendaraan berhenti menunggu lampu hijau. Atau sekadar membersihkan kaca depan mobil, juga motor roda dua. Baik dengan modal kemoceng atau lap kanebo.

Dari semua gambaran profesi di atas, ini sekaligus membuktikan bahwa betapa banyak orang butuh lapangan kerja. Tinggal kreativitas masing-masing. Jadi tidak benar, cari kerja itu susah kan?

Lapangan kerja di ruang terbuka seperti ini, sebenarnya ikut membantu mengurangi "kepusingan" pemerintah, cq Kementerian Tenaga Kerja.

Tak perlu mendirikan balai latihan kerja (BLK), atau kantor penyalur tenaga kerja, yang hanya menjamin masa depan mereka sebagai karyawan "outsourcing". Yakni, kontrak diperpanjang seenak perut pemilik perusahaan.

Padahal, bila merujuk pada Undang Undang No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, outsourcing (alih daya) dikenal sebagai penyediaan jasa tenaga kerja seperti yang diatur pada pasal 64, 65 dan 66.

Dalam dunia Psikologi Industri, tercatat karyawan outsourcing adalah karyawan kontrak yang dipasok dari sebuah perusahaan penyedia tenaga kerja.

Jadi intinya, mencari nafkah di jalan, lampu merah, atau keliling sebagai pengamen, toh lebih gampang dan prakatis. Tanpa calo, tanpa uang pelicin atau suap. Yang besarnya uang pelicin dan suap itu, terkadang lebih besar dari gaji yang nanti diperoleh sebulan.

Juga tidak perlu punya ijazah lulusan pendidikan formal, ijazah kesetaraan paket A, B, dan C di pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM).

Pokoknya, semua tidak perlu dan tidak diperlukan sebagai syarat penerimaan karyawan. Atau sertifikat profesi dari lembaga sertifikasi resmi.

Hidup ini jadi lebih berwarna. Lebih ringan dijalani ketimbang beban hidup selama ini. Hidup dengan penuh aturan yang berujung penyelesaian duit.

Andai begini negeriku? (Nur Terbit)

 

Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.