Etika Lembaga Hukum dalam Kasus Korupsi Siti Fadilah, Sesuaikah?
- vstory
VIVA – Pembahasan mengenai korupsi di Indonesia sudah tidak asing lagi untuk dibicarakan, hampir di seluruh sektor kehidupan berbangsa dan bernegara terjadi korupsi di dalamnya.
Tingginya angka korupsi di Indonesia dapat dilihat dari statistik penanganan perkara yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Rekapitulasi Penindakan Pidana Korupsi KPK per 1 Juni 2020 dengan periode tahun 2016 sampai 2020 mencatat secara rinci sebagai berikut:
Penyelidikan sebanyak 540 kasus, penyidikan sebanyak 525 kasus, penuntutan sebanyak 443 kasus, inkarch sebanyak 416 kasus, dan eksekusi sebanyak 424 kasus. Berdasarkan data statistik diatas yang dirilis oleh KPK, dapat dilihat bahwa tingkat korupsi yang terjadi di Indonesia masih sangat tinggi.
Berbicara mengenai korupsi, pada era Susilo Bambang Yudhoyono kasus korupsi sangat menarik untuk kembali dikaji. Salah satu kasus korupsi yang terjadi adalah yang dilakukan oleh Mantan Menteri Kesehatan, Siti Fadilah, dalam pengadaan alat kesehatan.
Rangkaian kasus ini diawali dengan terjadinya banjir bandang di Aceh pada tahun 2005 sampai keberhasilan Indonesia melawan pandemi flu burung.
Dengan keadaan ini, Siti Fadilah sebagai menteri kesehatan pada saat itu, harus mengambil tindakan cepat dalam menangani permasalahan tersebut. Pada saat itu, berdasarkan Keputusan Presiden nomor 80 tahun 2003, ia melakukan penunjukan langsung terhadap pengadaan alat kesehatan yang rusak akibat banjir bandang.
Akan tetapi, dalam pelaksanaannya ia diduga menerima beberapa aliran dana dari pihak terkait yang menjadikan dirinya harus mendekam di jeruji besi. Hal ini yang sampai sekarang masih menimbulkan tanda tanya besar di tengah masyarakat, karena diyakini masih terdapat kejanggalan yang dilakukan oleh lembaga hukum dalam menangani kasus tersebut.
Pelaksanaan sistem peradilan yang baik di Indonesia memiliki 4 pilar utama lembaga hukum, yaitu polisi sebagai penyidik utama, jaksa sebagai penuntut utama, hakim sebagai pelaksana keadilan, serta advokat sebagai penasihat umum, di mana setiap lembaga tersebut memiliki kode etiknya masing-masing.
Namun, apakah lembaga hukum dalam menangani kasus Siti Fadilah telah menerapkan etika dalam pengambilan keputusan? Atau ada kepentingan lain yang melatarbelakangi pengambilan keputusan tersebut?
Kepolisian
Kode etik Profesi Kepolisian Republik Indonesia diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 14 Tahun 2011. Peraturan tersebut mengharuskan polisi bersifat objektif, akuntabel, dan serta menjunjung tinggi kepastian hukum dan keadilan.
Namun, Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, Komisaris Jenderal Polisi Sutarman sudah menetapkan Siti Fadilah sebagai tersangka padahal penyidik Bareskrim masih mengumpulkan data dan keterangan lain yang dapat memperkuat penetapan status.
Hal ini diduga melanggar kode etik karena berdasarkan Pasal 66 Ayat 1 dan 2 Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2009, disebutkan bahwa status tersangka hanya dapat ditetapkan oleh penyidik setelah hasil penyidikan yang dilaksanakan dengan memperoleh paling sedikit 2 jenis alat bukti.
Sementara itu, di kasus ini polisi sudah menetapkan Siti Fadilah sebagai tersangka sembari mencari bukti yang ada. Hal ini juga tidak sesuai dengan sifat kepastian hukum yang seharusnya dimiliki oleh polisi, di mana seharusnya polisi sudah memiliki bukti terlebih dahulu baru menetapkan seseorang menjadi tersangka, bukan hanya berdasarkan pernyataan orang, tersangka orang lain, atau terdakwa.
Kejaksaan
Pelanggaran terhadap kode etik yang dilakukan lembaga kejaksaan, misalnya pelanggaran kode perilaku Jaksa PER-067/A/JA/07/2007 Pasal 3 terkait dengan prinsip kerja jaksa cepat, dan sederhana, serta berdasar pada keyakinan alat bukti yang sah.
Namun kenyataannya, terdapat tindakan yang dianggap sebagai penguluran waktu dalam proses pengembalian berkas sesuai dengan perkataan yang dikemukakan oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Adi Toegarisman, mengatakan bahwa pengembalian berkas Siti Fadilah terjadi hingga keempat kalinya karena petunjuk dari jaksa peneliti belum dapat dipenuhi baik formil, dan materil.
Selain itu, tindakan jaksa yang dianggap bersifat diskriminatif terhadap fakta-fakta yang ada dan melanggar PER-067/A/JA/07/2007 Pasal 4 serta terlihat dari adanya pelanggaran terhadap peraturan yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 Pasal 38 Ayat 4 terkait kriteria keadaan tertentu yang memungkinkan dilakukan penunjukan langsung apabila terjadi keadaan darurat.
Hakim
Dalam wawancara bersama Deddy Corbuzier melalui platform youtube-nya, Siti Fadilah mengatakan bahwa terjadi tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh lembaga hakim dalam menangani kasusnya.
Hakim tersebut mengambil keputusan dengan tidak melampirkan bukti yang cukup dalam penjatuhan hukuman kepada Siti Fadilah. Hal ini dianggap melanggar aturan karena tidak memperhatikan serta memberikan penjelasan terkait Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Dik-50/01/11/2014 dan juga surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Dik-12A/01/05/2015, di mana bukti dan keterangan dari saksi dianggap masih kurang.
Akan tetapi, hakim tetap menjatuhkan hukuman kepada Siti Fadilah karena bukti dinilai sudah cukup kuat. Putusan tersebut merupakan pelanggaran terhadap prinsip keadilan karena mencerminkan adanya tindakan pengabaian fakta yang menjadi landasan kuat untuk mengambil sebuah keputusan.
Pengacara
Kode etik advokat diatur dalam UU. No. 18 Tahun 2003 tentang advokat. Selain itu, dalam Pasal 3 Kode Etik Pengacara Indonesia Bab Kepribadian Pengacara, dijelaskan bahwa pengacara akan mewakili klien dan akan menjadi penasehat hukum atau pembela daripada tersangka atau terdakwa.
Dalam pelaksanaannya, pengacara Siti Fadilah, Achmad Cholidin, tidak melanggar etika karena melakukan tugas untuk membela Siti Fadilah dalam pengadilan sebagaimana mestinya. Achmad Cholidin kerap menemani Siti Fadilah dari awal kasus diangkat ke publik pada tahun 2016 hingga dibebaskan dari penjara pada akhir Oktober 2020.
Dari penanganan kasus tersebut, dapat dilihat bahwa terdapat dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh tiga dari empat lembaga yang ada. Kemudian, masih terdapat beberapa poin yang menimbulkan penafsiran yang berbeda dari tiap lembaga penegak hukum seperti pada proses penangan polisi, jaksa, dan hakim.
Hal ini menimbulkan celah bagi lembaga hukum untuk melakukan pelanggaran kode etik. Kode etik ini seharusnya dapat menjadi pedoman dalam berperilaku dan mengambil keputusan, karena sudah tercantum dalam setiap regulasi lembaga hukum.