Reshuffle Kabinet dan Reuni di Kabinet

Karikatur yang memuat gambar Jokowi, Maruf Amin, Prabowo, dan Sandiaga Uno.
Sumber :
  • Twitter.

VIVA – Reshuffle kabinet adalah hak proregatif presiden dalam sistem presidensial, isu tentang reshuffle kabinet semakin semarak dalam dunia politik nasional dikarenakan evaluasi pengangan percepatan Covid-19, isu ekonomi hingga terjeratnya beberapa menteri di dalam kabinet Presiden Jokowi yang tersandung kasus korupsi.

Posisi menteri adalah posisi yang sangat “seksi” bagi setiap politisi yang ingin berkuasa, tentunya Presiden Jokowi harus memikirkan matang-matang penentuan nama-nama menteri baru tersebut.

Hal ini menarik dilihat dalam perspektif game theory. Menurut Roger B Myerson (1991) Teori Permainan adalah studi tentang pengambilan keputusan strategis yang menekankan situasi bersaing di antara beberapa orang atau kelompok.

Bagaikan game, Presiden Jokowi harus tepat memasang peta puzzle nama menteri tersebut didalam pos yang tepat.

Pada tanggal 22/12/2020 di mana penulis menulis artikel ini, pemberitaan perpolitikan nasional dihebohkan dengan diumumkannya reshuffle kabinet atau kabinet kerja baru oleh Presiden Jokowi.

6 sosok menteri baru adalah bukan sosok yang asing dalam dunia perpolitikan. Sebut saja seperti Tri Rismaharini, Sandiaga Salahuddin Uno, Budi Gunadi Sadikin, Yaqut Cholil Quomas atau lebih dikenal sebagai Gus Yaqut, Wahyu Sakti Trenggono dan M. Luthfi.

Respons Cepat Jokowi

Presiden Jokowi terbilang cukup cepat merespon atas tuntutan rakyat bahwa presiden harus cepat melakukan reshuffle kabinet yang memiliki sejumlah masalah dalam kabinet.

Di antaranya adalah kinerja dalam kerja kabinet khususnya dalam percepatan penanganan Covid-19 dan pemulihan sektor ekonomi hingga ada beberapa menteri didalam kabinet yang tersandung skandal korupsi.

Hal ini harus kita apresisasi kepada Presiden Jokowi bahwa presiden cepat dalam merespons tuntutan masyarakat dan Presiden Jokowi bisa dikatakan cepat tanggap dalam merespons situasi krisis seperti ini.

Terlebih bagaimana ada pro dan kontra atas beberapa nama menteri yang dipilih oleh Presiden Jokowi, tetapi kita harus tetap mengapresiasi hal cepat tanggap tersebut.

Kita bisa melihat bagaimana Presiden Jokowi mereshuffle posisi menteri yang memang menjadi bahan evaluasi besar-besaran dalam percepatan penanganan covid-19 dan pemulihan ekonomi. Salah satunya adalah dalam sektor kementerian kesehatan.

Presiden Jokowi menggantikan posisi Terawan Agus Putranto dengan Budi Gunadi Sadikin sebagai menteri kesehatan yang baru. Selain itu sektor yang tidak kalah penting adalah dalam pos kementerian perdagangan, Presiden Jokowi mengganti posisi Agus Suparmanto dengan M.Luthfi sebagai menteri perdagangan yang baru. Besar harapan penulis juga sektor ini bisa menjadi lebih baik untuk memperbaiki kondisi negara saat ini.

Reuni Pilpres 2019

Kata “reuni” itulah kira-kira yang teringat dalam pikiran penulis, sebelumnya sudah ada capres kubu lawan Presiden Jokowi pada Pilpres 2019 yang menjadi menterinya, kali ini cawapres kubu lawan pada Pilpres 2019 yaitu Sandiaga Uno kini juga menjadi menteri di dalam jajaran kabinet yang dibentuk Presiden Jokowi.

Tentunya hal ini menjadi catatan baru sejarah dalam politik nasional di mana rival pada saat pertarungan pilpres keduanya diakomodir untuk dijadikan menteri.

Sandiaga Uno menggantikan posisi Wishnutama Kusubandi sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Jika melihat track record dari Sandiaga Uno memang sudah sangat pantas dalam menduduki jabatan strategis sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

Tetapi bukan hal tersebut yang menjadi fokus penulis inign ungkapkan, melainkan tentang etika politik kebangsaan kita yang menjadi concern penulis.

Etika Politik 

Mengutip Karl Barth (dalam Nurcholis Madjid, l992: 467) etika (dari ethos) adalah sebanding dengan moral (dari mos). Kedua-duanya merupakan filsafat tentang adat kebiasaan (sitten).

Perkataan Jerman Sitte (dari Jerman kuno, situ) menunjukkan arti mode (mode tingkah laku manusia), suatu konstansi (contancy, ketentuan) tindakan manusia. Pada dasarnya etika politik adalah hal yang subjektif untuk menilai apakah ada yang salah dalam etika politik tersebut atau tidak.

Namun kali ini menurut hemat penulis bahwa ada yang mengganjal tentang bab “etika politik” masuknya Sandiaga Uno kedalam jajaran kabinet dan sebelumnya Prabowo Subianto kedalam kabinet.

Sekali lagi hal ini bukan mempersoalkan apakah sosok tersebut pantas mendapatkan jabatan itu atau tidak, tetapi ini adalah tentang etika politik yang menurut penulis menjadi permasalahan. Walaupun kembali lagi bahwa pemilihan menteri adalah hak prerogatif presiden.

Coba kita ingat kembali pada masa Pilpres 2019 begitu kerasnya pertarungan tersebut bahkan menurut penulis Pilpres 2019 adalah Pilpres yang sangat mahal karena telah menaikkan emosional partisipasi warga dengan isu-isu yang sangat panas. Konflik vertical dan horizontal begitu nyata dan membekas hingga kini dan warga seakan-akan terbelah dengan dua kubu yang begitu kuat.

Pilpres 2019 kini sudah berlalu, dan pada dasarnya kita juga harus mengakhiri perpecahan politik warga setelah Pilpres 2019. Tetapi banyak cara bagaimana kita bisa mengakhiri perepecahan tersebut dan bukan menerima tawaran masuk ke dalam kabinet menjadi salah satu cara mengakhirinya.

Hukum normalnya adalah rival politik biasanya akan menjadi oposisi untuk menjadi sintesa dan antitesa dalam kehidupan demokrasi, demokrasi juga penting adanya check and balance.

Padahal membangun negara bukan hanya saja masuk dalam lingkaran kekuasaan, oposisi pun juga unsur penting dalam membangun negara agar bisa terus mengawal kekuasaan.

Hal tersebutlah yang membuat kecewa masyarakat khususnya yang kemarin mendukung Prabowo-Sandi yang berada pada angka sekitar 44,50?lam Pilpres 2019 dan saat ini keduanya sudah menerima tawaran jabatan dari Presiden Jokowi.

Tentunya hal ini adalah bab etika politik bagaimana ia seharusnya menjaga hati rakyat dan pada norma yang sewajarnya yaitu rival menjadi pengawas kekuasaan. Namun  kini nasi sudah menjadi bubur, Prabowo-Sandi kedaunya sudah menjadi menteri di jajaran kabinet Jokowi periode II ini.

Kita hanya bisa berharap bahwa keduanya bisa berkerja dengan baik, dan tentunya dari hal ini kita juga bisa mengevaluasi politik kenegaraan kita khususnya politsi agar bisa menjunjung tinggi etika dan norma politik. (Muhammad Farras Fadhilsyah, Analis Komunikasi Politik Kajian Kopi Malam Institute)

 

 

Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.