Seberapa Jauh Sepeda Kita Kayuh?
- vstory
VIVA – Nasib sepeda semula nyaris menjadi masa lalu. Setibanya pandemi, mendadak seperti punya peran baru. Masa depan baru. Barangkali karena sepeda nyaris dilupakan. Andrea Hirata kerap menampilkannya dengan tugas yang dramatis.
Sepeda dalam novel Guru Aini mendapat peran istimewa. Ia menjadi penanda sebuah impian besar Aini melintasi stigma kebodohan dan kemiskinan. Sejak ayahnya sakit terpapar virus tak bernama. Ia bersumpah harus menjadi dokter. “Kulihat ada tulisan Aini Cita Cita Dokter di kap rantai sepeda itu. Sepedamukah itu, Nong?
Dalam Laskar Pelangi, sepeda mendapat tugas tak kalah heroik. Dikayuh 80 km tiap hari, demi mimpi Lintang tak mau lagi terperangkap sebagai buruh kopra. Kemudian, sepeda Rally Rabinson made in England oleh tokoh sang ayah dalam novel Sang Pemimpi diisik-isik bagai mobil balap Formula.
Masalahnya, dalam kehidupan nyata saya. Sepeda tak terkesan seheroik itu. Apalagi, sejak banyak buruh tani di desa asal saya, mengikuti bimbingan leasing dari sales bertubuh langsing. Hilang sudah, adegan orangtua mendudukkan anak balita diboncengan sepeda.
Kaki diikat selendang, agar tidak masuk jeruji. Yang terlihat, motor matik ibu-ibu dasteran motif batik. Pun tak kaget lagi, jika melihat motor kinyis-kinyis. Ditugasi mengangkut rumput pakan kambing. “Mana sepeda ontelnya, Pak Damin? “Sudah dilego, dirayu-rayu orang bermobil yang suka rongsokan”, katanya.
Tetapi, kini dunia sedang terbalik. Masa lalu menyelinap dan masuk di tengah kita. Sepeda dicinta dengan tiba-tiba. Apa sebenarnya yang ditawarkannya kepada kita?
Tentu, hingga saat ini sepeda masih menawarkan kemampuan mengantarkan manusia melintasi jarak. Jika ditanyakan kepada pesepeda profesional, bahkan jarak itu nyaris unlimited. Pesepeda balap Tour de France dalam tiga minggu, melahap 3.500 km. Melewati tanjakan bukit dan puncak gunung.
Demikian ajakan, dengan argumen sepeda menjadi moda untuk berkarya. Entah, ingatan saya justru melayang pada Yu Dhar dengan sepeda bermuatan sayur, keliling menawarkan dagangan.
Sepeda mampu menaikkan posisi tawar. Pada masa masa kecil, modus ini ampuh, buat saya yang penakut. “Mas, kalau berani sunat, nanti dibelikan sepeda BMX”. Anda pasti ingat. Saat sepeda kerap ditugasi istana melatih anak-anak menebak nama-nama ikan. Oh, tentu saja. Sebagian menjadi curiga, sepeda kok dibebani tugas politik.
Sepeda menyediakan air untuk dahaga nostalgia. Kembali pada masa kecil dan kenangan. Juga menjadi entitas yang diyakini menunjukkan identitas. Komunitas-komunitas pit-pitan, dengan demikian akan terancam kehilangan ekslusivitas dan kebanggaan Jika sepeda menjadi mainan warga kebanyakan.
Hebatnyanya, sepeda juga terlihat. Di saat sepeda lagi asyik-asyik dipancal pedalnya. Mendadak, bisa digagas untuk mengemban tugas. Mengumpulkan pundi-pundi kas negara. Sontak, para pencuriga, teriak, "Lho bukannya di negara-negara maju, pesepeda malah disubsidi"
“Tiap berangkat kerja. Akhir-akhir ini makin banyak rombongan pit-pitan jadi penguasa jalan raya. Saya sudah pelan-pelan, mereka enggan memberi jalan. Malah ngasih gesture menantang” kata pak sopir kantor yang terkenal sabar. Lalu dia berteori, ini pasti unsur balas dendam.
Setelah pejalan kaki dan sepeda-sepeda sekian lama terjajah mobil. Disaat lain ketika sepeda menjadi massa, mereka berganti peran menjadi penindas. Sepeda-sepeda, ternyata bisa dikayuh, keluar dari inferioritas.
Begitulah sepeda. Tidak sekadar sebagai moda, melainkan juga untuk melayani keinginan, identitas, kehausan psikologis, sosial dan kekuasaan. Sepeda bisa menjelma pahlawan, pada waktu yang sama juga dicurigai. Bahkan menjadi terdakwa, untuk disalah-salahkan.
Dalam konteks tawar menawar dan interaksi antar manusia. Dalam dunia modern, hadir kepercayaan kepada sepeda. Pada saat yang sama, berbagi porsi dengan tumbuhnya kecurigaan.