Budaya Pangan Masyarakat Bantu Upaya Diversifikasi Pangan
- vstory
VIVA – Sebagai daerah sentra pertanian, warga Kabupaten Malang sesungguhnya tidak terlalu bergantung pada satu jenis makanan pokok. Jika ditelusuri ke belakang, kultur agraris membuat budaya pangan masyarakat amat familiar dengan sumber karbohidrat lain di luar nasi.
Bagi mereka yang tinggal di pedesaan, adalah sesuatu yang jamak mengkonsumsi makanan jenis umbi-umbian yang kerap ditanam sendiri di ladang maupun di pekarangan rumah. Konsumsi umbi-umbian itu bahkan berselang seling dengan konsumsi nasi.
Namun, dalam perkembangannya, budaya pangan masyarakat yang tidak terpaku pada beras ini kian ditinggalkan. Padahal makanan-makanan tersebut mengandung karbohidrat yang tak kalah dari beras. Secara kesehatan pun, akan lebih baik memberi tubuh asupan kalori beragam dibandingkan bergantung pada satu jenis makanan tertentu saja.
Menurut Hari Sasongko, budayawan sekaligus politisi di Kabupaten Malang, kebiasaan orang-orang tua dulu yang sering ngemil makanan jenis umbi-umbian mustinya dipertahankan. Sebab kebiasaan itu secara tidak langsung mengurangi konsumsi nasi berlebihan.
“Ketika saya kecil dulu, rebusan singkong, telo (ubi jalar) atau mbote (umbi talas), sering menjadi suguhan cemilan di sore hari, saat santai. Biasanya setelah itu orang jadi malas makan nasi. Malah banyak yang malamnya tak menyentuh nasi sama sekali karena memang sudah kenyang. Mestinya, kebiasaan yang baik ini dilanjutkan,” ujarnya beberapa waktu lalu saat ditemui di kediamannya di Pakisaji, Kabupaten Malang.
Pria yang akrab disapa Harsas ini tak menampik banyak faktor yang menyebabkan budaya pangan masyarakat yang sehat ini semakin lama semakin tidak populer. Salah satunya adalah perubahan pola gaya hidup yang menuntut kepraktisan. Lebih mudah dan cepat menanak nasi ketimbang mengupas atau mengukus singkong, misalnya.
Di negara-negara maju, telo (ubi jalar) baik yang ungu maupun yang kuning, kini mulai menjadi alternatif makanan pokok selain kentang.
Tak hanya itu. Unsur prestise kadang juga berperan di sini.
“Sulit melakukan diversifikasi pangan kalau makan nasi masih dicitrakan lebih superior daripada makan jagung, sukun, mbote, telo atau singkong. Makanan-makanan itu masih identik dengan orang miskin dan hidup susah,” imbuh Sasongko.
Karena itu, alumnus Universitas Brawijaya Malang ini menambahkan, perlu upaya lebih serius jika ingin program diversifikasi pangan mengena di masyarakat. Yang paling mudah dilakukan adalah menaikkan gengsi makanan-makanan pengganti nasi tersebut dengan mengembangkan produk olahannya sehingga praktis dan bisa sewaktu-waktu dikonsumsi.
“Tapi yang tak kalah penting adalah kemasan. Dengan kemasan yang bersih dan rapi, akan menarik minat masyarakat untuk meliriknya, termasuk masyarakat menengah ke atas. Kalau beras memiliki beragam kemasan, mulai yang biasa sampai yang paling eksklusif, kenapa singkong, jagung, telo dan produk olahannya tidak bisa dikemas yang sama? Itu yang harus dipikirkan,” jelas Sasongko.
Olahan tiwul kekinian. Olahan-olahan makanan tradisional semacam ini dapat menjangkau pasar yang lebih luas. Dengan demikian akan semakin banyak pilihan makanan pendamping nasi sebagai makanan pokok.
Lebih lanjut ia mengatakan, diversifikasi pangan tidak semata-mata soal mengganti konsumsi nasi dengan makanan lain. Namun ada nilai warisan leluhur di sana. Bagi masyarakat Jawa yang mayoritas berkultur agraris, makanan apa pun yang tumbuh dari dalam bumi adalah sesuatu yang patut disyukuri. Jadi sebenarnya tak hanya pada padi, makanan-makanan lain pun memperoleh penghormatan yang setara.
Nilai-nilai budaya inilah yang seharusnya digali dan dimasyarakatkan. Hanya akan buang-buang energi berbicara tentang diversifikasi pangan tapi tidak mengenalkan budaya pangan masyarakat yang pernah ada sebelumnya.
“Mesti dikikis pelan-pelan persepsi makan telo itu makanan orang minus. Orang-orang tua kita dulu penganannya juga telo tanpa kuatir dicap miskin atau kere. Lagipula, telo ternyata juga menyehatkan.
Buktinya, di banyak negara maju permintaannya terus naik karena jadi alternatif pengganti kentang, makanan pokok mereka. Kok kita yang punya warisan aneka kuliner dari telo malah gengsi memakannya,” tutup Hari Sasongko.