Desa Fiktif: Optimalkah Keterbukaan Informasi Penyaluran Dananya?
- vstory
VIVA – Kementerian Keuangan Republik Indonesia menetapkan anggaran total bantuan dana desa sebesar Rp70 triliun tiap tahunnya. Anggaran ini akan dibagikan ke 74.597 desa sehingga masing-masing desa akan mendapatkan kurang lebih Rp900 juta/desa.
Permintaan akan distribusi dana desa yang meningkat tiap tahunnya juga diiringi dengan banyaknya kemunculan desa-desa baru yang dinilai merupakan desa fiktif.
Berdasarkan data dari Indonesian Corruption Watch (ICW), ditemukan sebanyak 252 kasus korupsi anggaran desa sepanjang tahun 2015-2018. Di tahun 2015 tercatat 22 kasus, kemudian pada tahun 2016, meningkat menjadi 48 kasus. Selanjutnya pada tahun 2017 dan 2018 meningkat menjadi 98 dan 96 kasus.
Modus-modus dari pertambahan anggaran akan dana desa yang ditemukan di antaranya adanya penyalahgunaan anggaran, laporan keuangan fiktif, penggelapan dana, penggelembungan anggaran, dan kasus suap (Dharmaatuti, 2019). Hal ini kemudian berdampak pada keuangan negara yang pada tahun 2015 – 2018 mengalami kerugian Rp 107,7 miliar akibat korupsi anggaran dana desa.
Kemunculan desa-desa baru yang tak berpenduduk sengaja dibentuk agar bisa mendapat kucuran dana desa secara rutin tiap tahunnya. Demi mewujudkan penyaluran dana desa yang transparan, dibutuhkan keterbukaan informasi kepada masyarakat untuk menciptakan akuntabilitas dalam penyaluran dan penggunaan desa.
Sebagaimana yang disebutkan pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik bahwa setiap informasi publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh seluruh masyarakat.
Dalam realisasinya, informasi dana desa sebagian tidak dipublikasi karena alasan politik. Informasi dana desa menjadi terbatas dan pada akhirnya dapat dilabel informasi “dikecualikan”.
Salah satu desa fiktif yang ditemui adalah Desa Morehe di Kecamatan Uepai, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Desa ini mendapat kucuran dana pada tahun 2017 sebesar Rp774.804.000,00 dan tahun 2018 sebesar Rp665.680.000,00 (Tamenk, 2019).
Namun, setelah ditelusuri lebih lanjut, Desa Morehe telah dihapus karena sudah tidak ada aktivitas pemerintahan. Data ini menandakan bahwa pertanggungjawaban dari Dana Desa Morehe tidak kredibel karena terus diberikan dana desa.
Selain itu, partisipasi dari masyarakat juga kurang dilibatkan dari proses formulasi sampai pengawasan penggunaan dana desa. Hal ini mengakibatkan tidak optimalnya APBDesa dan PADesa (Pendapatan Asli Desa) tidak sesuai dengan potensi yang ada di desa.
Peran dari Kepala desa, PTPKD (Pelaksana Teknis Pengelolaan Keuangan Desa), dan Bendahara Desa dalam mengelola dana desa juga masih abu-abu dan tidak sesuai aturan. Dalam praktiknya di lapangan, Kepala Desa memiliki hak penuh untuk menentukan pengalokasian dana desa. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya loopholes untuk menyalahgunakan dana desa karena transparansi terhadap masyarakat yang masih minim.
Untuk mengatasi adanya kucuran dana pada desa fiktif, maka diperlukan peran dari Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam mengawasi kinerja perangkat desa dan penyerapan dana desa, serta mewujudkan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.
Kemudian, peran masyarakat menjadi sangat penting dalam mengawasi dan mengantisipasi indikasi penyimpangan dana yang dilakukan pejabat daerah. Kementerian dan pemerintah pun diharapkan dapat mengevaluasi segera dan membuat kebijakan terkait kasus ini agar tidak disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.