Derita Rentenir, Tidak Bisa Melihat hingga Akhir Hayat
- vstory
VIVA – Hati-hati dalam meraih rezeki, pilihlah yang benar-benar halal saja. Jika sampai menempuh jalan haram, azab Allah sunggung pedih. Seperti halnya yang dialami pria berinisial SD ini. Meski dirinya kaya, tapi harta yang ia peroleh sebagai rentenir justru membuat ia tidak bisa melihat sampai mati.
Ibarat pepatah Arab, “Wujuduhi la-adami” adanya sama seperti tidak ada. Maknanya, keberadaan kita dianggap tidak punya arti apa-apa untuk orang lain. Lebih menyedihkan lagi, jika keberadaan kita meresahkan orang lain. Sebaliknya, jika kita tidak ada orang lain merasa senang.
Keadaan seperti itu pula yang dialami SD, salah satu warga Srengseng, Depok, Jawa Barat. Bukanya sedih atas kepergiannya, warga justru senang dia pergi untuk selamanya, saat dirinya diberitahu telah meninggal dunia. “Biang keroknya sudah pergi, tak ada lagi yang suka malak (meminta uang dengan paks),” sambut Hndi (42), saat ditanya tentang meninggalnya salah satu tetangganya itu.
Pembaca tentu bertanya-tanya, seburuk itukah perbuatan almarhum? Ternyata, berdasarkan warga, SD memang menjadi musuh bersama warga sekitar. “Dia kan salah satu rentenir,” ucap warga lainnya. Ketika tempat tinggalnya didatangi, rumah itu memang sepi.
Menurut keterangan warga, keluarga SD berada di Bantul, Yogyakarta. SD dibawa keluarganya ke sana untuk dimakamkan. “Meninggalnya juga masih belum jelas kenapa. Tapi warga di sini memang marah besar dengannya,” jelas Handi.
Handi pun berkisah panjang lebar tentang sepak terjang SD. Memang, selama hidupnya SD terkenal sebagai rentenir dan merangkap juga sebagai pemalak. Sering kali SD banyak meminjamkan uang ke beberapa warga yang juga masih tetangganya tersebut dengan bunga yang sangat tinggi.
“Lebih besar dari pada pinjam di bank.” Sambungnya. Handi mencontohkan, jika ada uang yang meminjam puluhan juta rupiah, jaminan sangat besar, bahkan tidak masuk akal. Handi masih ingat, suatu saat, salah seorang temannya meminjam uang pada SD sebesar Rp 6 juta.
Temannya mengira, bunganya tidak lebih dari 7 persen. Ternyata, perkiraan itu salah, saat jatuh temponya, ia dicekik dengan bunga 20-40%. “Semakin besar utangnya, bunganya lebih besar lagi,” kenangnya.