Seribu Anak Tangga ke Goa Hiro

Pemandandangan dari Puncak jabal Nur.
Sumber :
  • vstory

VIVA - Kadang kita perlu menyendiri untuk mendapatkan sesuatu yang sifatnya spiritual. Bisa sekadar untuk pengalaman spiritual baru, untuk pelipur jiwa yang dahaga atau untuk mendapat ide-ide baru yang membebaskan.

Sekian abad yang lalu, Nabi melakukan kontemplasi hingga akhirnya mendapatkan sesuatu yang beyond spirituality, yaitu risalah kenabian. Saya coba menapaktilasi jejak langkah spiritual Nabi ini dengan mendaki lebih 1000 anak tangga menuju Goa Hiro.

Saya tak menghitung satu demi satu anak tangga di jalur pendakian menuju di mana Goa Hiro berada, namun jam digital di pergelangan tangan kiri menunjukkan angka 1.348 steps ketika pagi kemarin 25 Agustus, langkah kaki saya berhenti di puncaknya.

Sekitar 70 langkah lagi turun ke bawah terdapat Goa Hiro, tempat Nabi menerima wahyu pertama sekaligus risalah kenabiannya, Iqra 1-5.

Di Tanah Air, sesungguhnya saya paling malas kalau diajak meniti anak tangga di sebuah area wisata. Satu-satunya anak tangga yang pernah saya taklukkan adalah yang menuju bibir kolam lava Gunung Bromo.

Sangat memorable karena begitu sampai di tujuan, saya menyaksikan angin puting beliung kecil berputar-putar di puncak Gunung Bromo ini. Bisa tiba di puncak Jabal Nur juga merupakan pencapaian yang susah dipercaya dan dilupakan.

Malam itu, sepulang umrah, saya tiba di hotel sekitar jam 22.00. Setelah bercengkerama dengan roommate dan tetangga kamar, saya coba menempatkan badan di kasur. 15 menit mata terpejam, dan terbangun oleh riuh rendah suara membicarakan pengumuman dadakan dari pimpinan kloter tentang penyerahan koper malam itu juga karena akan dilakukan penimbangan paginya. Jadilah packing dadakan.

Tanpa sempat tidur lagi, jam 01.45 saya menuju lobi hotel. Berkumpul 10 orang, 1 ibu dari Aceh-Pamulang, 1 nenek bercucu 4 dari Klaten-Pamulang dan 8 orang lelaki berusia antara 40-60 tahun.

Langsung saya menyetop kendaraan di pinggir jalan depan hotel. Dapatnya sejenis omprengan Elf berkapasitas 12 orang.

"Nadzhabu hatta annihayah. Amama anddarojah," kata driver asal Yaman menjanjikan akan mengantar kami sampai depan anak tangga. Saya khawatir diturunkan di titik yang jauh dari titik awal pendakian. Kami pun deal. Setiap orang dikenai biaya 10 riyal.

Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Kami dapat merasakan ramahnya angin pagi Tanah Haram karena jendela kami buka. Menjadi penumpang tak ber-AC. Memasuki kawasan Jabal Nur, jalanan mulai menyempit dan nanjak. Kanan kiri banyak mobil diparkir di pinggir jalan.

Driver pun mulai memainkan tuas perseniling untuk menjaga momentum agar mobilnya tak kehilangan power. Perjalanan yang tak lebih dari 10 menit ini pun berakhir saat driver tiba-tiba membelokkan mobilnya di sebuah tanjakan.

Sebelum turun saya memastikan bahwa kami diturunkan di titik yang berdekatan dengan titik awal pendakian. Suasana malam tak memungkinkan kami melihat jalur awal pendakian.

Dan benar kata driver. Setelah berjalan tak lebih dari 50 meter, kami bertemu titik awal anak tangganya. Sebelah kanan ada toko pernak pernik oleh-oleh plus minuman di dalam kulkas.

Lampunya cukup terang dan menerangi jalan. Sebelah kiri ada bangunan musala kecil. Beberapa org terlihat turun dari arah atas. Beberapa yang lain sama dengan kami. Siap menapaki anak tangga ke puncak Jabal Nur.

Tangga demi tangga kami lewati. Sungguh berat dan curam terasa. Tak terbayang dulu bagaimana kanjeng Nabi yang pergi ke Goa Hiro tanpa anak tangga seperti yang kami lewati.

Begitu juga Khadijah yang mengirim ransum buat suaminya di atas sana. Napas saya terengah-engah. Saya membayangkan Muhammad penuh semangat jalan kaki dan mendaki dari Mekah sana nun jauh di bawah sana.

Ya Allah, limpahkan shalawat untuk Muhammad dan keluarganya sejumlah anak tangga ini. Curahkan shalawat untuk Muhammad sejumlah bebatuan yang ada di Jabal Nur.

Limpahkan shalawat untuk Kanjeng Nabi sejumlah makhluk hidup yang ada di Tanah Haram. Anugerahkanlah shalawat untuk kekasihMu sejumlah mereka yang sudah bershalawat dan sejumlah mereka yang belum bershalawat kepada Muhammad.

Belum genap satu jam, saya sudah sampai di puncak Jabal Nur. Ramai terlihat orang-orang berkebangsaan Turki dan Indonesia. Bunyi mesin diesel menghiasi malam menghasilkan listrik yang menerangi sebuah warung kopi.

Dari puncak itu saya melipir di pinggir tebing melongok ke bawah. Di bawah sorot senter seorang jemaah dari Bandung terlihat di sana Goa Hiro. Beberapa orang bergantian memasuki goa kecil yang hanya muat 1 orang. Di atasnya ada tulisan Arab.

"Iqro bismirabbikalladzi kholaq. Kholaqol insana min alaq." Dari sinilah semuanya bermula setelah Muhammad menerima risalah kenabian.

Angin semilir sejuk. Satu persatu para pendaki berdatangan. Smakin ramai dan padat suasana di Puncak Jabal Nur karena jumlah yang turun pulang tak sebanding dengan yang naik.

Yang memilih bertahan, termasuk kami, berkeinginan menanti adzan shubuh yang beberapa menit lagi berkumandang.

Tepat jam 4.43 WAS, seorang berkebangsaan Turki mengumandangkan adzan. Berbekal wudu dari hotel, saya nyempil ambil posisi di samping kanannya. Hening dalam kesempitan dan suara setengah berbisik orang-orang di puncak jabal.

Usai salat saya menengadah mengarahkan pandang ke langit. Ada rembulan di langit sebelah kanan. Sendirian. Tidak terlihat berteman bintang. (Ahmad Muhibbuddin, Alumni Madrasah Aliyah Program Khusus Jember dan UIN Syahid Jakarta)

Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.