Khusyuk for Beginner di Tanah Suci (Part 2): Khusyuk saat Ibadah Kolosal

Khusyuk dalam ibadah haji.
Sumber :
  • vstory

VIVA.co.id - Mungkinkah khusyuk yang personal itu bisa kita raih dalam ibadah yang dilaksanakan secara kolektif? Atau khusyuk memiliki berbagai level yang bisa disetting sesuai kebutuhan pribadi para salikul mutmainnah?

Satu-satunya tempat ibadah yang tak pernah sepi adalah Ka'bah dan Masjidil Haram. Ada tips yang bisa dicoba agar tidak desak-desakan beribadah di sekitar Ka'bah.

Pilihlah waktu yang agak jauh misalkan 2 jam sebelum dan sesudah salat 5 waktu. Kami kemarin mengabaikan tips ini. Datang dengan niat umrah 1 jam menjelang maghrib.

Walhasil jemaah sudah memenuhi pelataran luar Masjidil Haram dan kami pun terbuang terbawa arus jemaah hingga ke roof top Masjid.

Selalu ada hikmah di balik peristiwa. Ada sesuatu yang berbeda saat bisa mendengarkan kumandang adzan maghrib dengan langsung menatap langit yang terbuka.

Transisi perubahan siang ke malam hari saya nikmati saat ajakan muadzin menyerukan ajakan menuju keberuntungan; Hayya alal falah. Pada saat yg sama, beberapa merpati terbang rendah menuju peraduannya di balik atap-atap bangunan di rooftop Masjidil Haram, seolah menemani matahari yang juga menyembunyikan sinarnya di balik bukit.

Ini mungkin khusyuk yang saya dapatkan di penghujung senja. Hening. Hiruk pikuk tidak terdengar.

Setelah smua berkumpul selepas salat Maghrib, kami turun bergerombol menuju Ka'bah untuk Thawaf dan kemudian lanjut Sai. Karena tergolong muda usia, saya dapat peran sebagai "penjaga barisan regu."

Di bawah komando seorang Muthowif, kami berkeinginan bisa bersama-sama mengawali dan mengkakhiri ritual thawaf dan Sai. Tidak tercerai berai.
Lampu hijau di pojok segaris Hajar Aswad di depan kami dan Go...kami memulai langkah mengitari Ka'bah 7 Putaran.

Thawaf selepas Maghrib ini luar biasa padatnya. Beposisi di samping Muthowif, saya membuka jalan dan mengarahkan skitar 40 orang untuk mendekati Kabah.

Tujuannya biar putarannya lebih pendek dan waktu tempuh lebih singkat.
Saya berusaha meresapi makna setiap kata yang diucapkan Mutowwif. Kemudian memantulkannya ke langit berharap di dengar Tuhan.

Rasanya tidak pernah utuh satu kalimat doa saya panjatkan. Fokus itu selalu buyar di tengah langkah. Tiba-tiba dari kanan ada orang besar melintas memotong barisan ingin menyeberangi lautan manusia menuju Ka'bah.

Semenit kemudian dari sisi kiri sosok kakek nenek minta jalan menerobos barisan untuk meninggalkan Ka'bah. Sejurus kemudian, dari depan orang berkulit legam dengan keringat bercucuran dan baju putih basah kuyup oleh keringan, berjalan melawan arus mereka yang thawaf.

Dan dari belakang terdengar, ibu-ibu setengah berteriak minta minggir ke kanan menghindari desak-desakan.

Fokus untuk mendapatkan khusyuk itu semburat terbawa suasana. Tidak terasa langkah kami melewati rukun yamani. Doa sapu jagad pun dirapalkan oleh rombongan.

Ini memang khas jemaah Indonesia yang berdoa ramai-ramai secara loudly. Satu-lima detik saya dapat sinyal fokus sebelum akhirnya langkah kaki terhenti pada dua anak kecil yang ikut thowaf di sela kerumunan keluarganya.

Menjelang mengucap Bismillah Allahu Akbar pada pojok hajar Aswad, gerak kami terhalang sosok perempuan besar berjilbab putih berhidung mancung beralis tebal. Sssst... dia meletakkan tangannya di depan bibir. Seolah mengkode agar kami melafalkan doa dengan diam.

Perlahan dia pun minggir karena kuatnya gerakan bersama grup kami. Perhatian telinga saya belum sepenuhnya beralih dari perempuan yang berada di jarak 1 meter sebelah kanan saya. Setengah menggerutu dia berujar, "Tuhan tidak tuli. Tdk perlu berdoa sambil teriak-teriak."

Kejadian ini teringat saat menjelang tidur tadi malam. Khusyuk dalam thowafku tadi sebenarnya di bagian mana ya. Jangan-jangan tidak ada khusyuk di thawafku, terbawa oleh peluh dan basah kuyup pakaian lelaki berkulit legam yang melawan arus atau tersapu gerak lembut bibir dan jemari perempuan yang lebih suka diam diam bermunajat dengan Tuhan tadi?

Keluar dari rombongan

Upaya mendapatkan khusyuk dalam ibadah koletif ini berlanjut di Safa dan Marwa. Kali ini saya memutuskan keluar dari grup. Ending thawaf yang bertepatan azan Isya, membuat barisan tercerai berai.

Secara natural kelompok terbagi dua. Saya coba menyatukannya tapi karena berbeda lantai tempat sai akhirnya bersai lah masing-masing dua kelompok ini.

Saya pun terpisah dari kedua kelompok akhirnya menjadi muthowwif untuk diri sendiri. Egois memang. Pengennya sih dapat pengalaman spiritual berburu khusyuk tadi.

Setelah merapal doa permulaan Sai di Shofa, saya pun memulai langkah. Tentunya bisa sedikit lebih "nginclik," istilah dusun saya untuk mereka yang berjalan rada cepat.

Untuk memastikan tepat hitungan, saya membuka buku saku Haji. Tertulis di sana setiap urutan trip sekaligus apa yang harus dibaca di tiap trip dari Shofa-Marwa dan Marwa-Showa. Saya baca seraya mengangankan setiap kata yang ada di sana.

Dalam setiap trip, selalu saja upaya fokus yang egois saya terdistract oleh para pendorong kursi roda dengan penumpangnya. Saya kembali teringat Ibu yang Desember lalu melakoni hal sama saat Sai.

Ingatan itu mendadak buyar begitu ada suara menggema dari kelompok di belakang saya. Mirip suara korps tentara yang sedang bersemangat berlari kecil berrsama-sama meneriakkan kata, menirukan seruan komandannya.

Saya menepi dan tak lama kemudian berlalu korps orang-orang berbadan besar berkulit hitam melintas sambil mendendangkan doa-doa.

Perintah Nikah

Salah satu yang paling seru dari Sai adalah saat melintas ruas berlampu hijau yang panjangnya 70 meter di setiap trip. Kami para lelaki yang bersai disarankan berlari kecil sambil berdoa saat melintasi ruas itu.

Saking seringnya dan beberapa kali bersai, kalimah ini seperti hafal di luar kepala.

"Robbighfir warham wa'fu watakarram watajaawaz 'ammaa ta'lam..."

Menjelang putaran terakhir, saat baru masuk ruas berlampu hijau ini, telinga saya mendengar pelafalan doa yang agak berbeda dari lelaki asal +62.

Seharusnya "watajaawaz," dilafalkan oleh Bapak itu dengan "watazawwaj."
Karena sudah lelah, saya langsung mendekati Bapak itu. "Pak Watajaawaz apa watazawwaj?" Sapaku to the point.

Bapak itu terbengong. Langsung saya berondong lagi dengan beberapa ujaran."Pak, tajaawaz ya. Kalo tazawwaj itu minta nikah lagi."

Sejenak Bapak melihat buku sakunya dan tersenyum memberi jempol ke arah saya. Artinya memang jauh. Tajaawaz sendiri bermaksud memohon Allah agar membolehkan atau mengampuni dosa-dosa yang Allah ketahui.

Khusyuk saiku mungkin tersangkut di antara lipatan buku manual saku atau pada kursi roda yang melambungkan anganku pada Ibu. Khusyuk memang benar-benar personal. Setiap orang akan mendapatkan atau bisa jadi tidak mendapatkan khusyuk itu saat melakukan ibadah yang kolosal. (Ahmad Muhibbuddin, Alumni Madrasah Aliyah Program Khusus Jember dan UIN Syahid Jakarta)

Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.