Jangan Panggil Aku Thoriq

Jemaah haji di Mina.
Sumber :
  • vstory

VIVA.co.id – Dari Tanah Air banyak yang bertanya mengkhawatirkan kebenaran hujan dan banjir yang melanda Mina. Karena tidak memiliki "droneview," saya bilang secara subyektif kami di Mina aman-aman saja. Hujan hanya lewat sebentar, menyapu tidak habis sampah-sampah yang berserakan.

Secara spiritual, wukuf di Arafah sering disebut sebagai puncak ibadah haji karena merupakan waktu yang tepat untuk merelease dosa dan merapal doa.

Namun menurut hemat saya, ujian sesungguhnya itu ada di Mina. Kesabaran, kebersamaan,dan kesiapan jiwa dan raga jemaah haji pada tahap ini benar-benar diuji.

Hujan berangin kencang itu terjadi sore 11 Dzulhijjah. Langkah saya untuk salat Ashar di masjid terhenti di dapur pemondokan Mina karena derasnya hujan.

Dari sela-sela jeruji pagar saya sempat menyaksikan air deras mengalir membawa sampah di jalan raya.

Sampah-sampah itu tetap tercecer sepanjang jalan hingga pagi berikutnya sekembali kami berjalan kaki menyusuri jalan dari jamarat menuju tenda di Mina. Sempat membawa ingatan pada sampah-sampah di Pamulang, Tangsel.

Malam pukul 22.00 WAS, kami berangkat berjemaah sekitar seratusan orang untuk mBalang Jumrah. Meski jalanan masih becek dan sampah di mana-mana, Kami tetap semangat jalan kaki.

Sehari sebelumnya kami sudah Jumrah Aqabah dan merekam di aplikasi jarak tenda kami ke Jamarat pulang pergi 8,6 KM.

Saat-saat seperti inilah kesiapan raga itu diuji agar secara spiritual dapat membuang beragam hal buruk yang disimbolkan melalui lemparan 7 butir batu.

Tiga bangunan bulat yang terpisahkan jarak sekitar 100 meter mulai terlihat dari jauh. Di situlah nanti, kami melempar masing-masing sebanyak 7 butir batu.

Karena nafar awal, kami harus melempar 3 jumrah (ulo wusto aqobah) langsung dalam 2 tahap yang berdekatan, tapi berbeda hari.

Tahap pertama relatif mudah kami lalui. Tidak se-crowded yang saya bayangkan sebelumnya karena asumsi jutaan orang berbarengan melempar jumrah.

Selepas termin pertma, kami harus mencari tempat istirahat sekaligus untuk menanti pergantian hari pukul 00.00 WAS untuk melempar Jumrah tahap kedua.

Kami pun ngampar duduk gelar tiker seadanya di sekitar tempat gedung Jamarat. Hal yang sama dilakukan oleh ribuan jemaah haji dari negara lain yang ingin nafar awal.

Selama menanti inilah hampir tiap menit, asykar atau polisi Arab Saudi berputar pelan menggunakan mobil jip membubarkan kerumunan jemaah yang menanti pergantian hari.

Tot tot. Wuing wuing. Bunyi strobo khusus hampir tiap menit plus dengan kerlap-kerlip lampu khas mobil jip polisi membubarkan kerumunan jemaah.

"Toriq ya Haj. Toriq Toriq," teriak polisi dengan pengeras suara dari dalam mobil, mengusir jemaah yang bergeming mbandel tetap duduk-duduk di area di luar Jamarat.

"Duh Pak Pulisi, namaku bukan Thoriq. Jangan panggil aku Thoriq," ujar Muhammad seolah meminta asykar memahami kondisi jemaah yang sedang menanti pergantian hari.

Hari pun berganti. Alhamdulillah, lempar jumroh ula wusto aqobah tahap kedua pun selesai, termasuk pelemparan badal atau pengganti yang saya lakukan untuk Ungku Buchori yang lemah dan memilih istirahat di Tenda.

Kami pun kembali pulang berjalan berombongan sekitar seratusan orang ke pemondokan.

Kangen Tenda

Seperti saat berangkat, kami ingin pulangnya pun utuh bersama dalam jumlah. Kebersamaan kami diuji. Sayang akhirnya tidak terwujud karena hampir semua seolah ingin sgera sampai di pemondokan, kangen tenda.

Pemondokan sendiri bentuknya tenda permanen. Beralaskan karpet merah dengan luas yang terbatas.

Di tenda ini, kami tidur uyel-uyelan berbantal apa saja yang enak dipakai. Bagi yang beruntung bisa tiduran menyelonjorkan kaki penuh. Bagi yang tinggi badan di atas rata-rata harus rela tidur dengan menekuk kaki.

Rasio luas space tenda dengan jumlah jemaah memang jauh dari ideal. Gap yang sama juga terjadi pada jumlah toilet dan kamar mandi.

"Bisa 30 menit untuk ngantri pipis atau mandi," ungkap seorang Ibu yang berusaha menikmati kondisi.

"Tidur di luar bro biar bisa lempeng kaki," kata teman melalui WA di pemondokan atau maktab yang berbeda.

Beruntung lokasi tenda saya dekat masjid besar, sehingga saya dan beberapa teman memilih tidur di masjid, menghindari AC tenda yang tidak bisa dikontrol dingin dan kekencangan anginnya.

Luas kawasan mina yang segitu-gitu saja memang tidak memungkinkan menyuguhkan space tenda yang ideal.

Gap antara jumlah jemaah dengan ketersediaan space dan toilet layak ini tentu tidak akan tertangani pada tahun-tahun mendatang jika kondisi tidak diperbaiki.

Perluasan bangunan ke atas alias tingkat bisa jadi alternatif. Alternatif lain, tentu saja jumlah kuota haji bisa dikurangi hingga mencapai rasio ideal perbandingan jemaah yang bisa memberikan kenyamanan.

Kenyamanan menjadi sesuatu subyektif ketika disuguhkan pada jemaah haji yang "neriman" alias menerima apa aja yang diberikan pemerintah karena memang tidak punya pilihan lain.

Saya pribadi berharap agar generasi haji berikutnya mendapatkan fasiltas dan layanan yang lebih baik, termasuk juga agar tidak dipanggil Thoriq saat menanti pergantian hari untuk mBalang Jumroh(Ahmad Muhibbuddin, Alumni Madrasah Aliyah Program Khusus Jember dan UIN Syahid Jakarta)

 

Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.