Orang Aussie Mencari Mbah Moen
- vstory
VIVA - Bagi orang biasa yang tak memiliki akses khusus, kemarin hanya punya 2 pilihan. Menshalati Mbah Moen di Masjidil Haram atau menunggu di Pemakaman Ma'la agar bisa mengantar beliau ke tempat peristirahatan terakhir.
Saya memilih yang kedua. Ke Ma'la bersama Heri Trianto, Pemred Bisnis Indonesia yang sedang cuti haji, dan Pak Bambang, salah satu petinggi PLN. Kami berangkat lebih awal dan shalat dzuhur dulu di Masjid Jin yang berjarak sepelemparan batu dari Ma'la.
Stelah mendapatkan info dan signal kepastian tempat Mbah Moen akan dimakamkan, kami berdiri di dekat pintu masuk, dekat kedai kopi machiato. Bersua juga kawan detik.com Ardi Suryadi di samping kedai. Sayang saat mau ngopi keburu tutup karena baristanya harus shalat dzuhur dulu.
"Anda petugas di sini? Saya ingin dapat info kepastian di sebelah mana Kyai Maimoen dimakamkan," tanya seorang berperawakan bule bergamis kuning dalam Bahasa Arab "sekolahan."
"Saya bukan petugas. Tapi Anda berada di lokasi yang tepat. Sebentar lagi jenazah akan tiba. Ini mobil para pejabat sudah terparkir di sekitar sini," jawab saya seraya menunjuk mobil dubes RI yang diparkir tak jauh dari tempat saya.
"Ini anak saya. Kami dari Libanon tapi tinggal di Australi. Saya pernah sowan ke Mbah Moen," ungkap si Bapak sambil memperkenalkan pemuda di sampingnya.
Dia kemudian mencari-cari sesuatu di HP-nya. Akhirnya ditunjukkan sebuah foto saat dia berdua bersama Mbah Moen. Di file Jpeg itu muncul informasi picture itu diambil Januari, 2018.
"Saya ingin mengantar beliau ke pemakaman." Kami pun bergabung dengan ribuan orang lain yang mulai berduyun-duyun memasuki area Ma'la begitu pintu makam dibuka.
Sebentar kemudian, sebuah titik tempat pusara Mbah Moen akan dimakamkan sudah dikerumunin orang. Terlihat beberapa tokoh ada di dekat dan sekitar lobang liang lahat, termasuk Habib Riziq dan tim. Sambil menunggu jenazah tiba, tanpa dikomando, kami yang berdiri di skitar liang lahat, melafalkan kalimah tahlil. Ada sebuah tangga menjulur ke dalam lobang liang.
Setengah jam berlalu, tak tahan panas, saya ingin berteduh menuju tenda arah pintu masuk makam. Belum sampai tenda, sudah datang kerumunan orang menandu keranda jenazah berselimut biru.
"Bukan. Bukan," ujar seseorang menjelaskan kalau jenazah yang diusung ini bukan Mbah Moen. Jenazah betutup kain biru itupun berlalu ditandu orang-orang arab yang ada di situ.
Tak lama berselang, dari arah pintu masuk kembali muncul rombongan penandu jenazah. Kali ini jumlahnya lebih banyak. Berselimut kain hitam jenazahnya. Tak salah lagi. Ini dia yang dinanti. Kami yang dari tadi berdiri menyongsong menjemput keranda. Baru saja tangan ini menyentuh pinggir keranda, tiba-tiba berhenti.
"Ini kesempatan terakhir. Bagi yang ingin menyalatkan Mbah Moen silahkan," ujar seseorang bergamis putih berpeci haji. Berjamaah, kami pun menyalatkan Mbah Moen.
Alhamdulillah, Allah beri kesempatan kami yang tak sempat ikut menyalatkan di Masjidil Haram, selepas dzuhur tadi. Pengalaman pertama salat jenazah di pemakaman, mengantar Almaqhfurlah, Mbah Moen. Sugeng kundur Mbah Moen.
Selaksa doa terpanjat bukan hanya dari kami dari Indonesia, murid-muridmu di negara lain juga berduka dan mengantarmu dengan doa. Sugeng kundur Mbah Moen...(Ahmad Muhibbuddin, Alumni Madrasah Aliyah Program Khusus Jember dan UIN Syahid Jakarta)