Imam yang Memahami Makmum
- vstory
VIVA - Kemarin adalah salat Jumat pertama saya setelah memasuki Kota Mekah tahun ini. Saya mendapati imam salat yang berorientasi pada makmum.
Cuaca satu jam sebelum dan setelah salat Jumat kemarin sangat ekstrem. Kota Mekah bersuhu sekitar 40 derajat dan dikepung debu sampai langitnya tidak lagi biru.
Kendati demikian tak menyurutkan langkah umat Islam dari berbagai penjuru bumi berduyun-duyun menuju Masjidil Haram, bahkan ada yang berangkat 4-5 jam sebelum adzan Jumat berkumandang. Tujuannya agar mendapatkan tempat salat seterdepan dan juga seadem mungkin.
Saya mendapat tempat di lantai 2 Masa’a (tempat sa’i). Kendati demikian mata telanjang saya bisa menyasikan beberapa shaf terluar di depan saya. Saya yakin itu panas sekali.
Beberapa ada yang bersila dengan berpayung. Sebagian membiar sinar terik matahari menyentuh langsung kulit. Di antara mereka tampak satu orang berjalan membelah jemaah, membawa sebotol zamzam dan membagikan gelas sekaligus menuangkannya ke jemaah yang menginginkan.
Sebagian lagi menyemprotkan botol kecil zamzam ke muka dan tengkuk untuk mengurangi efek terik matahari siang hari bolong.
Khatib pun menyampaikan khutbah. Pesan pentingnya persatuan umat Islam dirangkai dengan ibadah haji yang sebentar lagi datang waktunya. Haji hanya bisa dilakukan di bulan yang sudah ditentukan.
Sebentar kemudian, khutbah Jumat usai disampaikan. Salat Jumat pun dimulai. Imam salat membacakan ayat yang inline dengan isi khutbah tadi.
Sesuai dengan konteks dan yang menarik setiap rakaat hanya 1-2 ayat saja. Rakaat pertama ayat tentang keutamaan Baitullah sebagai rumah ibadah pertama yang dibangun di Mekah (QS Alimran 96-97).
Rakaat kedua ayat tentang Haji yang sudah ditentukan waktu dan perbuatan-perbuatan yang dilarang selama haji (QS Albaqarah 197).
Saya menilai imam ini tidak khusyuk sendiri dengan bacaan dan hafalannya yang panjang-panjang. Salat saya mungkin tidak khusyuk karena saat itu saya mendadak memikirkan imam ini berusaha memahami makmumnya yang rela berjemur menunggu dan untuk menjadi pengikut sang imam salat.
Andai negeri saya memiliki banyak pemimpin yang memahami kebutuhan konstituennya, bahagia insyaallah rakyat yang rela memilihnya. Semoga saja lahir kebijakan-kebijakan yang lahir dari kebutuhan rakyat.
Bukan keputusan-keputusan yang diambil untuk kepentingan penguasa lalu dikemas dengan pencitraan demi dan untuk rakyat. Bukan juga kebijakan yang hanya untuk melanggengkan dan melindungi kekuasaannya. (Ahmad Muhibbuddin, Alumni Madrasah Aliyah Program Khusus Jember dan UIN Syahid Jakarta)