Kekurangan Jangan Membuatmu Menyerah

Ilustrasi atlet difabel.
Sumber :
  • ANTARA FOTO

VIVA – Trisna. Demikian teman-temannya memanggil pria tampan putra dari pasangan Komisaris Polisi atau Kompol Dede Juanda dan Toibah ini. Sikap dan gaya hidupnya yang sederhana membuat orang-orang sekitarnya betah bergaul dengannya.

Tidak hanya itu, Trisna juga rendah hati dan sangat pemalu dengan orang-orang sekitarnya. Namun demikian, jangan ditanyakan mengenai prestasi-prestasinya di bidang seni terutama fotografi. Sudah banyak prestasi yang telah dia raih dalam kariernya.

Pria pemilik nama lengkap Trisna Hadi Syaputra ini dilahirkan di Baturaja, 22 Agustus 1997. Pendidikan formal pertama ditempuh di SDN 48, Kecamatan Baturaja Barat, Kabupaten Ogan Komering Ulu dan lulus pada 2008 lalu. Kemudian, ia melanjutkan ke SMPN 2 di desa yang sama.

Dari SMPN 2, dia meneruskan pendidikan Sekolah Menegah Atas di Yadika. Dan sekarang sedang duduk di semester 5 di Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Gading Serpong, Tangerang dengan jurusan FTV (Film dan Televisi).

Trisna mengalami kecelakaan kecil saat duduk di kelas 4 SD, tepatnya saat dia selesai mengaji di masjid dekat rumahnya. Layaknya anak-anak yang seumuran dengannya, ia bermain lari-larian dengan gembira saat menjelang sore hari. Tetapi nahas, Trisna terjatuh saat ia ingin mengejar temannya yang lain.

Akibatnya, Trisna terjatuh dengan posisi badan menimpa tangan kirinya. Pada saat itu, tangannya sama sekali tak bisa digerakkan. Ia menjerit sekuat-kuatnya saat tangannya dicoba untuk digerakkan oleh orang sekitar yang ada di sana.

Orang tuanya langsung membawa dia ke rumah sakit terdekat. Benar saja dugaan ibunya, dokter mengatakan tulang tangan kiri Trisna patah. Rasa sedih membanjiri semua orang yang berada di ruangan itu. Dokter mengatakan agar tangan kirinya bisa berfungsi lagi, butuh beberapa bulan bahkan tahun untuk mengobatinya dan butuh biaya yang besar.

Setelah mendengar kabar itu, kakak dari ibunya yang biasa dipanggil Abah, langsung ingin mengobati Trisna secara non medis agar keluarganya tidak perlu mengeluarkan biaya yang besar untuk pengobatan tersebut. Trisna langsung dibawa ke Lampung, tempat abahnya tinggal dan berharap agar tangannya bisa sembuh.

Sesampainya di Lampung, Abah langsung menjalankan pengobatan yang bisa dikatakan bukan seperti layaknya medis. Orang-orang biasa menyebutnya pengobatan yang dilakukan oleh orang “pintar”.

Karena tak punya obat penghilang rasa sakit, maka Abah menggunakan metode mematikan nadi yang ada di tangan, agar Trisna tidak merasakan sakit ketika abahnya mengembalikan tulangnya yang patah.

Beberapa hari, minggu, bahkan bulan setelah diobati oleh Abah, Trisna merasa ada yang berbeda dengan tangan kirinya. “Warna tangan saya menjadi seperti biru atau ungu. Seperti berwarna busuk kan,” papar Trisna. Setiap ingin tidur, cermin di depan kasurnya selalu mengganggu penglihatannya. Karena tangan kiri yang sudah membusuk itu selalu terlihat olehnya, dan membuat Trisna ingin menangis setiap malam.

Orang tuanya mulai curiga ada yang tidak beres dengan pengobatan yang dilakukan oleh Abah kepada anaknya. Akhirnya, Trisna dibawa lagi ke rumah sakit untuk diperiksa. “Tangan kiri saya tulangnya sudah benar. Tapi kata dokter, darah tidak mengalir di tangan itu,” ujar Trisna.

Dokter menambahkan, bahwa nadi di tangan kiri Trisna tidak terdeteksi. Itulah penyebabnya mengapa darah tidak mengalir di tangan kirinya. Ibunya menangis dengan tersedu-sedu karena hal ini terjadi kepada anaknya. Bahkan, ia bertanya-tanya, mengapa kakaknya sampai bisa lupa untuk mengembalikan nadi Trisna ketika selesai diobati.

Dokter mengatakan, bahwa tangan kiri Trisna harus segera diamputasi sebelum menyebar ke tempat yang lain. Dengan berbagai nasihat yang disampaikan kepada Trisna, ia harus menerima tangan kirinya dipotong. Umur Trisna saat itu masih kecil dan harus menerima beban seberat ini. Sampai saat ini, Trisna akhirnya menggunakan tangan palsu agar ia tidak malu dengan keadaannya.

Singkat cerita, meskipun dilahirkan di Baturaja ia mengaku lebih enjoy dan suka tinggal di Tangerang khususnya di Gading Serpong. Karakternya lebih pendiam, berbeda dengan keluarganya yang lain yang lebih ceria. Dan dikarenakan Kota Baturaja kecil, Trisna sangat kesusahan untuk mencari peralatan yang ia butuhkan untuk fotografinya.

Menurutnya, dalam dunia film, teman-teman dari universitasnya memang lebih bersemangat dan semarak. Pengalamannya dalam dunia film-fotografi memang telah dirambah Trisna mulai masih SMA. Saat ia duduk di kelas 2 SMA, fotonya yang bertema human interest telah terpilih sebagai juara 3 se-kabupaten. Hal itu menjadi secercah sinar yang menerangi bahwa bakatnya adalah fotografi.

“Meskipun saya cuma punya satu tangan, tapi semuanya bisa saya lakukan. Foto pakai kamera, memancing, mengendarai motor, mobil manual, saya bisa semuanya. Jadi jangan anggap remeh saya,” ucap Trisna dengan tegas. Tak hanya di bidang seni, Trisna juga menjuarai tryout se-Baturaja yang artinya ia sangat mempedulikan pendidikan juga.

Awalnya, ia sempat takut untuk menjalin hubungan dengan wanita karena kekurangannya tersebut. Ia berpikir, wanita mana yang mau laki-lakinya hanya mempunyai satu tangan. Ia juga sempat takut bagaimana ia ingin mencari pekerjaan jika tangan saja hanya satu.

Perusahaan mana yang ingin menerimanya. Karena tangan, kaki, dan skill adalah yang utama jika ingin mencari pekerjaan. Jika ada lowongan part-time, ia tak berani untuk melamar pekerjaan tersebut. Baginya, itu hanya sia-sia karena ia sudah tahu jawaban yang akan diterima. Dan itu hanya membuatnya semakin sedih.

Trisna akhirnya bertemu dengan wanita yang mau menerima dia apa adanya, tanpa memandang fisik sekalipun. Bahkan, wanita itu tidak malu sama sekali akan kekurangan yang ada di diri Trisna. Ia sangat bersyukur sekali ketika bertemu dengannya, dan mau menerima apa yang sudah ditakdirkan oleh Yang Maha Kuasa.

Ia mendapatkan pekerjaan pertamanya atas saran dari pasangannya itu. “Dia ngomong sama saya, jangan malu sama tangan palsu ini. Tangan palsu ini adalah keberuntungan kamu. Coba deh ngelamar, insyaallah pasti keterima,” papar Trisna dengan senang hati.

Ada sebuah perusahaan production house yang sedang mencari editor untuk berbagai macam proyek. Dan ia putuskan untuk datang interview sambil membawa CV dan karyanya. Alhamdulillah ia sangat bersyukur bahwa masih ada orang yang percaya kepadanya dan tidak memandang fisik sama sekali.

Dengan melihat hasil karyanya saja, perusahaan tersebut bisa menilai bahwa Trisna mempunyai bakat dan itu harus dimanfaatkan. Ini kali pertamanya ia mengerjakan proyek besar dan ia tak boleh mengecewakan kliennya. Karena, ia berharap jika ada proyek selanjutnya ia akan dipakai lagi.

Kita sebagai manusia tidak ada yang sempurna. Semua orang mempunyai kekurangannya masing-masing. Kalau sudah tahu kita mempunyai kekurangan, jangan buat itu menjadi beban. Kamu punya bakat harus kamu dalami lagi. Jangan duduk diam manis di rumah saja. Teruslah berkarya dan jangan gampang menyerah” tutup Trisna. (Tulisan ini dikirim oleh Dina Chairina, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Nasional, Jakarta)