Setitik Harapan untuk Jannah
VIVA – "Terima kasih sudah menjadi seseorang yang terbaik di dalam hidupku bapak," ungkap Roudhatul Jannah, gadis kecil berusia delapan tahun, ketika ditanya mengenai kalimat apa yang akan diucapkan untuk bapaknya. Menurut Roudhatul Jannah, atau sering disapa Jannah, Bapak Engkun adalah sosok seorang ayah, sekaligus pahlawan di hidupnya.
Meski Engkun sibuk berjualan cimol, namun ia tidak pernah lupa untuk menemani Jannah bermain dan mengajarkan doa sehari-hari untuknya. Jannah terlahir dengan kondisi sulit berkonsentrasi, sulit memegang pensil, bahkan sulit menahan tawa dan tepuk tangan. Namun, bapaknya tidak membedakan ia dengan kedua kakaknya yang terlahir normal.
Sebuah keinginan besar, Jannah bisa diperiksa oleh seorang dokter ahli yang bisa menangani kondisi spesialnya tersebut. Tetapi, melihat kondisi bapaknya yang hanya bekerja sebagai pedagang cimol keliling dengan penghasilan kotor Rp50 ribu per hari, membuatnya harus mengubur niat tersebut dalam-dalam.
Hal pertama dan selalu dilakukan Jannah adalah berdoa supaya Allah melancarkan rezeki bapaknya, agar bisa membawanya ke dokter ahli. Setiap hari, Jannah habiskan waktunya dengan bermain dan melantunkan doa sehari-hari dan membaca surat pendek bersama ibunya. Kondisinya tersebut membuat ia tidak bisa bersekolah.
Jannah tinggal bersama orangtua dan kedua kakaknya yang masih bersekolah, di Jl R.E. Martadinata, Gang Hj. Sulaeman 1, Kampung Ase, Kelurahan Keteguhan, Teluk Betung Timur, Lampung. Menurut informasi yang didapat dari Engkun (47), penyebab Jannah tumbuh menjadi anak spesial adalah karena keseringan kejang sejak bayi.
Ketika Jannah masih berusia satu minggu, ia sering mengalami kejang. Dalam satu bulan, Jannah bisa kejang sebanyak empat kali. “Keseringan kejang membuat saraf kecil Jannah terganggu dan pertumbuhannya pun lambat. Jannah baru bisa berjalan dan berbicara ketika berumur empat tahun,” papar Engkun.
Seiring bertambahnya usia, kejang yang dialami Jannah tidak sesering dulu. Sekarang dalam satu bulan ia hanya mengalami satu kali kejang. Keterbatasan ekonomi Engkun membuatnya tidak memeriksakan putri bungsunya ke ahli psikologi anak.
“Kalau memeriksakan Jannah ke dokter yang berada di kota, saya harus punya uang banyak. Untuk ongkos pulang perginya menghabiskan uang Rp100 ribu. Belum lagi biaya diperiksanya. Penghasilan saya hanya cukup untuk makan dan jajan anak-anak, belum bisa untuk membawanya ke dokter,” ungkapnya.
Sampai sekarang, Engkun belum bisa membawa anaknya ke dokter. Ia pun belum tahu jenis penyakit anaknya dan berapa biaya yang harus dikeluarkan. Ia hanya bisa berharap, ada dermawan yang bisa membantu membawa anaknya diperiksa dan mendapat terapi.
Rumah Yatim cabang Lampung yang saat itu sedang berkunjung ke kediaman Engkun untuk menyerahkan santunan sembako berencana menggalang dana untuk biaya pengobatan dan terapi Jannah. Agar, ia bisa memiliki kesempatan bersekolah dan belajar seperti anak seusianya. (Tulisan ini dikirim oleh Sinta Guslia)