Peran Pekerja Sosial terhadap Pelaku LGBT
- REUTERS/ Ranu Abhelakh
VIVA – Indonesia merupakan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia yang memiliki karakter toleransi antar umat beragama yang tinggi. Bagaimana tidak, sebagai negara yang berpenduduk mayoritas muslim, penduduk non muslim minoritas dapat hidup berdampingan satu sama lain dengan harmonis.
Hal ini tidak ditemui di negara lain, ketika penduduk muslim yang justru menjadi minoritas. Lihat bagaimana di Swiss yang tidak memperbolehkan pendirian menara masjid. Perancis, Jerman, dan negara barat lain yang masih mempersoalkan jilbab serta berbagai bentuk diskriminasi lainnya.
Berbicara tentang fenomena Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) yang akhir-akhir ini marak dibicarakan di berbagai media, tidak lepas dari pro dan kontra. Hal ini disebabkan karena negara kita menganut sistem demokrasi yang atas nama HAM menjamin kebebasan dalam berperilaku di satu sisi, dan negara yang katanya beragama dan bertuhan di sisi yang lain. Oleh karena itu, adanya perbedaan pendapat dan sikap di kalangan masyarakat adalah sebuah keniscayaan terhadap fenomena LGBT.
Isu ini begitu sensitif, mengingat sebelumnya penulis telah sampaikan bahwa Indonesia adalah negara yang toleransinya tinggi bila dibandingkan dengan negara lain. Lantas bagaimana sikap kita terhadap fenomena LGBT? Haruskah kita bertoleransi terhadap hal tersebut? Untuk menjawab hal itu, penulis akan memaparkan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan LGBT itu sendiri, karena masih ada sebagian yang belum mengetahuinya.
Sekali lagi, LGBT merupakan singkatan dari Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender. Dari semua jenis perilaku di atas, walaupun berbeda dari sisi pemenuhan seksualnya, akan tetapi kesamaannya adalah mereka memiliki kesenangan baik secara psikis ataupun biologis dan orientasi seksual bukan saja dengan lawan jenis, akan tetapi bisa juga dengan sesama jenis.
Kode gen Xq28 selama ini seringkali dijadikan faktor untuk membenarkan bahwa LGBT merupakan bawaan genetika. Namun, hal tersebut dibantah oleh Prof. George Rice dari Universitas Western Ontario, Kanada, tahun 1999 bersama timnya. Hasil penelitian ini mengungkap tidak adanya kaitan Xq28 yang dikatakan mendasari homoseksualitas pria. Penelitian lain juga dilakukan oleh Prof. Alan Sanders dari Universitas Chicago di tahun 1998-1999. Hasilnya senada dengan sebelumnya, tidak ada hubungannya antara faktor genetik dengan homoseksualitas.
Berdasarkan analisa penulis, ada tiga faktor penyebab orang menjadi LGBT. Pertama, faktor individu dan keluarga. Kedua, faktor pergaulan dan lingkungan. Ketiga, faktor peran negara. Setiap individu manusia memiliki kontrol diri yang bernama iman dan takwa atau dengan kata lain pemahamannya terhadap ajaran agama Islam dengan baik dan benar. Orang yang terjebak dalam LGBT biasanya memiliki pemahaman agama yang dangkal.
Faktor lain yaitu dipengaruhi oleh pengalaman atau trauma di masa anak-anak dalam suatu keluarga dan pola didik dan asuh oleh orang tua yang keliru bisa menyebabkan anak ketika remaja dan dewasa menjadi LGBT. Kebiasaan pergaulan dan lingkungan (kontrol sosial masyarakat yang lemah) menjadi faktor dominan menyumbang meningkatnya jumlah LGBT.
Nilai dan norma yang ada di masyarakat hari ini tergerus oleh liberalisme, apatisme, permisivisme, hedonisme yang semua itu lahir dari pemahaman sekuler: (memisahkan aturan agama dari kehidupan). Masyarakat sudah tidak lagi peduli dengan lingkungan sekitar. Mereka mempunyai asumsi masalah LGBT itu bukan masalah diri dan keluarganya. Masyarakat berprinsip yang penting jangan anggota keluarga mereka yang kena LGBT tanpa berpartisipasi aktif mencegah lingkungan sekitarnya terjangkiti LGBT.
LGBT sebagaimana yang kita tahu adalah perilaku yang tidak hanya dilarang oleh ajaran agama terutama Islam, tapi juga tidak menghasilkan keturunan. Jika demikian, pantaskah kita harus bertoleransi terhadap eksistensi LGBT?
Pada dasarnya semua ajaran agama melarang perilaku LGBT. Jika kita melihat belakangan ini ada agama atau tokoh agama tertentu yang melegalkan atau menerima LGBT, itu adalah perubahan sikap dikarenakan kalah terhadap tuntunan warga atau pengikut agama tersebut.
Islam adalah agama yang paling tegas melarang keberadaan LGBT. Hal ini tidak bisa kita sebut sebagai bentuk arogansi atau diskriminasi, sebab hal tersebut datang atau berasal dari pencipta manusia, alam semesta, dan kehidupan, yaitu Allah SWT. Terlepas dari itu, ajaran Islam yang tegas tersebut memiliki maslahat, yaitu untuk menjaga agar dorongan seksual manusia berada pada fitrahnya, yaitu untuk melangsungkan keturunan.
Di dalam Islam, hukuman bagi pelaku liwath (homo) adalah mati. Dari Ikrimah dari Ibnu Abbas ra. berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang kalian dapati sedang melakukan perbuatannya kaum Luth, maka bunuhlah keduanya”. Diriwayatkan oleh imam yang lima kecuali Nasa’iy. Perlu dicatat eksekusi hukuman mati itu harus dilakukan oleh negara.
Pekerja sosial atau sering disebut peksos merupakan profesi yang berperan penting dalam mengembalikan keberfungsian sosial seseorang. Keberfungsian sosial, yaitu kemampuan seseorang dalam menjalankan peran dan fungsi sosialnya sesuai dengan status sosialnya di tengah masyarakat, baik itu kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan mendasarnya maupun dalam mengatasi masalahnya.
Berkenaan dengan LGBT, penulis dalam hal ini akan menyampaikan dua poin penting yang dapat dilakukan oleh pekerja sosial. Pertama, peksos harus mengkondisikan lingkungan di sekitar untuk tidak melakukan bully dan diskriminasi terhadap kaum LGBT. Hal ini disebabkan ketika mereka di bully dan diskriminasi, seringkali terjadi mereka semakin menjauh dan akan mengalami kesulitan dalam mengubah perilaku menyimpangnya tersebut. Peksos harus memiliki keterampilan dalam merangkul mereka agar kembali pada fitrah mereka.
Kedua, peksos memiliki peranan dalam mengembalikan keberfungsian sosial kaum LGBT yang menjadi kliennya. Dalam konteks ini peksos berperan dalam melakukan pendekatan awal (engagement) yang di dalamnya ada intake dan contract. Artinya, ada kontak dan kontrak kesepakatan bersama antara peksos dan klien untuk melakukan suatu kegiatan atau aktivitas.
Setelah pada tahapan pertama ini sukses, mereka nyaman berkomunikasi dengan peksos, maka tahapan peksos dalam menyelesaikan masalah mulai dari assesment (penggalian masalah), rencana intervensi, intervensi, evaluasi hingga terminasi/referal dapat dilakukan. Singkat cerita, peksos dalam hal ini berupaya menjadi teman curhat yang nyaman bagi kaum LGBT.
Seringkali terjadi seseorang merasa tidak ada masalah, padahal secara nilai, norma dan kultur yang berlaku, orang tersebut sedang bermasalah. Oleh karena itu, peksos dengan keterampilan profesional yang ia miliki harus bisa menemukan teknik yang tepat membantu memahamkan klien kalau ia sedang bermasalah dan mendorong klien agar mampu menyelesaikan masalahnya tersebut.
Tentu nilai yang menjadi standar yang harus disepakati dengan klien, yaitu nilai yang berasal dari ajaran agama Islam yang agung nan mulia. Bagi mereka yang non muslim, penulis pikir tidak menjadi masalah mengingat agama lain juga melarang perilaku LGBT.
Di dalam kode etik peksos ada larangan memaksa klien untuk memilih sesuatu. Oleh karena itu, yang bisa dilakukan peksos adalah memberikan pendampingan, konseling, motivasi yang semua itu dalam satu rangkaian untuk mengembalikan keberfungsian sosialnya (kembali kepada fitrahnya sebagai manusia).
Untuk mengubah perilaku seseorang itu membutuhkan waktu. Dan bila mereka belum berubah kembali kepada fitrahnya, upaya lain tetap harus dilakukan dan berkelanjutan dengan catatan tidak ada paksaan dari peksos itu sendiri.
Sebagai penutup, penulis pikir, peksos tidak bisa bergerak sendiri. Semua elemen masyarakat harus bersinergi dalam menyikapi perilaku LGBT yang hari ini mulai marak dibicarakan di tengah masyarakat. Kembali di awal, ada tiga pilar yang harus berperan maksimal dalam hal ini, yaitu keluarga yang harus bersungguh-sungguh memberikan pola didik dan asuh yang baik dan benar sebagaimana tuntunan ajaran agama Islam.
Masyarakat harus memiliki kontrol sosial terhadap perilaku menyimpang seperti LGBT yang ada di lingkungannya. Masyarakat tidak boleh mem-bully, tidak pula membiarkannya. Dalam konteks ini, masyarakat harus merangkul mereka. Tokoh-tokoh masyarakat, agama, dan lain sebagainya bersinergi dalam melakukan pembinaan terhadap mereka.
Terakhir sebagai penutup, peran negara sangat efektif dalam menyelesaikan fenomena LGBT ini. Negara harus melakukan pembinaan iman dan takwa secara massif terhadap rakyatnya. Terhadap kaum LGBT harus bersikap tegas dalam artian negara memberikan waktu pembinaan, pendampingan terhadap mereka untuk kembali kepada fitrahnya sebagai manusia. Bila dalam batas akhir waktu itu mereka tidak berubah, maka penegakan sanksi hukum yang tegas atas mereka perlu diberlakukan.
Hal ini bukan bentuk diskriminasi, tetapi ini merupakan bagian dari pengamalan ajaran agama terutama ajaran agama Islam yang melarang perbuatan tersebut. Pembinaan dan penegakan sanksi ini justru harus dilaksanakan sebagai bentuk ketundukan kepada Tuhan. Tidak pantas dan sombong rasanya kalau ada manusia yang kemudian justru menganggap perintah dan ajaran Tuhan arogansi atau diskriminasi, apalagi bila ia seorang Muslim.
Sebagai penutup, penulis akan mengutip firman Allah SWT, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan limpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (Q.S Al A’raf: 96).
Yang dimaksud ayat ini penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa adalah mencakup semua elemen. Yaitu individu dan keluarga, masyarakat dan pemerintahan, yang menjalankan seluruh perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Inilah kunci sukses untuk mendapatkan berkah Allah SWT atas negeri yang kita cintai ini. (Tulisan ini dikirim oleh Alghi Fari Smith, Pangkalpinang)