Warna-warni di Kampung Jodipan Malang

Kampung Warna warni. Foto: Very barus
Sumber :
  • U-Report

VIVA.co.id – Kebetulan, saya mendapat kesempatan mengunjungi Kota Malang untuk mendaki Gunung Bromo. Tidak ayal lagi, salah satu to do list yang wajib dikunjungi selain Bromo adalah Kampung Warna Warni. Sebelum menjadi kampung wisata Warna Warni yang sejak setahun ini menjadi kampung nge-hits di Kota Malang, kampung ini dulu dikenal sebagai Kampung Jodipan. Sebuah kampung kumuh yang berada di Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas.

Kampung kumuh ini dianggap kampung yang siap digusur oleh pemerintah. Karena lahan yang ditempati penduduk tersebut merupakan lahan negara yang dilarang untuk menjadi lahan hunian. Maklumlah, kampung ini berada di pinggiran Sungai Berantas yang kalau sedang musim hujan sering terjadi banjir.

Oleh karena itu, penduduk di kampung ini konon katanya bakal diungsikan ke tempat yang layak huni yaitu rumah susun yang tengah dalam proses pembangunan. Pertama kali menginjakkan kaki ke Kampung ini, saya langsung tersenyum bahagia. Bagaimana tidak? Karena apa yang saya lihat di foto sama persis dengan aslinya. Bahkan tumpukan warna-warni di setiap bangunan membuat setiap mata yang melihat langsung terpesona.

Saya sempat berpikir, ide si pembuat kampung ini menjadi warna-warni sangat brilliant. Patut diacungin jempol. Pagi itu, banyak pengunjung yang mulai berdatangan. Segerombolan anak sekolah berduyun-duyun masuk ke kampung yang hanya memiliki 3 RT itu. Selain itu, beberapa keluarga kecil juga datang bersama anak-anaknya. Mungkin untuk memperkenalkan kepada anak-anak mereka tentang kampung itu.

Sebelum bebas menjelajahi dan foto-foto narsis di setiap sudut kampung tersebut, Anda harus membayar retribusi sebesar Rp2.000 saja. Tujuannya dipungut retribusi semata-mata untuk biaya kelestarian warna di kampung tersebut. Uang yang terkumpul akan dialokasikan untuk biaya mengecat dan juga biaya kebersihan kampung.

Setelah membayar tiket masuk, saya pun mulai menelusuri setiap sudut gang-gang kecil di kampung tersebut. Semua serba berwarna hingga ke selokan-selokan kecil pun. Tidak ada sudut yang terlewatkan dari warna. Hebatnya lagi, warna-warna yang dipakai untuk mengecat kampung tersebut sengaja dipilih warna yang ‘hidup’. Mungkin tujuannya selain menciptakan warna-warni yang cerah, juga warna tersebut sangat fotogenik.

Saya pun tidak mau ketinggalan foto-foto narsis di beberapa spot yang menurut saya menarik dijadikan background. Saat saya dan pengunjung lainnya sibuk mengeksplore kampung, penduduk setempat tetap melakukan aktivitas mereka seperti biasa tanpa terusik dengan banyaknya orang yang berlalu lalang di kampung mereka. Mungkin mereka mulai terbiasa dengan banyaknya pengunjung mendatangi kampung mereka.

“Awalnya sempat risih dan heran. Kok banyak yang datang ke kampung kami. Tapi, lama kelamaan jadi terbiasa,” ucap rekan si ibu. Menurut seorang ibu penjaga tiket masuk, setiap hari pasti ada saja pengunjung yang datang ke kampung mereka. Tapi, waktu weekend merupakan saat yang paling ramai pengunjung datang ke kampung mereka. Konon katanya jumlah pengunjung yang datang melebihi 100 orang.

Bahkan, tidak jarang turis-turis mancanegara berduyun-duyun mendatangi kampung ini lengkap dengan ‘senjata’ narsis alias kamera dan video. “Kami juga heran, kok turis-turis banyak yang datang ke kampung kami. Padahal kampung kami kan biasa-biasa saja,” ucap si ibu polos.

Awalnya, saat menjelang usai KKN di Kampung Jodipan, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) yang tegabung dalam grup Guyspro menawarkan ide untuk mengecat perkampungan tersebut agar terlihat lebih rapi, bersih, dan menarik. “Awalnya anak-anak UMM yang menawarkan diri untuk mengecat kampung kami. Apalagi waktu itu menjelang Lebaran. Rumah kita di cat gratis. Siapa yang enggak mau?” ucap salah seorang warga semringah.

Atas kesepakatan tersebut, maka, ide pun terlaksana. Para mahasiswa Ilmu Komunikasi UMM langsung menuangkan ide tersebut dalam bentuk nyata. Rumah-rumah penduduk yang berjumlah 100 KK itu pun dicat dengan bantuan 30 orang tenaga tukang cat. Ditambah lagi, komunitas Mural yang ada di Kota Malang pun ikut ambil andil menumpahkan ide kreasi mereka di kampung tersebut. Tidak ketinggalan para warga setempat serta bantuan tentara pun ikut terlibat dalam pengecatan.

Beberapa hari kemudian, kampung si buruk rupa pun berubah menjadi cantik seketika. Perkampungan yang dulunya dipandang sebelah mata, kini hampir semua mata tertuju ke arah Kampung Jodipan. Karena kampung tersebut berubah menjadi Kampung Warna Warni. Apalagi kalau dilihat dari atas Jembatan Gatot Subroto. Kampung tersebut sangat indah.

Kini, setahun sudah kampung kumuh berubah wajah menjadi Kampung Warna Warni. Nama Kampung Warna-warni semakin bergema. Tidak hanya di lingkungan Kota Malang saja, melainkan sudah ke seluruh penjuru tanah air Indonesia. Bahkan sudah mendunia. Jika penasaran, kamu juga bisa mencari nama kampung tersebut di Google. Maka, deretan foto-foto cantik kampung tersebut langsung bermunculan.

Hal yang masih menjadi polemik di kampung ini adalah tingkat kesadaran warga setempat untuk tidak membuang sampah sembarangan masih perlu diedukasi tanpa henti. Terutama membuang sampah ke sungai. Ketika berada di sana, saya masih melihat beberapa warga yang dengan tanpa dosa membuang sampah ke sungai. Padahal rambu-rambu larangan membuang sampah di sungai sudah berkibar segede gaban. Mungkin buta huruf atau buta aksara, saya enggak tahu. Yang jelas, masalah kesadaran itu masih minim.

Selain itu, ada juga warga yang masih dengan pede-nya buang air besar di sungai tersebut. Menjijikkan sekali melihat orang buang air besar di sungai. Konon katanya, beberapa rumah warga di desa tersebut masih belum memiliki sanitasi. Sehingga mereka memilih buang air besar di sungai. Kampung ini sudah indah. Jangan kamu kotori dengan tindakan konyol membuang sampah dan buang air seenaknya di kali. Padahal, saya melihat beberapa toilet umum berdiri kokoh di dekat sungai. (Tulisan ini dikirim oleh Baroezy)