Haji dan Kebiasaan Baru
- VIVA.co.id/Twitter @HolyKaaba
VIVA.co.id – Setiap orang yang melaksanakan ibadah haji tentu berharap agar hajinya mabrur. Karena haji yang mabrur memiliki pahala yang besar. Menunaikan ibadah haji merupakan kesempatan istimewa bagi umat muslim. Terutama bagi mereka yang berada di negara yang jauh dari Mekah. Ongkos dan biaya yang mahal menjadikan ibadah haji identik dengan kemewahannya tersendiri.
Mari sejenak menyimak sebuah kisah menarik berkaitan dengan haji. Pada masa Nabi Muhammad SAW, ada orang miskin yang ingin menunaikan ibadah haji. Ia rupanya telah mengumpulkan semua biaya ibadah haji itu selama 20 tahun. Namun, ketika dalam perjalanan mulia menuju Mekah, ia menyaksikan banyak kaum Muslimin yang sedang dilanda kemiskinan di mana-mana.
Tidak tega melihat saudara-saudaranya yang seiman sedang membutuhkan bantuan, ia pun kemudian mengurungkan niatnya ke Mekah. Selanjutnya, ia bagi-bagikan semua hartanya kepada mereka. Persoalan itu kemudian sampai ke telinga nabi dan nabi pun haru mendengarnya. Selanjutnya, nabi bersabda, “Hajimu sah dan kamu berhak masuk surga”.
Dari kisah di atas, menunjukkan bahwa rukun Islam kelima itu bukan hanya ibadah yang kaitannya dengan Allah (hablumminallah). Tetapi juga, ibadah yang menuntut terwujudnya kesalehan sosial (hablumminannas). Sehingga, dari perpaduan entitas tersebut mewujudkan kehidupan manusia yang baik (insan kamil).
Menunaikan ibadah haji merupakan bentuk ritual tahunan yang dilakukan kaum muslimin. Dilakukan dalam kondisi mampu untuk berkunjung dan melaksanakan kegiatan ibadah di tempat-tempat di Arab Saudi yang dikenal dengan musim haji (bulan Dzulhijah). Secara epistimologi, haji bermakna menyengaja, menuju dan mengunjungi. Sedang menurut istilah fiqiah adalah menuju ke Baitullah dan tempat-tempat tertentu untuk melaksanakan ibadah.
Menurut Ali Shariati dalam bukunya yang berjudul Haji, bahwa ibadah tersebut merupakan kepulangan manusia kepada Allah SWT yang mutlak, yang tidak memiliki keterbatasan dan yang tidak dipadankan oleh sesuatu apapun. Kepulangan yang merupakan gerakan menuju kesempurnaan, kebaikan, keindahan, kekuatan, pengetahuan, nilai, dan fakta-fakta.
Sedangkan, pengertian haji mabrur, mengutip pendapat Jalaludin As Suyuti dan Muhyiddin Syarf An-Nawawi cukup kiranya untuk mendefinisikannya. Menurutnya, haji mabrur adalah haji yang diterima dan dibalas dengan pahala yang sangat besar yakni surga, yang mana, di dalamnya tidak tercampur kemaksiatan dan unsur-unsur riya.
Sebagaimana merujuk pada pendapat Al Qurthubi, bahwa haji mabrur adalah haji yang dipenuhi seluruh ketentuannya dan dijalankan dengan sesempurna mungkin oleh pelakunya sebagaimana yang dituntut darinya. Namun, kesempatan mewah ini seringkali membuat orang yang mampu menunaikan ibadah haji digunakan sebagai ajang pamer. Entah caranya dengan selfie atau live video yang kemudian mengunggahnya ke media sosial.
Alangkah ruginya kita melakukan amal ibadah haji dengan bersusah payah, mengerahkan banyak pengorbanan fisik dan materi, namun kemabrurannya hilang karena kesalahan motivasi atau niat, seperti riya (pamer), ujub (membanggakan diri sendiri), takabbur (sombong), dan sebagainya.
Menurut pakar sosiologi, selfie diartikan sebagai aksi narsistik untuk mengabadikan gambar diri sendiri melalui sebuah ponsel atau kamera digital. Fenomena ini memberikan peluang bagi pelaku untuk tetap eksis dan mendokumentasikannya. Dan adanya fenomena ini, juga dapat mengakibatkan banyak hujatan karena mempunyai tendensi negatif dan melanggar norma.
Seakan, praktik selfie menjadi rukun ibadah haji yang baru. Praktik yang seakan tidak komplit ketika tidak menjalankannya. Ratusan bahkan ribuan jemaah haji telah terkena virus selfie ini. Akibatnya, praktik tersebut hanya akan mengganggu ibadah jemaah lain dan menodai nilai-nilai dari ibadah tersebut.
Pada musim haji 2015 lalu, terjadi musibah yang mengakibatkan robohnya crane di Masjidil Haram. Banyak dari jemaah haji yang mendokumentasikan musibah itu dengan ber-selfie dan menjadikanya latar pada akun media sosial.
Sebenarnya, pendapat yang berkaitan dengan mendokumentasikan peristiwa langka dan peristiwa mewah telah lama disuarakan. Pendapat pertama dari Assim Al Hakim dari Arab Saudi adalah pendapat yang cukup tegas dan keras melarang. Karena hal-hal seperti itu dapat menciptakan sifat riya dan pamer yang merusak tujuan haji.
Kemudian, pendapat kedua dari seorang Profesor Hukum Syariah dari Riyadh, Arab Saudi adalah diperbolehkan dalam mendokumentasikan momentum haji dengan catatan tidak untuk pamer. Diperbolehkan juga ketika telah menyelesaikan ritual syarat dan rukun haji, dan diperbolehkan ketika tidak mengganggu ibadah orang lain. (Tulisan ini dikirim oleh Ach. Mudzakki M)