Luka Pilkada Jakarta yang Masih Terasa
- VIVA.co.id/M Ali Wafa
VIVA.co.id – Pilkada DKI Jakarta memang telah berakhir. Tetapi bekas luka itu sampai saat ini masih terasa. Pilkada DKI Jakarta memang berakhir aman. Tetapi suasana batin itu tetap mencekam.
Semuanya adalah bagian dari sejarah kelam berbangsa dan bernegara yang kelak kita juga berpotensi mengalami hal yang sama. Di mana perpecahan berdasarkan identitas ketuhanan bahkan berpotensi pecah atas dasar identitas kesukuan.
Perpecahan Indonesia adalah mimpi buruk bagi kita semua. Sehingga banyak yang mesti kita lakukan agar perpecahan itu perlahan menjauh dari kita. Saya tentunya terperangah ketika mendengar ada anak-anak di bangku TK sampai SD di beberapa tempat didoktrin untuk tidak hormat kepada bendera sebab alasan keagamaan.
Saya berpikir, apakah ini yang dimaksud dengan "ketaatan keras kepala"? Doktrin ini jauh dari rasa cinta tanah air dan juga terlampau kolot. Padahal persoalan ini sudah tuntas sejak lama. Bahkan dalam perspektif Nahdlatul Ulama jelas bahwa agama dan nasionalisme bukan untuk dipertentangkan, tetapi saling menyokong.
Lalu, untuk apa lagi kita harus kembali memperdebatkan hal yang sudah dibahas oleh leluhur kita? Bukankah itu sia-sia saja? Bahkan itulah faktor kemunduran kita dalam berbangsa dan bernegara dikarenakan kita masih saja sibuk berdebat tentang hal-hal yang tak perlu diperdebatkan lagi.
Pilkada DKI Jakarta menyisakan kepiluan dan kebodohan kita dalam konteks gampang terhasut pola permainan politisi busuk. Bagaimana bisa partai-partai yang berteriak Al Maidah di Pilkada DKI Jakarta, tetapi di Pilkada daerah lain malah Al Maidah tak diberlakukan sama seperti di Jakarta.
Tercatat ada sejumlah daerah yang menggelar pesta demokrasi bersamaan dengan Jakarta tetapi dengan pola permainan yang tentunya berbeda. Lihat saja di Kabupaten Seram bagian Barat, partai-partai yang teriak Al Maidah di Pilkada Jakarta malah mengkhianati Al Maidah dengan mengusung calon beragama lain selain yang seagama dengannya.
Kenapa Jakarta masih saja seperti kebakaran jenggot soal Al Maidah? Jawabannya adalah karena aktor politik di balik semua itu tahu jika Jakarta hanya bisa dimenangkan dengan pisau agama. Lalu kenapa pula Al Maidah tak berlaku di Maluku dan daerah lain? Tak lain dan tak bukan adalah karena Maluku terutama Seram bagian Barat, pisau agama dalam hal ini Al Maidah tak bisa setajam seperti di Jakarta.
Sehingga sudah saatnya kita sebagai masyarakat untuk menjauh dari semua permainan atas nama agama atau yang berbasis rasis. Jika kita tidak bisa move on dari permainan politisi ini, maka bisa jadi suatu saat kita tak lagi Indonesia. (Tulisan ini dikirim oleh Abdul Rasyid Tunny, Makassar)