Televisi dalam Bingkai Ramadan
- U-Report
VIVA.co.id – Televisi dianggap kotak ajaib dikarenakan kemampuannya menghadirkan realitas sosial yang terjadi di masyarakat. Hadirnya televisi sebagai saluran komunikasi massa, mampu mengoptimalkan fungsi sosial. Yaitu social surveillance, social corelations, socialization dan entertainment.
Jika fungsi tersebut dapat saling dapat berkonvergensi, maka medium televisi dapat menjadi pemandu dalam membimbing dan mengarahkan pemirsa yang biasa disebut khalayak. Kemampuan televisi yang mampu menggetarkan nadi kehidupan masyarakat menyebabkan kotak ajaib ini sudah dianggap instrumen pokok di setiap keluarga untuk mendapatkan informasi dan hiburan.
Kuatnya getaran pengaruh televisi di kehidupan sosial membuat medium televisi dianggap “agama baru”. Karena secara ritual mampu mengubah citra tentang nilai-nilai yang dimiliki masyarakat. Kuatnya sugesti yang dimainkan televisi, Walter Lippman mengasumsikan bahwa media adalah pembentukan makna.
Tidak hanya sampai di situ, media televisi dapat menginterpretasi berbagai peristiwa secara radikal dan dapat mengubah interpretasi orang tentang suatu realitas dan pola tindakan. Jika bingkai asumsi ini dipakai untuk menjelaskan peristiwa religius dalam bulan Ramadan ini, secara perspektif linear (posistivistik), maka kekuatan daya tarik televisi mengambil alih fungsi keagamaan dalam lingkungan keluarga dan sosial.
Itu terlihat dengan jelas dalam setiap bulan suci Ramadan. Televisi dijadikan media untuk menyebarkan simbol-simbol keagamaan dalam suasana religius. Pesan yang ditampilkan televisi dalam tema dan cerita mulai dari bentuk program perintah berpuasa, buka puasa, menjalankan salat tarawih, sampai acara santap sahur yang dikemas dalam suasana religius.
Di sisi lain realitas yang ditampilkan program televisi bagaikan “cermin retak”. Di mana program religius yang ditampilkan cenderung mengeksploitasi suasana keagamaan untuk kepentingan kapitalis spiritual dengan mendewakan rating. Akhirnya, program tersebut menjadi laris manis, andalan stasiun televisi untuk mendapatkan keuntungan ekonomi.
Program mendewakan rating biasanya lebih menyuguhkan program yang jauh dari syiar Islam yang sesungguhnya. Seperti di antaranya program santap sahur berbau banyolan atau lawakan. Bahkan Ramadan tahun lalu banyak masyarakat yang kecewa dengan tayangan program televisi berbau erotis, mistik, dan kekerasan.
Mudah-mudahan program Ramadan sekarang ini bisa lebih baik. Realitas retak lain yang ditampilkan program televisi adalah betapa selebriti atas nama Ramadan telah berubah seketika. Jika dalam keseharian para selebriti menampilkan pakaian yang digunakan sangat vulgar dan terbuka serta mengumbar auratnya, maka di bulan suci mereka tampilkan kekentalan sosok keislaman dalam busana.
Namun sayangnya, sosok kekentalan itu hanya berlangsung sesaat pula. Usai Ramadan, pakaian muslim akan ditanggalkan kembali. Belajar dari realitas Ramadan, maka ada baiknya kita simak pendapat Hoeard Beales yang mengatakan televisi menyajikan suatu gambaran tentang realitas yang distorsi. Apakah pendapat ini berlaku terhadap fungsi televisi dalam menyajikan program di bulan Ramadan?
Secara ilmiah masih perlu diadakan penelitian mendalam, apa dan bagaimana pengaruh media televisi dalam berlomba-lomba menjadi televisi relegius. Namun akumulasi fakta-fakta di lapangan, menunjukkan indikasi-indikasi program televisi selama Ramadan tahun lalu, fungsi sosialnya lebih mengarah kepada fungsi entertainment atau hiburan.
Dominasi dari fungsi hiburan ini menyebabkan ketiga fungsi cenderung diabaikan yang semestinya ketiga fungsi tersebut harus beriringan bersama-sama. Sehingga program tak hanya mendewakan rating atas nama kapitalisme spiritual semata.
Lebih penting, pemegang industri pertelevisian perlu diminta pertanggung jawaban secara sosialnya agar program yang ditayangkan di bulan suci Ramadan dapat mencerdaskan batin. Sehingga penduduk beragama Islam dapat menjalankan puasa secara khusyuk dan dapat melahirkan kembali warga negara bermodalkan keimanan yang tangguh setelah dilatih pada bulan penuh berkah ini. (Tulisan ini dikirim oleh Jusriadi, Gowa, Sulawesi Selatan)