Lebih Fokus pada Revolusi Mental di Tahun 2017
VIVA.co.id – Tahun 2017 telah berjalan beberapa hari. Berarti masa pemerintahan Presiden Jokowi-Jusuf Kalla sudah lebih dari dua tahun. Tidak terasa masa periode pemerintahan Kabinet Kerja menyisakan waktu sekitar 2,5 tahun lagi menuju Pemilihan Umum tahun 2019. Lantas, apakah yang sudah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat Indonesia secara umum?
Pertanyaan penulis tersebut ditujukan untuk pihak-pihak yang menjadi pelaksana kebijakan pemerintah. Seperti menteri dan kepala daerah yang merupakan wujud penggerak kebijakan tersebut. Selain itu, ada juga kepala-kepala lembaga Negara.
Sisa waktu yang berkisar 2,5 tahun ini masih menyisakan pekerjaan rumah bagi pemerintah yang telah disusun dalam Nawacita Jokowi-JK. Setelah memasuki tahun 2017 ini, kondisi bangsa yang masih belum stabil meresahkan masyarakat. Bukan maksud penulis menakut-nakuti, tapi begitulah adanya.
Fokus Pemerintah yang dari awal adalah revolusi mental, tapi berubah menjadi fokus pada pembenahan infrastruktur. Penulis berpendapat bahwa revolusi mental yang dulu menjadi senjata kampanye Jokowi-JK belum memperlihatkan hasil yang memuaskan. Sebab, fakta tersebut sangat jelas terlihat di dalam kehidupan masyarakat. Pemerintah harus mencari akar permasalahan kenapa mental masyarakat terutama generasi muda semakin merosot tajam di tengah tuntutan dunia Internasional memasuki era MEA (Masyarakat Ekonomi Asia).
Berkaca dari latar belakang persoalan di atas, penulis sangat berharap Pemerintah berusaha lebih keras untuk meningkatkan mental masyarakat terutama generasi muda. Persoalan tawuran, jeratan narkoba, serta tindak pidana dan asusila mewarnai pemberitaan sehari-hari.
Akar masalah yang menjadi tantangan Pemerintah dalam mewujudkan revolusi mental ini menurut penulis yang pertama adalah kesejahteraan masyarakat yang belum merata. Makna sejahtera di sini bukan memiliki kebutuhan materi yang lebih baik, tapi bagaimana kebutuhan pokok masyarakat terpenuhi dengan baik sesuai dengan apa yang sudah dijamin oleh Konstitusi UUD 1945. Kesibukan orang tua bekerja di luar dengan tuntutan kerja yang tinggi memberikan efek buruk terhadap pendidikan anak-anak. Artinya, dari kebutuhan untuk pendidikan anak saja sudah tidak sejahtera. Kemudian, hidup layak dan aman juga menjadi salah satu penyebab.
Kedua revolusi mental tidak berjalan dengan baik. Kondisi kehidupan saat ini yang menuntut serba cepat dan cermat memaksa si anak rela mendapatkan kasih sayang yang kurang dari kedua orang tuanya. Padahal, ibu adalah madrasah pertama bagi anak. Lantas, kenapa orang tua dengan gampang mempercayakan pengasuhan anak kepada orang lain tanpa melihat sisi lain psikologi anak.
Ketiga, pengaruh lingkungan sekitar dan tontonan yang tidak mendidik bagi anak. Menurut penulis, peran keluargalah yang secara umum untuk saling mengingatkan agar tidak memberikan tontonan yang tidak pantas bagi anak. Kerusakan moral anak terjadi dengan cepat karena meniru perilaku yang dilihat dan didengarnya secara langsung dan dengan cepat ditiru oleh anak. Setiap orang tua harus cepat menyadari hal ini. Karena orang tua merupakan teladan utama bagi si anak sebagai pendidik mental bagi mereka untuk belajar tumbuh dewasa.
Di sinilah poinnya, bahwa peran orang tua sangat penting bagi tumbuh kembang si anak. Namun, secara umum proses perbaikan mental generasi muda tetap harus melibatkan semua pihak. Salah satunya menurut penulis adalah meningkatkan peran pondok pesantren yang telah terbukti memberikan pendidikan agama dan karakter serta mental santri. Sehingga menjadi manusia yang kuat dan tidak mudah menyerah.
Penulis bukan santri pondok, tapi penulis pernah merasakan hidup di lingkungan pondok pesantren. Sikap Pemerintah saat ini adalah memberikan kepercayaan penuh kepada pondok pesantren untuk memberikan pendidikan moral dalam hal perubahan mental anak-anak muda. Terutama yang telah terjerat narkotika serta bagi mereka yang telah dirasuki paham-paham radikalisme.
Penulis juga memberikan apresiasi terhadap kegiatan Halaqoh Ulama Rakyat yang diselenggarakan oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) beberapa waktu yang lalu. Salah satu rekomendasi dari kiai dan ulama adalah, “Para ulama siap menjadi bagian dalam mencegah dan memberantas narkoba dan terorisme. Dalam konteks narkoba, pesantren siap menjadi salah satu tempat rehabilitasi narkoba. Sedang dalam hal terorisme, siap mengembangkan dialog Islam sebagai agama rahmatan lil alamin. Serta siap ikut melakukan deradikalisasi terhadap paham-paham dan gerakan yang ada”.
Bukti yang nyata diberikan ulama sebagai bagian dari masyarakat. Mereka hidup di tengah-tengah masyarakat dan memahami segala sisi kehidupan masyarakat. Pondok pesantren bukan berdiri di tengah kota, tapi di daerah pedesaan yang diisi dengan suasana alami dan kultur masyarakat yang masih kuat menjaga tradisi adat dan agama. Sehingga, suasana lingkungan seperti ini sangat tepat menurut penulis untuk membantu mengasah mental generasi muda menjadi lebih baik, cinta tanah air, dan memiliki etika.
Penulis kembali mengajak seluruh masyarakat supaya saling bahu membahu menjaga pergaulan anak-anak muda di sekitar lingkungan kita. Agar mereka tidak mudah terhasut oleh ajakan dan rayuan yang menimbulkan perpecahan dan kebencian kepada sesama. Sebab, inilah awal masuknya paham-paham yang ingin memecah belah bangsa.
Mengadudomba sesama kita, dan pada akhirnya bangsa ini dengan mudah untuk dikuasai. Revolusi mental harus kembali digalakkan di tengah-tengah masyarakat. Peran ulama dan kiai kampung sangat penting dalam proses perubahan mental masyarakat. Semoga menjadi perhatian serius bagi Pemerintahan Jokowi-JK. (Tulisan ini dikirim oleh Rahmad Novandri, Jakarta)