Kasih Sayang yang Sesungguhnya

Ibu dan anak.
Sumber :
  • Pixabay

VIVA.co.id – Wanita yang kuat nan cantik itu kusebut ibu. Lahir 57 tahun yang lalu, anak ke-4 dari 12 bersaudara. Ia lahir di Rangkasbitung, kabupaten Lebak, yang rumahnya persis di depan stasiun kereta. Ibu sosok yang begitu penting menurutku, karena sedari kecil ialah yang membuatku selalu bahagia. Karena perhatiannya yang begitu besar terhadap anak-anaknya.

Ibu adalah sosok penenang saat ayah marah padaku. “Sudah, Pa. Dia masih kecil wajarlah seperti itu,” begitu tuturnya.

Hampir setiap hari ia selalu bangun saat matahari belum menyinari rumah kami. Dia yang mencuci dan memasak  makanan kesukaan anaknya, agar anaknya selalu sehat. Soal masakan, ia adalah chef terbaik. Karena dalam masakannya dibumbui oleh rasa ikhlas dan kasih sayang yang amat tulus.

Dari kecil saya memang lebih dekat kepada ibu daripada ayah. Karena itulah curhatan serta keluhanku sering ia dengar, walau tak jarang pula itu tidak terlalu penting. Ibu selalu berpesan agar anak-anaknya mengutamakan pendidikan. Namun kenyataannya tak semua anak-anaknya rajin, termasuk saya.

Dari SMP saya termasuk yang rajin mendapat panggilan orangtua karena ulah konyol saya di sekolah. Saat-saat paling menegangkan adalah saat di mana saya harus memberikan surat panggilan itu kepada ibu. Ia pasti berkata, “Aduh, kamu ngapain lagi sih di sekolah? Mama malu datangnya.” Dan di hari itu aku pun menjadi bahan cacian satu keluarga.

Namun sekarang, saat umurku berkepala 2 ibu sedikit demi sedikit sudah melepaskanku. Melepas dalam arti ia sudah mempercayai anaknya akan bagaimana ke depannya. Ia percaya bahwa anaknya sudah cukup dewasa untuk tahu mana yang baik dan yang buruk. Walau sempat terlintas dalam otak ini, ternyata sedewasa apapun manusia pasti di depan seorang ibu ia masih terlihat seperti anak kecil yang butuh kasih sayang dan perhatian darinya.

Satu janjiku pada ibu yang belum bisa tercapai adalah ibu ingin sekali anaknya sukses. Semata-mata agar ia merasa bangga dan tak sia-sia mendidik anaknya dari kecil. Dan sekarang aku harus melunasi janji itu dengan caraku sendiri. Karena aku ingin sekali melihat senyum bangga yang terpancar dari ibu, saat sukses itu tiba.

Tak ada yang lebih penting daripada membahagiakan orangtua. Dan saya selalu percaya kepada perkataan Karl Lagerfeld yang mengatakan, “Satu-satunya cinta yang sungguh aku percaya adalah cinta seorang ibu kepada anak-anaknya”. (Tulisan ini dikirim oleh Fery Haikal Farabi, mahasiswa Universitas Pancasila, Jakarta)