Ibu dan Kisah Masa Lalunya
VIVA.co.id – Matahari masih bersembunyi di balik kabut Klaten pagi itu, namun langkah seorang wanita muda sudah berbekas di tanah pekarangan rumah. Dia memikul kumpulan anyaman di punggungnya menuju sawah. Napasnya kadang tersengal mengayuh sepeda sambil terbungkuk untuk memetik kangkung.
Matahari mulai menampakkan diri dari tempat persembunyiannya. Wanita muda itu terlihat bermandikan keringat bersama pikulan kangkungnya. Padahal ia harus berada di sekolah sebelum pukul 7. Kayuhan sepeda ontel tua milik ayahnya sangat cepat. Bel kecil di ujung tangannya selalu berbunyi setiap penghalang jalan ditemuinya. Tidak mau ia bersantai menuju 13 kilometer SMA Muhammadiyah Klaten.
Wanita muda ini tidak termasuk orang yang dipandang di sekolah karena kepintarannya. Bahkan banyak dari rumus fisika dan senyawa kimia yang tidak melekat di otaknya. Rumus matematika yang tidak dihafalnya, membuat benda kayu milik papan tulis tak jarang melayang menghantam rahangnya.
Sepulang sekolah ia tak ikut bermain bersama kawan sebayanya. Kerbau di sawah menunggunya untuk ditumpangi dan diajaknya bersenda gurau sambil membajak sawah bersama kakak laki-lakinya. Bahu sang ayah yang sudah tidak bisa terbakar matahari lagi membuat anak-anaknya harus bekerja keras menyambung hidup.
Pinggiran Rawa Warung Apung Klaten menghembuskan angin senja. Menggiring anak-anak menuju masjid untuk menimba ilmu agama pada sang ustaz. Wanita muda tadi salah satunya. Pulang dari masjid, belajar dengan menggunakan lampu gantung menjadi rutinitas. Karena saat itu memang lampu masih jarang ditemukan.
Setelah 2 tahun merantau di Jakarta, pada tahun 1988 wanita itu menikah dengan seorang lelaki berkumis tipis. Hidupnya terlalu sederhana. Tidak membawa walau piring sebuah pun ke Jakarta, berteduh di bangunan kecil yang dicicilnya berdua. Beberapa suap nasi sehari dengan tempe, dan malamnya pun hanya beralaskan tikar.
Ketika ia menatapku pukul 21.00 malam ini, selaksa peristiwa tadi terputar kembali dalam pikiranku. Iya, wanita muda itu ibuku yang saat ini sedang menyetrika pakaian sambil mendengarkan lagu era tahun 80-an dari handphonenya di sampingku. Ia selalu senang tiap kali aku bertanya tentang cerita hidupnya di masa lalu. Jadi tidak hanya sekali aku mendengar ulang cerita yang sudah pernah ia ceritakan itu.
“Kalau malam dulu jarang ada air karena tinggal di gunung. Jadi sebelum tidur, ibu masukkan air ke dalam cerek dan ibu letakan di samping bantal. Kalau jam 1 pagi terbangun dan mau salat jadi tinggal wudu di situ, di tanah yang tidak ada lantainya. Karena kamar mandi gelap sekali kalau malam,” jelas ibuku untuk ketiga kalinya.
Aku benar-benar tidak habis pikir. Hitam putih jalan hidup mungkin sudah ia rasakan. Kini keriput banyak terpahat di tulang wajahnya. Hingga aku sebagai anaknya dapat hidup layak dan tidak harus membajak sawah untuk bisa makan. Kasih sayang untuk tiga anak perempuan berambut ikal ini tidak pernah terputus. Bahkan ketika kami sempat melawannya. Terima kasih ibu untuk 21 tahun kebersamaan dan tawanya. (Tulisan ini dikirim oleh Hanifah P Utami, mahasiswa Universitas Pancasila, Jakarta)