Klenteng Tjong Hok Bio Mencari Juru Kunci
VIVA.co.id – Di era orde baru, kuil ini menjadi vihara Amurva Bumi. Di era reformasi, ia kembali menjadi kuil/klenteng Tjong Hok Bio (THB). Kini kuil THB mencari juru kunci atau biokong, tanpa pandang bulu atau etnis. “Siapapun yang berminat kita terima,” ujar Edi Siswanto, ketua yayasan klenteng itu.
Riwayat kuil THB yang terletak di Desa Tluwah, Juwana, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, cukup kelam, terkait dengan peristiwa berdarah pembantaian etnis Cina oleh VOC Belanda di Batavia, pada 9-22 Oktober 1740 silam. Saat itu, warga Cina terutama yang kerja di pabrik-pabrik gula di Batavia berontak. Mereka tak tahan diperas oleh VOC Belanda. Mereka membunuh hampir 100 serdadu Belanda. Dan Belanda membalas dengan membantai sekitar 10.000 orang Cina, segala umur. Sekitar 3.000 warga Cina selamat dari pembantaian.
Mereka menyelamatkan diri lewat jalan darat Pantura dan laut, kemudian masuk ke Jawa Tengah sampai Jawa Timur. Yang lewat lautan, beberapa di antaranya masuk dan mendarat di alur-alur sungai yang bermuara di Laut Jawa Utara. Sekelompok pengungsi dari Batavia, masuk 2 kilometer di muara Sungai Juana dan berlabuh di Desa Tluwah. Beberapa tahun setelah berdagang mapan, mereka mendirikan kuil THB di desa itu. Memuja Kongco/Yang Mulia Hok Tiek Tjing Sien, Dewa (Kemakmuran) Bumi.
Beberapa waktu kemudian, kuil digeser lebih jauh 100 meter dari tepi sungai, seperti letaknya sekarang. Sebab setiap musim hujan, sungai meluap dan kuil tergenang banjir. Karena sedimen Kali Juana parah, mulai tahun 1990-an kuil THB kembali disatroni banjir tahunan.
Pak Lan, pribumi berusia 65 tahun yang sejak tahun 1980-an menjadi biokong THB bercerita, setiap muncul banjir tahunan, air masuk ke dalam kuil setinggi satu meter. Anehnya, kata perjaka ini, setinggi apapun air banjir tak pernah bisa menggapai patung/kimsien Kongco Hok Tiek Tjing Sien.
Setiap ada banjir berpekan-pekan, Pak Lan siang malam menjaga kuil. “Kalau malam saya tidur di meja depan altar Kongco, mengamati air kalau-kalau menenggelamkannya. Aneh, kata orang banjir kali ini lebih besar dari yang lalu, tapi air sama sekali tak menjilat permukaan altar Kongco,” ujarnya.
Karena kuil THB sering dilanda banjir tahunan, Edi Siswanto dua tahun lalu memutuskan untuk meninggikan permukaan sekaligus merenovasi klenteng itu. Dampak pembangunan kembali kuil THB, membuat keaslian bangunan dan ornamen di dalamnya otomatis terhapus semua. Hingga akhir 2016 renovasi mencapai 75 persen. Ruang induk telah rampung. Tinggal sayap samping kanan-kiri dan ornamen dalam dan luar kuil yang belum usai.
Sesudah ditinggikan delapan meter, Kuil THB kini tampak gagah menyala, didominasi warna khas merah. “Sejak klenteng THB dipugar, Pak Lan mundur sebagai biokong. Dia memperdalam agama Budha di vihara Bogor,” jelas Edi Siswanto. Tapi ada juga yang mengatakan kalau Pak Lan mundur karena tidak cocok dengan salah satu pengurus klenteng. Entahlah mana yang benar.
Teringat dengan pertemuan terakhir saya dengan Pak Lan sekitar tiga tahun lalu. Dia cerita kalau kuil THB penuh dengan kegaiban. Jika tidak dirawat dan dihormati, ada kiemsin dalam kuil yaitu Kongco Kwan Khong, Dewa Keadilan, yang marah. Toya-nya dibentur-benturkan ke tembok, membuat warga sekitar takut.
Klenteng THB, sebelum ada biokong baru setiap hari gerbangnya selalu digembok. “Siapa yang minat menjadi biokong klenteng THB bisa kita terima, dari etnis apapun,” kata Edi Siswanto. Honornya konon dua setengah juta rupiah setiap bulan, plus beras untuk hidup sebulan. Ada yang berminat? (Tulisan ini dikirim oleh Heru Christiyono Amari, Pati, Jawa Tengah)