Relief Tugu Muda Mengisahkan Pertempuran Lima Hari Semarang
VIVA.co.id – Monumen Tugu Muda Semarang diresmikan Presiden RI pertama, Ir Soekarno tahun 1953. Didirikan guna mengenang para pahlawan yang gugur di Pertempuran Lima Hari Semarang (PLHS) melawan penjajah Jepang, 15-20 Oktober 1945. Tugu Muda berbentuk obor dengan tinggi 53 meter, sebagai simbol api perjuangan warga Semarang yang tak pernah padam.
Berada di ujung barat Jalan Pemuda, dekat beberapa gedung tua saksi bisu PLHS. Seperti bekas Makodam Diponegoro, Lawang Sewu, rumah dinas Gubernur dan Kathedral. Tugu Muda semula akan didirikan di Alun-alun Semarang. Peletakan batu pertama oleh Gubernur Jawa Tengah, Wongsonegoro, 28 Oktober 1945. Namun gagal dibangun karena negara diliputi suasana genting oleh perang kemerdekaan di berbagai tempat.
Kemudian, pembangunannya dilanjutkan tahun 1949. Tapi gagal lagi karena tidak ada biaya. Akhirnya, Mr Hadisoebeno, Walikota Semarang, memprakarsai pembangunan Tugu Muda. Peletakan batu pertama 10 November 1951 dan diresmikan Presiden Soekarno pada 20 Oktober 1953.
Monumen terdiri dari tiga bagian, lima pilar kaki, tubuh, dan kepala. Desain oleh Salim dan pemahat relief seniman Hendro. Bahan batuan dari muntahan Gunung Merapi dari Pakem-Kaliurang, Yogyakarta. Monumen dikelilingi kolam air mancur dan beberapa tahun kemudian ditambah dengan pertamanan.
Setiap tanggal 15 Oktober malam hari, PLHS diperingati dengan upacara kebesaran militer, di seputar Plaza Tugu Muda. Ditandai raungan sirine dan 21 kali dentuman meriam. Sejak petang ribuan warga kota berbondong ingin ikut menyaksikan upacara itu. Tiap peringatan PLHS, dikisahkan kembali heroisme warga Semarang. Bertempur lima hari lima malam dengan senjata seadanya termasuk bambu runcing, melawan tentara Jepang yang keji. Lebih dari 2.000 pejuang gugur di palagan ini. Sedangkan tentara Jepang sekitar 850 yang tewas.
Nuansa mencekam PLHS tersimak pada relief di lima pilar Tugu Muda. Pilar pertama, relief 'Hongerodeem'. Tiga tahun dijajah Jepang (1943-1945) rakyat sangat amat menderita dan tertindas. Rakyat kelaparan, menderita busung lapar/Hongerodeem dan banyak mati sia-sia.
Pilar kedua, relief 'Pertempuran'. Kesabaran rakyat yang tertindas berubah jadi kemarahan pada penjajah Jepang. Warga Semarang mengangkat bambu runcing, bertempur melawan tentara Jepang. Gerakan perlawanan ini dibantu rakyat pedesaan sekitar kota Semarang.
Pilar ketiga, relief 'Penyerangan'. Para pejuang terdiri dari angkatan muda dan badan kelaskaran di Semarang bergerilya malam hari. Menyergap melucuti tentara Jepang di pos-pos tertentu dan menyerang markas-markas Jepang terdekat.
Pilar keempat, relief 'Korban'. Banjir darah di Semarang, bergelimpangan jasad sepanjang Jalan Pemuda dan di perkampungan seperti Ngaglik, Kintelan, Lempongsari, Bulu, Tegalsari, Jomblang, Lemahgempal, Pindrikan, dan lain-lain. Bahkan Kampung Batik, hangus habis dibakar Jepang.
Pilar kelima, relief 'Kemenangan'. Menampakan suka-cita warga Semarang merasa menang. Ditandai permintaan gencatan senjata oleh Jepang pada 20 Oktober 1945. Meski di pinggiran kota pertempuran masih berkobar. Bahkan 75 tentara Jepang dihabisi oleh pejuang di Pedurungan.
Pemantik meletusnya PLHS diawali oleh sikap arogan tentara Jepang. Tidak mau menyerahkan senjata pada Badan-badan Kelaskaran kita. Jepang hanya akan menyerahkan peralatan perangnya pada tentara sekutu, di dalamnya membonceng serdadu Belanda. Para pejuang marah, mengadakan razia, mencegat/merampas senjata dan kendaraan perang tentara Jepang. Bersamaan itu muncul isu, reservoir air minum bagi warga kota di Siranda, Semarang, ditaburi racun oleh tentara Jepang.
Malam hari, Dr. Kariadi, kepala purusara rumah sakit Semarang dan sopirnya yang seorang tentara pelajar berniat mengecek reservoir Siranda. Baru tiba di Jalan Pandanaran, mobilnya diberondong Jepang. Dr. Kariadi (40 th) dan tentara pelajar sopirnya pun gugur.
Gugurnya Dr. Kariadi dan beberapa insiden lain dimana Jepang tak menggubris kehendak para pejuang memicu meletusnya PLHS. Warga Semarang lewat PLHS telah menorehkan sejarah perjuangan melawan penjajah. Tak kalah dengan pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. (Tulisan ini dikirim oleh Heru Christiyono Amari, Pati, Jawa Tengah)