Wajah Baru FTI UMI Makassar dalam Sebuah Obrolan
VIVA.co.id – Suatu ketika terjadi diskusi yang panjang di antara kami, anak-anak muda Nahdlatul Ulama (NU) yang sedang menikmati secangkir kopi. Mata kami sedang tertuju pada sebuah Fakultas di Universitas Muslim Indonesia, Makassar. Dari hasil penglihatan kami, tentunya membuat kami kaget dengan pembangunan yang ada.
Memang tak terlalu lama kami meninggalkan kampus ini. Kampus di mana kami belajar dan bertarung. Bahkan, banyak kisah kami yang muncul di sini. Sebut saja ancaman DO karena kami memboikot perkuliahan dan meminta adanya perubahan pucuk pimpinan yang cenderung otoriter.
Sambil menikmati kopi tersebut, di antara kami pun penasaran dengan berubahnya tampilan wajah FTI UMI. Rentetan pertanyaan kami lemparkan kepada sahabat-sahabat kami yang masih menikmati pekuliahan di kampus hijau ini. Dari hasil rentetan pertanyaan tadi muncul sebuah nama Zakir Sabara. Nama itu tak asing di telinga kami. Sepengetahuan kami, nama ini dulunya lekat dengan Rektor III UMI.
Tiba-tiba sedang asyik berbicara, kamipun menatap bangunan yang dulunya kami gunakan sebagai ruang perkuliahaan, namun sayang tak banyak berubah. Seketika kami berbicara panjang lebar tentang efek kepemimpinan dalam pembangunan. “Ini soal siapa nakhodanya bukan berapa bayaran semestermu,” tutur salah satu di antara kami.
Namun tentunya saya membantah, menurut saya semua aspek berperan. Dan intinya, berapa biaya yang dikeluarkan harus berbanding lurus dengan fasilitas dan kualitas yang dijaminkan. Tapi kembali lagi, saya membenarkan jika pengaruh kepemimpinan sangat penting dalam mengatur dan mempengaruhi yang ujung-ujungnya juga pada kualitas dan fasilitas.
Tiba-tiba di antara sahabat-sahabat kami yang masih menikmati studi akhir bertanya, “Pak Zakir itu anak NU?” Dengan wajah tersenyum kami pun saling menatap dan dengan tenang ada yang menjawab, “Tanyakan saja sama Pak Zakir. Pak, sampean tahlilan atau tidak? Kalau Pak Zakir jawabnya iya, berati dia kaum sarungan sama seperti kita. Tapi kalau beliau jawabnya tidak, kemungkinan dia saudara kita Muhammadiyah,” kami pun tertawa.
Merasa pembicaraan kami semakin jauh, kami pun kembali ke topik awal “Wajah baru FTI UMI”. Tentunya kami sangat bangga jika semua fakultas bisa mengalami pergeseran yang sangat cepat. Dulu ketika tahun 2012, wajah FTI masih kusam. Tetapi di 2016 kami tiba kembali ke kampus ini, wajah kusam itu sudah tampak elegan. Kamipun teringat dengan pesan Gus Dur. ‘Tidak penting apa pun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu’. (Tulisan ini dikirim oleh Abdul Rasyid Tunny, Makassar)