Tanjung Puting, Misteri di Ujung Kalimantan Tengah

Tanjung Puting
Sumber :
  • U-Report

VIVA.co.id – Perjalanan ini sebenarnya di luar rencana. Awalnya saya hanya ingin keliling Kalimantan Tengah, tapi ketika browsing di internet, tiba-tiba saya sangat tertarik untuk datang ke Tanjung Puting. Tanjung Puting adalah sebuah tempat yang sangat terkenal di dunia yang ternyata ada di ujung Kalimantan Tengah. Akhirnya jadwal yang seharusnya hanya 4 hari harus ditambah menjadi 6 hari. Rebooked tiket dan menyusun ulang jadwal perjalanan. Untungnya saya punya teman perjalanan yang fleksibel juga waktunya, sehingga hal ini tidak menjadi masalah.

Dari Palangkaraya menuju Pangkalan Bun, harus menempuh 10 jam perjalanan dengan bus. Saya kebetulan memakai bus Logos yang eksekutif, karena perjalanan panjang. Busnya ber-AC, bagus, dan juga diberi bantal dan selimut, sehingga tidak terasa selama dalam perjalanan. Cukuplah fasilitasnya dengan harga 120.000.

Bus di sini harus dipesan terlebih dahulu karena hanya ada dua kali jadwal perjalanan, yaitu jam 07.00 dan jam 16.00. Untung juga bus yang saya tumpangi tidak penuh, hingga saya bisa tidur dengan 2 kursi sendirian. Bus berhenti 2 kali, di Banjaran untuk makan malam (beli sendiri) dan di Sampit. Pergunakan waktu untuk salat dan ke kamar mandi. Sebab setelah itu bus tidak berhenti lagi.

Perjalanan panjang ini relatif tidak terasa, karena jalan trans Kalimantan ini sudah bagus. Hanya sedikit saja yang berlubang-lubang. Apalagi busnya enak, jadi mending tidur saja deh, karena malam hari juga pemandangannya hanya hutan dan pohon. Sampai di Pangkalan Bun sekitar pukul 02.00, masih banyak tukang ojek di pemberhentian bus. Karena tujuan memang ke Teluk Kumai, maka saya langsung naik ojek menuju Teluk Kumai. Mau menginap di Pangkalan Bun, tapi takutnya malah kesiangan menuju Tanjung Puting.

Lumayan jauh juga perjalanan memakai ojek, hampir 30 menit. Untung saja saya memakai jaket, kalau tidak pasti akan masuk angin karena udaranya sangat dingin sekali. Ketika sampai di Teluk Kumai, penginapan banyak yang penuh karena merupakan tempat transit para penumpang kapal menuju Jawa. Beruntung saya masih diberi tumpangan tempat oleh seorang penjual tiket kapal.

Sambil menyeruput kopi panas di pagi dingin, saya memandangi pinggiran Teluk Kumai yang masih ramai. Karena semalam tidur di bus dengan pulas, maka pagi ini saya tak merasa mengantuk. Akhirnya, ketika subuh, saya pun menuju masjid yang lumayan besar dan bersih. Selain salat, saya juga menumpang mandi di masjid tersebut. Whuaa, airnya merah kekuningan. Karena memang airnya berasal dari sungai di sana.

Setelah pagi datang, saya mulai mencari kapal klotok yang akan disewa menuju Tanjung puting. Pak Ali, yang memberi kami tumpangan tempat, ternyata punya kenalan. Setelah tawar menawar, disepakati jam 09.00 kami akan memulai perjalanan. Sambil menunggu kapal disiapkan, kami pun mencari makan dan penginapan untuk nanti. Akhirnya kami dapat penginapan di tepi Teluk Kumai. Losmen Permata Hijau, yang bersih dan murah juga.

Akhirnya, tepat jam jam 10.00 berangkat juga kapal klotok kami menuju Tanjung Puting. Kapal panjang ini biasa disebut kapal klotok dengan fasilitas lengkap. Seperti kamar mandi dengan toilet duduk dan shower, 2 dek di depan dan di belakang untuk bersantai menikmati pemandangan, meja dan kursi makan, dan pastinya ruangan tengah yang diberi alas karpet dan 2 buah matras untuk sekadar bersantai dan tidur-tiduran. Sayangnya kita hanya berdua, padahal dinaiki 6 sampai 8 penumpang pun harga masih sama.

Dari Teluk Kumai, perlahan-lahan kapal berjalan menuju Sungai Sekonyer. Suasana sepi dan hutan yang asli mulai terasa. Taman Nasional Tanjung Puting merupakan lokasi pertama di Indonesia sebagai pusat rehabilitasi orangutan. Terdapat tiga buah lokasi untuk rehabilitasi orangutan yaitu di Tanjung Harapan, Pondok Tanggui, dan Camp Leakey. Orangutan Kalimantan mempunyai bulu kemerah-merahan gelap dan tidak memiliki ekor. Sejalan dengan pertumbuhan usianya, jantan dewasa mengembangkan pipinya hingga membentuk bantalan. Semakin tua, bantalan pipinya semakin besar sehingga wajahnya terkesan seram.

***

Taman Nasional Tanjung Puting ditetapkan UNESCO sebagai Cagar Biosfir pada tahun 1977 dan merupakan Sister Park dengan negara Malaysia. Perjalanan menyusuri Sungai Sekonyer ini sungguh mengasyikkan, karena di pinggiran sungai banyak sekali pemandangan. Pohon-pohon yang langka, gerombolan bekantan, monyet, hingga burung enggang. Ditambah benar-benar tidak ada sinyal, jadi mau apa lagi selain menjelajahi alam?

Sepanjang perjalanan, kami bertemu dengan kapal klotok lain yang semuanya berisi turis asing. Mereka kebanyakan melakukan perjalanan 3 hari 2 malam. Di kapal klotok sudah disiapkan kasur dan kelambu untuk menginap. Karena waktu terbatas, saya memutuskan untuk pulang malam saja. Perjalanan melewati Tanjung Harapan, untuk dicek perizinan tanda masuk tamu, kemudian melewati Pondok Tanggui, dan akhirnya sampai juga ke Camp Leakey.

Kita turun ditempat feeding orangutan yang terbesar. Perjalanan dari Dermaga ke Feeding Point di Camp Leakey sekitar 45 menit berjalan kaki. Di sini, orangutan banyak terlihat bermain di pohon-pohon sehingga setiap kelompok tamu harus ditemani ranger atau guide. Di perjalanan menuju Feeding Point, kami ditemani Princess yang sedang menggendong anaknya. Princess ini termasuk orangutan belum liar karena dibawa ke Tanjung Puting sebagai orangutan sitaan.

Di Feeding Point Camp Leakey, orangutan yang berkumpul lebih banyak dibanding Pondok Tanggui. Bergantian mereka duduk di meja yang penuh oleh pisang, kemudian kabur membawa beberapa buah. Sungguh pengalaman tersendiri menyaksikan mereka berinteraksi satu sama lain. Ketika balik dari Feeding Point, beruntung sekali kami bertemu dengan Tom, sang Raja Tanjung Puting. Antara ngeri dan senang bercampur aduk. Dia besaaar sekali, sehingga kami harus balik arah jalan agar tidak berpas-pasan langsung dengan Tom. Setelah Tom duduk, barulah kami berani untuk memotretnya. Di Camp Leakey, kami mampir di Visitor Center yang kondisinya lebih baik daripada yang ada di Tanjung Harapan.

Birute Galdikas berasal dari Jerman, berkebangsaan Kanada. Tahun 1971, Galdikas (25) dan suaminya tiba di Tanjung Puting untuk meneliti orangutan di habitat aslinya. Tahun 1981, setelah bercerai dengan suaminya, Galdikas menikah dengan orang Dayak asli bernama Pak Bohap. Dengan Pak Bohap beliau dikaruniai dua orang anak bernama Frederick dan Jane. Galdikas atau yang lebih dikenal dengan sebutan Bu Birute oleh orang-orang setempat, benar-benar mendedikasikan hidupnya untuk orangutan.

Beberapa penghargaan diberikan kepadanya dari pemerintah Indonesia maupun lembaga dunia. Saat ini, Bu Birute tidak menetap lama di Tj Puting. Dia bolak balik antara Kanada, Amerika, dan Indonesia. Bu Birute yang sudah menjadi WNI ini menjadi ˜kesayangan” orangutan di sini. Guide kami bercerita, kalau setiap kali Bu Birute datang, orangutan akan setia menunggu di pinggir sungai. Bahkan beberapa dibawa ikut naik boat untuk menuju lodge-nya.

Tom, orangutan yang paling besar akan selalu bikin sarang dekat dengan kamar Bu Birute ketika beliau ada di sana. Di Camp Leakey ada guest house milik Bu Birute, yang sekarang terlihat kurang terawat. Di sini juga ada penjaga yang berasal dari Suku Dayak. Karena menurut cerita guide, banyak penjaga yang hilang di hutan ini. Setelah puas berkeliling, berfoto, dan menikmati keaslian hutan nasional ini, maka waktunya pulang karena sudah jam 16.30. Biasanya setelah jam 16.00 perahu tidak diperbolehkan pulang ke Teluk Kumai, karena bahaya Sungai Sekonyer yang akan menyempit di malam hari.

Nakhoda pun menyarankan kami untuk menginap, tapi saya berkeras untuk pulang. Tidak terbayangkan menginap di hutan, apalagi saya perempuan sendirian. Ternyata benar juga, perjalanan pulang sungguh ekstrem. Kami membelah Sungai Sekonyer di malam yang gelap tanpa ada penerangan sama sekali. Hanya lampu senter yang menerangi kami mencari jalan menyusur sungai. Hutan gelap penuh suara binatang malam. Banyak pohon dan rawa yang menutup jalan kapal.

Kapal kami sempat menabrak pinggiran pohon karena salah jalan. Aduh, kebayang kalau kapalnya sampai mogok atau roda bawahnya lepas. Siapa yang mau memperbaiki malam-malam gelap begini? Sang nakhoda berjuang melawan gelap ditemani kernet dan guide yang sama-sama mencari jalan. Sungai Sekonyer terasa sangat panjang dan berliku. Tapi senang juga menikmati perjalanan malam ini. Kunang-kunang bertebaran dimana-mana, bintang-bintang pun terasa bertaburan lepas. Ada burung hantu yang menyeramkan. Ada mata merah buaya.

Beneran! Ada buaya di pinggiran sungai. Aduh, saya jadi membayangkan yang macam-macam. Kalau kapal ini sampai terbalik, terus kita mau lari ke mana ya? Apalagi mendengar cerita dari pemandu kalau banyak petugas hutan yang hilang di sungai ini kebanyakan karena di makan buaya. Juga ada turis asing yang nekat berenang, dan akhirnya dimakan buaya juga.

Angin dingin mulai terasa, rasa kantuk mulai menyerang, apalagi ada bantal. Akhirnya sempat tertidur juga. Lumayan menghilangkan rasa cemas tadi. Saat terbangun ternyata masih di atas sungai juga. Akhirnya jam 22.30 sampai juga di Teluk Kumai. Alhamdulilah, senangnya melihat dermaga yang terang. Perjalanan yang tak akan terlupakan. Sampai jumpa lagi,Tom. Aku pasti kembali menjengukmu! (Tulisan ini dikirim oleh nuk03021998, Pangkalan Bun)