Klenteng Hok Tek Tong Penyelamat Eddy
- U-Report
VIVA.co.id - Klenteng Hok Tek Tong (HTT) tak tersohor seperti klenteng-klenteng lain di Indonesia. Bangunannya tak semegah dan tak seluas klenteng lain. Namun, bagi lelaki Tionghoa yang sehari-hari dipanggil Eddy ini, kelenteng itu merupakan penyelamat hidupnya sekaligus membangkitkan harapan, sehingga tabah melangkahkan kaki mengarungi sisa hidupnya.
Klenteng HTT lokasinya 500 meter di seberang Pendopo Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Tepatnya berada di kompleks Pecinan, kota kecil Jepara. Klenteng ini bertuan rumah Kong-co "Hok Tiek Cie Sien". Kong-co adalah roh mulia Dewa yang memberi kehidupan dan kemakmuran bagi umat manusia di permukaan bumi.
Eddy berusia 48 tahun. Empat atau lima tahun yang lalu, ia belum mengenal kehidupan peribadatan klenteng. Lelaki ini masih mengikuti keyakinan istrinya yang menganut Nasrani. "Tiap hari Minggu, bersama istri dan dua anak saya pergi ke gereja untuk beribadah. Waktu itu peribadatan di tempat suci klenteng belum pernah saya lakukan," kata Eddy yang ditemui di serambi Klenteng HTT Jepara.
Eddy asli dari Kecamatan Welahan, 35 km sebelah barat Jepara. Ketika kuliah di Semarang, dia berkenalan dengan seorang gadis Tionghoa asli Semarang yang akhirnya menjadi istrinya. Keluarga Eddy saat itu tinggal di Semarang. Pernikahannya dikaruniai dua orang anak. Si sulung perempuan, kini kuliah di Semarang. Yang bungsu lelaki, masih duduk di bangku SLTP.
Lima tahun lalu, keluarga Eddy berantakan dan berakhir dengan perceraian. Tragedi rumah tangga itu terjadi akibat campur tangan tiada henti dari keluarga istri. Eddy pulang ke Welahan bersama anak perempuannya. Sedangkan anak lelakinya ikut dan tinggal dengan istrinya di Semarang. "Perceraian itu bencana paling hebat dalam hidup saya," tukas Eddy.
Usai perceraian, hari-hari yang dilalui Eddy tak ubahnya hari-hari penuh kekelaman. Dia tak tahu bagaimana menjalani kehidupan. Sehari-hari cuma keluyuran dari pagi hingga malam dengan naik motor butut miliknya. Terkadang berhenti istirahat berlama-lama di tepi jalan raya, memandangi lalu lintas dengan tatapan kosong.
Suatu saat, tidak sadar Eddy tersasar di halaman Klenteng HTT Jepara. Disandarkan motornya, lalu dia duduk-duduk di halaman klenteng itu. Ketika matanya melihat lumut-lumut yang tumbuh merayapi dinding tembok luar klenteng, seakan ada kekuatan kasat mata menggerakannya untuk mendekati dinding tembok itu. Lalu, di luar kesadarannya, tangannya mulai membersihkan dinding dari lumut-lumut itu.
Sejak itu, Eddy tiap hari dari rumahnya di Welahan pergi ke Klenteng HTT Jepara hanya untuk membersihkan lumut-lumut dinding tembok klenteng. Tanpa ada yang menyuruh, bahkan tidak ada yang melarangnya. "Saat saya membersihkan lumut-lumut, terasa damai dan tenteram di hati," ucap Eddy. Jika sehari dia tak melakukan pekerjaan itu, nuraninya menjadi gundah gulana tak karuan.
Suatu saat, pengurus Klenteng HTT mendapat laporan mengenai keganjilan tingkah Eddy. Pengurus lantas menemui dan bertanya pada Eddy, mengapa membersihkan dinding klenteng padahal tak disuruh dan tak dibayar. Dengan polos dan jujur Eddy menjawab kalau semua yang dilakukannya demi memenuhi dorongan nuraninya. Lagipula hati dan pikirannya jadi tenang saat membersihkan dinding klenteng itu.
Pengurus Klenteng HTT iba mendengar pengakuan Eddy. Lalu menawari apakah dia mau bekerja di klenteng sebagai juru rawat klenteng atau juru kunci (bio-kong). Eddy langsung menerimanya dengan suka cita. "Tak dibayar pun saya mau menjadi bio-kong," cetus Eddy. Tetapi nyatanya, setiap akhir bulan setelah menjadi bio kong, Eddy selalu dapat honor dari pengurus klenteng.
Semenjak menjadi bio-kong Klenteng HTT, terjadi perubahan besar dalam diri Eddy. Semangat hidupnya tumbuh kembali. Kenestapaan dampak dari kehancuran rumah tangganya tak lagi membayangi hidupnya. "Hidup saya sekarang jadi tenang. Saya mulai bisa berpikir dengan otak waras. Termasuk mengurus dan merawat anak secara layak," ucap pria itu memungkasi bincang-bincang. (Tulisan ini dikirim oleh Heru Christiyono Amari, Pati, Jawa Tengah)