Demi Gaji Layak, Beranikah Perawat Mogok Nasional?
VIVA.co.id – Mengawali tulisan atau keresahan ini dengan beberapa pertanyaan. Pertanyaan ini bukan datang begitu saja, namun tentunya melalui beberapa diskusi panjang, melihat realita, dan kemudian menelaah peraturan yang ada. Saya pun dilema. Lalu suatu ketika, saya melontarkan kata, “Sebenarnya kehidupan perawat itu seperti apa? Apakah perawat dari sisi pendidikan, penampilan, dan penghasilan memang serupa dengan buruh, sehingga banyak kita temui perawat yang kehidupannya penuh dengan pengabdian lalu dibayar dengan upah yang murah?”
Banyak wajah yang melirik penulis, lalu ada yang tersenyum karena merasa lucu atau kena di lubuk hati mereka paling dalam sebab merekalah korbannya. Ada juga yang berekspresi seperti akan menerkam penulis. Mungkin karena marah atau merasa penulis telah melecehkan profesi. Namun, di sini penulis ingin menekankan tentang perbedaan jauh antara pramugari, pekerja pabrik, dan perawat. Di sini juga penulis ingin melihat lebih jeli bagaimana perbedaan jauh antara profesi keperawatan dan profesi lainnya. Saya mengajak semua untuk sama-sama membedah perbedaan pendapat sampai perbedaan pendapatan antara profesi keperawatan dan profesi lainnya.
Sepak terjang profesi keperawatan patut diacungi jempol. Bagaimana profesi ini berusaha untuk menata dan menaikkan peran sertanya. Perawat yang semula tugasnya hanyalah semata-mata menjalankan perintah dokter atau instruksi dokter, kini berupaya meningkatkan perannya sebagai mitra kerja dokter seperti yang sudah dilakukan di beberapa negara. Tak dipungkiri jika perawat sebagai salah satu profesi kesehatan yang peran sertanya sangat perlu untuk dilibatkan dalam pencapaian tujuan pembangunan kesehatan baik di Indonesia maupun di dunia internasional.
Namun realitanya, peran perawat yang begitu spesial di sistem kesehatan nasional tak terbayar mahal dengan upahnya. Negara ini hanya menjadikan beberapa profesi saja sebagai profesi dengan penghasilan tinggi. Misalnya saja, dulu guru itu tanpa tanda jasa, tapi saat ini menurut teman saya, guru tanpa tanda jasa sudah dihapus dengan sertifikasi.
Dulu itu kita hormati dan sayangi guru dengan kesederhanaannya. Dengan kedalaman ilmu dan ketulusan hati saat ia mengajarkan kita. Tapi saat ini, banyak guru yang malah sibuk mengejar silabus untuk sertifikasi. Berlomba-lomba hidup mewah sehingga kita tak dengar lagi petikan lagu Iwan Fals, “Laju sepeda kumbang di jalan berlubang”, sekarang bisa saja berubah menjadi “Laju mobil di jalan licin”.
Menurut hemat penulis, teman saya ini ada benarnya juga. Namun, terlepas dari semua itu, ada lagi profesi yang diberi kelebihan upah oleh pemerintah yaitu TNI dan Polri. Ya, bisa dikatakan semua profesi ini memang layak mendapatkan hal itu karena perannya masing-masing. Namun bagaimana dengan perawat? Di Amerika dan beberapa negara lainnya, profesi perawat masuk dalam lima besar profesi dengan penghasilan tertinggi. Tetapi di Indonesia, perawat di komunitas diberi tunjangan dengan pisang dan hasil kebun warga pedalaman.
Saya membayangkan apa yang dirasakan oleh senior-senior saya, ketika mereka selesai melaksanakan salat Idul Fitri lalu harus bergegas kembali ke rumah sakit. Betapa makna lebaran pun hilang begitu saja dengan rasa tanggung jawab profesi. Pramugari bicaranya lembut, enak, dan sangat komunikatif karena dibayar mahal. Begitupun pegawai bank, hanya melewati training beberapa bulan ia sudah mampu membangun komunikasi yang baik dengan nasabahnya.
Nah, di sini penulis melihat apakah perawat di beberapa tempat itu jutek karena murah upahnya? Bisa jadi begitu kesimpulannya. Karena sepengetahuan penulis, perawat itu dalam studinya ada yang dinamakan mata kuliah Komunikasi Trapeutik. Bahkan di setiap tindakannya, diwajibkan untuk melakukan komunikasi trapeutik. Jadi, ketika ada masalah saat aplikasinya di lapangan maka yang patut ditinjau adalah sistem dan manusianya pula.
Kita juga harus akui jika perawat di rumah sakit swasta dengan gaji yang tinggi, pelayanannya pun sama spesialnya dengan pelayanan nasabah dengan pihak bank. Jadi tidak ada salahnya juga penulis menduga (tidak berkesimpulan) bahwa kurang komunikatif wajah sampai tutur kata sebagian perawat hal ini diakibatkan gajinya.
Ya, memang agak lucu sih, tetapi perlu digarisbawahi jika perawat juga manusia. Kesejahteraan perawat bukanlah isu penting di negeri ini. Bahkan untuk mengesahkan RUU Keperawatan saja butuh perang propaganda yang memakan waktu bertahun-tahun. Apalagi soal uang, peran organisasi profesi, juga tak semasif yang diharapkan.
Penulis melihat, jika di kurikulum keperawatan sepertinya harus dimasukan juga pendidikan politik. Sebab kurang pengetahuan dan merasa alergi dengan dunia politiklah maka secara politik pula perawat tak punya gebrakan di Senayan. Jika kita memang butuh kesejahteraan di balik tuntutan mutu pelayanan oleh masyarakat dan negara, maka kita harus berani membuat gebrakan dengan mogok nasional.
Jika kita masih saja punya alasan kemanusiaan, maka tak berani mogok nasional, maka kita tetap saja tak akan dimanusiakan. Kerja 24 Jam, tak bisa merasakan Lebaran, siang malam penuh risiko infeksi nokomial, belum lagi tuntutan sana sini akan terus menghantui kita yang tak dimanusiakan oleh negara.
Ingat, jika mereka pramugari dibayar mahal karena risikonya besar, apa bedanya dengan kita yang terkontak dengan segala jenis penyakit yang sama berisiko pula? Kalau bukan kita siapa lagi? Kita sudah tak diperlakukan dengan adil di negeri ini. Kita seperti terjajah dalam sistem yang hanya memberi kekayaan pada profesi lain. Bangkit melawan atau tetap terindas, itu saja pilihannya. (Tulisan ini dikirim oleh Abdul Rasyid Tunny, Makassar)