Kasih Sayang Ibu Tergadaikan karena Uang

Ilustrasi lukisan Ibu.
Sumber :
  • Ibu

VIVA.co.id – Bapak, apakah bapak bahagia dengan ibu? Keberadaan ibu yang kini terlena akan manisnya uang? Kini aku sudah memasuki tahun pertama duduk di bangku Sekolah Dasar, Pak. Saat aku dan kakakku tidak mampu untuk sekadar membeli buku pelajaran di sekolah, aku pun malu. Ibu yang kini mulai berjualan keliling kampung dengan menjual kue dan mungkin sedikit melebihi dari penghasilan bapak sehari-hari sudah tidak peduli dengan uang yang harus kami bayar kepada pihak sekolah.

Saat kami meminta kepada ibu, beliau berkata, “Nunggu Bapak saja, karena Bapak adalah kepala keluarga yang harus tanggung jawab atas semua biaya di rumah dan juga biaya kamu.” Aku dan kakakku hanya menundukkan kepala dengan bergeleng.

Awalnya, aku merasakan kebahagian. Karena dengan ibu bekerja dapat meringankan pekerjaan bapak yang hanya menjadi tukang bengkel sederhana. Mungkin benar alasan ibu tidak ikut campur dalam pembiayaan kami saat ini, karena ibu masih memikirkan tentang masa depan kita dan bagaimana aku dan kakakku bisa sekolah sampai perguruan tinggi.

Dagangan ibu semakin hari semakin laris saja, karena aku yang terkadang ikut ibu jualan. Banyak ibu-ibu kompleks yang memesan kue ibu, mungkin karena keunikan makanan ibu yang mambuat mereka tertarik untuk memesannya. Namun, suatu ketika, ada seorang ibu kompleks yang menyarankan kepada ibu untuk berjualan di Jakarta dengan membuka warung makan. Hal itu dinilai lebih menjanjikan karena mayoritas warga Jakarta yang sibuk dan tak sempat untuk sekadar memasak.

Kristal mutiara yang berbentuk bunga kuncup itu kini meluap dari mataku. Bagaimana aku harus meninggalkan desa yang telah melahirkan hati ini? Kekhawatiranku selama ini kini aku genggam. Pikiran ibu yang terpengaruh dengan anjuran ibu kompleks kemarin ternyata benar-benar tertanam dengan rapi. Hal ini juga telah disampaikan kepada bapak.

Dengan berat hati bapak mengiyakan. Kini aku harus kembali menegakkan kenyataan yang tak pernah aku harapkan. Aku melangkah ke bangunan yang biasa menjadi tempat setiaku. Meratapi ibu yang kini dilumuri dengan keinginan masa depan yang penuh dengan uang.

Ini awal Desember yang panas, dan kami menuju Jakarta yang lebih panas agar keinginan ibu tergapai. Ini bukan rutinitas yang biasa kami kerjakan. Berpanas-panasan di kota orang dan tak menemukan jalan tujuan. Kakakku dan aku tiap kali mengeluh karena panas dan kelaparan. Tapi bapak yang berjiwa malaikat seringkali membuat keadaan kita dingin seketika. Dan Ibu yang membuat keadaan seperti ini malah seketika membentak kami dengan tegasnya.

Bapak yang mempunyai kesabaran tiada batas akhirnya mengajak kita untuk beristirahat di warung makan. Hiruk pikuk suasana warung yang ramai membuat ibu tersenyum sumringah. Aku yang berada dalam keadaan sekolah dasar mulai bisa membaca tentang kondisi orang dewasa. Keesokannya ibu benar membuka warung kecil-kecilan di depan kontrakan kami. Dan bapak kembali bekerja seperti rutinitas awal menjadi pelayan bengkel. Walau bapak hanya  menyediakan pelayanan semampunya sebab tak semua fasilitasnya terbawa ke Jakarta.

Senja memang tak selalu hadir sepanjang hari seperti apa yang aku inginkan. Mereka pergi saat purnama mencari. Bapak yang menyayangi keluarga sepanjang zaman kembali menyetorkan uang hasil usaha hari ini untuk ibu. Dan lambat laun akhirnya usaha ibu membuahkan hasil yang cukup sehingga kita bisa pindah ke rumah yang sedikit lebih besar dan rapi.

Ibu yang tak pernah sungkan kepada bapak dengan lancangnya menyuruh bapak untuk merapikan rumah. Kakak dengan tanggapnya menegur ibu, dan ibu dengan tanggap pula menjawab, “Kalau mau bantu Bapak, ya bantu saja. Tak usah kau menegur Ibu! Tapi hati-hati untuk membereskannya karena ini Ibu susah cari uang,” ungkapnya.

Dalam hati yang terdalam, kini pisau yang begitu mulus sedang dan baru tertancap dalam hati. Permata yang kami anggap indah memalingkan keindahannya pada hal lain. Ingin kukejar senyum hingga ke negeri Neptunus rasanya. Namun, kegagalan selalu menghadang dan bertandang di ujung mata. Bapak mulai sakit-sakitan, dan ibu yang tak sempat berbagi kasih hanya menyuruh kami untuk membelikannya obat warung. Kepalaku kembali sakit layaknya tertusuk jarum yang sangat perih.

Ibu tak ingin pemasukannya berkurang dengan membawanya ke dokter. Aku dan kakakku yang ingin tahu lebih jelas tentang penyakit bapak yang akhir-akhir ini sering membuatnya pingsan. Kakakku yang kini sudah dewasa dan duduk di bangku kuliah mengajak kita untuk pergi dari rumah karena tidak kuat akan pemandangan neraka yang terjadi pada bapak. Ibu dengan senyum miris mengiyakan karena ketidakmungkinan hidup di Jakarta tanpa uang.

Tuhan, kini darah air mataku kembali berderas. Kami tinggal di rumah kontrakan yang lebih sederhana. Setelah tiga hari kakak mencari pekerjaan, akhirnya ia diterima menjadi sales dari sebuah produk yang cukup ternama. Bapak menyuruh kakak untuk sesekali menjenguk ibu. Kakak menjawab “Iya Pak, tapi nanti kalau uang aku sudah banyak.” Mungkin hinaan ibu masih terbayangkan di pikiran kakak.

Suatu ketika, tanpa pamit aku menjeguk ibu karena kerinduan tetap lancar mengalir. Tak terduga, ibu sedang berbaring lemah. Dan dengan kencangnya ia memelukku dan berkata, “Cepat kembali. Ibu malu, ibu kira kalian akan kembali sebab uang ibu, tapi ternyata tidak.” Dengan tangkasnya aku pun menghubungi bapak untuk segera kembali bersama Ibu.

Kini suara megah kembali aku dengar, dan mutiara indah itu kembali dapat aku pandang dengan sempurna. Khayalanku untuk hidup bahagia terus membawaku dan menyadarkanku bahwa menyatukan segala hal adalah kekuatan yang tak pernah ternilai. Karena aku yang tak mau mencari langkah lain dengan mengepingkan kebersamaan ini. (Cerita ini dikirim oleh Lutfiyah, Sumenep)