Dialog Budaya dalam Deklarasi Padepokan Joko Tole
VIVA.co.id – Suguhan kegelisahan mahasiswa rantau asal kabupaten Sumenep tentang minimnya kontribusi terhadap daerah asal belakangan ini menghantui telinga mereka. Para mahasiswa Yogyakarta asal Sumenep yang tergabung dalam Lingkar Kajian Strategis Kedaerahan Mahasiswa Sumenep Yogyakarta mencoba mendirikan padepokan Joko Tole yang dideklarasikan pada Jumat, 15 Juli 2016 di Gedung PKK, kabupaten Sumenep.
Acara yang dinamakan Launching Padepokan Joko Tole & Dialog Budaya ini bertajuk “Kembali Menggagas Sumenep sebagai Episentrum Budaya Madura’. Budayawan handal seperti D. Zawawi Imron dan Syaf Anton Wr mewarnai serunya acara deklarasi dan dialog budaya. Merosotnya kebudayaan Madura secara umum dan Sumenep khususnya melatarbelakangi diangkatnya tema pada sore hari itu.
Pembacaan ayat suci Alquran yang dilanjutkan dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya menjadi pembuka acara yang dihadiri puluhan mahasiswa dari berbagai universitas itu. Gemuruh dan gema Gedung PKK yang berada di sebelah barat rumah dinas membuat merinding para peserta.
Tarian tradisional, tari Muang Sangkal menghibur mata para peserta sebelum prosesi deklarasi. Semua peserta sangat menikmati pertunjukan atraktif yang diperagakan tiga wanita muda dengan memakai baju tradisional tersebut. Sorak-sorai dan pemandangan dimana para peserta memegang handphone untuk mengambil foto atau video mewarnai jalannya acara.
Akhirnya tiba prosesi deklarasi yang disaksikan langsung oleh kepala Disbudparpora Kabupaten Sumenep dan kedua pembicara. Ketua umum mengawali prosesi deklarasi dengan menjelaskan maksud dan tujuan berdirinya Padepokan Joko Tole yang digagas oleh mahasiswa Sumenep Yogyakarta.
Pemukulan gong menjadi simbolis bahwa sudah resmi padepokan ini dideklarasikan menjadi puncak acara sebelum masuk acara dialog budaya. Pada kali ini diwakili oleh Siswandi, untuk memukul gong yang sudah disediakan.
Acara dialog budaya bersama dua budayawan yang sudah tidak asing lagi di kancah nasional sampai kancah internasional, seperti Bapak D. Zawawi Imron. Syaf Anton Wr menjadi pembicara pertama dengan memaparkan beberapa faktor yang membuat terdegradasinya kebudayaan yang dimiliki oleh Madura.
Ia menyampaikan bahwa pernah berbincang-bincang dengan pemain topeng. Permasalahan yang mereka punya adalah masalah perekonomian, tempat untuk tampil, dan minimnya penggemar. Syaf Anton juga memaparkan bahwa yang menjadi duri penghambat terdapat tiga hal.
Pertama, enggan mengaku orang Madura ketika berada di luar Madura. Ini menunjukkan rasa cinta dan memiliki terhadap pulau garam mulai merosot. Kedua¸ enggan berkomunikasi memakai bahasa Madura, lebih-lebih bahasa hulunya. Bahasa merupakan identitas yang seharusnya dijunjung tinggi. Tapi, rasa gengsi terutama mereka yang hidup di luar Madura ataupun daerah kota meski masih di Madura lah yang menjadi akar masalah akan munculnya rasa malu dalam menjadikannya sebagai bahasa sehari-hari. Ketiga, paradigma masyarakat luar Madura, bahwa kehidupan orang Madura keras dan kematian menjadi solusi setiap masalah dengan referensi budaya carok.
Pemateri kedua Bapak D. Zawawi Imron dengan kocaknya mengajari beberapa syair Madura kepada para peserta. Ia juga memaparkan bahwa bahasa sangat penting dalam proses mempertahankan budaya-budaya lain yang dimiliki oleh Madura. Jadi, orang Madura harus memulainya dari proses mempertahankan bahasa.
Karena itulah Pak D mengajari mereka beberapa istilah-istilah yang mengandung sastra begitu dalam yang diciptakan oleh orang Madura terdahulu. Salah satu istilahnya yaitu “Gencang tak nyapok bilis, keras tak akeris” yang artinya cepat berjalan, tapi tidak menang atau bisa mendahului semut, dan keras, tapi tidak setajam keris.
Tak jarang, ia juga mengajari para peserta tentang bahasa-bahasa yang sudah tak lumrah dipakai di Madura, seperti soklah lalu disandingkan dengan kata ate, menjadi ate se soklah yang artinya hati yang begitu sangat bersih atau bersinar. Banyak peserta yang mencatat beberapa bahasa yang mulai terlupakan. Keseriusan dalam menyimak juga tampak diraut wajah para peserta.
Beberapa pertanyaan yang menampar juga disampaikan olehnya di sela-sela penyampaian materi. Seperti, “Apakah Sumenep masih pantas menjadi episentrum budaya Madura, jika penyusun muda kamus besar bahasa Madura orang Bangkalan? Apakah Madura masih mampu mempertahankan budayanya, jika beberapa lomba tingkat provinsi yang berbahasa Madura dimenangkan oleh orang luar Madura? Saya rasa butuh rehabilitasi rasa kecintaan terhadap budaya dan penanaman terhadap generasi penerus (anak-anak),” imbuhnya.
Di penghujung penyampaiannya, Pak D juga berpesan kepada para penerusnya jangan menjadi budayawan yang bermental peternak. Peternak akan merawat ternaknya untuk menghasilkan uang. Tapi, budayawan bukan untuk menghasilkan uang, melainkan mempertahankan eksistensi budaya tersebut, memperbaiki jika terdapat kesalahan, dan memperkenalkannya ke masyarakat luas.
Pantun dari Pak D menjadi penutup jalannya acara Deklarasi Padepokan Joko Tole yang dilanjutkan dengan dialog budaya. Makan bersama di ruangan sebelah setelah acara ditutup oleh moderator menjadi puncaknya. Sajian makanan prasmanan langsung diserbu oleh para peserta yang tidak memilih langsung pulang seperti beberapa peserta lainnya.
Menu tradisional, seperti nasi jagong, sate ala Madura, aneka masakan ikan laut, memanjakan selera. Hidangan penutup dengan es yang berisi buah naga dan kelapa muda juga menjadi penambah penyejuk selera. (Tulisan ini dikirim oleh Syahid Mujtahidy, Pamekasan)