Praktik di RS Tipe A bagi Siswa Keperawatan Perlu Evaluasi

Ilustrasi perawat
Sumber :
  • Antara

VIVA.co.id – Menurut Syaifoel Hardy, seorang peserta pelatihan di INT, Fawaz, jebolan sebuah kampus ternama di Surabaya mengatakan kalau jumlah mahasiswa yang praktik di RS dr. Soetomo, sebuah RS terbesar sesudah RSCM, membludak. Terdiri dari berbagai jurusan, yaitu keperawatan, kedokteran, kebidanan, elektromedik, analis kesehatan, gizi, fisioterapi, dan lain-lain.

Demikian banyaknya mahasiswa, sehingga terkesan lebih banyak yang merawat dibanding yang dirawat. Hitungannya bisa mencapai 40:1 antara frekuensi kunjungan calon praktisi dengan pasien. Itu masih dalam artian hitungan fisik kunjungan atau tatap muka. Belum lagi kewenangan, di mana mahasiswa kedokteran misalnya. Ada yang mahasiswa program spesialisasi, Co.Asssistant, yang tidak sama dengan kewenangan mahasiswa Keperawatan Profesi, S.kep, dan D3.

Ada mahasiswa yang aktif, yang saat dinas sore atau malam pandai memanfaatkan waktu untuk bertemu dengan pasien. Selebihnya, yang kategori pasif dan (maaf) acuh tak acuh, tidak bakalan mendapatkan apa-apa. Singkatnya, untuk bisa mendapatkan pengalaman sebuah keterampilan, seorang mahasiswa keperawatan akan rebutan. Baik dengan sesama mahasiswa keperawatan, ataupun dengan kedokteran untuk keterampilan jenis tertentu. Bahkan, untuk bisa melakukan anamnesa saja harus antre panjang.

Seorang rekan saya, asal Lumajang, yang mengambil S1 dan pernah praktik di RS Jiwa terbesar di Jatim, mengatakan, dia tidak mengerjakan perasat apa-apa selama 1 bulan. Jumlah mahasiswa yang praktik, bergantian, rutin dan antre setiap minggu. Hitungannya tidak mencukupi antara jumlah kampus dengan jumlah minggu dalam satu tahun. Meski demikian, sertifikat pengalaman tetap dia dapat. Semua jenis kompetensi yang diharapkan, terpenuhi di atas kertas.

Di RSUD dr. Saiful Anwar, Malang, tidak kurang dari 50 kampus yang praktik. Satu kampus, minimal 40 mahasiswa. Jika programnya 2 kelas, sedikitnya 80 orang untuk satu tingkat. Mereka yang praktik bila dihitung rata-rata harus berada di sana selama 4 minggu. Artinya butuh 200 minggu guna mengakomodasi kebutuhan praktik mereka. Itu berarti, ada 4 kampus yang bersamaan masa praktiknya atau minimal 160 mahasiswa yang membutuhkan bimbingan efektif setiap harinya.

Seorang dosen yang saya temui kemarin di Sulawesi Tenggara mengatakan, biaya praktik rata-rata per mahasiswa mencapai 2 juta rupiah. Belum terhitung biaya hidup dan tranportasi. Bila per hari 30 ribu rupiah, maka sebulan berarti 900 ribu rupiah atau kita bulatkan menjadi 1 juta. Itu berarti, satu kampus, setidaknya harus merogoh kocek 80 juta rupiah untuk setiap kali praktik di RS. Jumlah itu tidak termasuk pengeluaran akomodasi dan transportasi individu mahasiswa. Sebuah jumlah yang cukup besar.

Disampaikan pula, bahwa praktik di RS tipe A adalah syarat. Jumlah RS tipe A di Indonesia ada 58, sementara jumlah institusi keperawatan mencapai 544. Itu berarti, satu RS harus dikeroyok oleh 10 kampus atau 400 mahasiswa sekali praktik untuk satu angkatan. Itu jika yang praktik mahasiswa hanya jurusan keperawatan reguler.

RS tipe A rata-rata tempat tidurnya di atas 400 buah. Itupun, tidak semua terbuka untuk mahasiswa. Area praktik akan dibatasi, termasuk aksesnya. Misalnya kasus-kasus ICU, ICCU, Kebidanan dan penyakit kandungan, Neonatologi, dan lain-lain, kasus kritis di mana hanya seorang spesialis atau perawat senior yang boleh menyentuh. Namun demikian, di atas kertas mahasiswa wajib mendapatkan kompetensi yang harus diisi serta ditandatangani supervisor. Apa yang mahasiswa dapatkan dengan model praktik seperti ini?

Setiap kita setuju bahwa makin tinggi pengetahuan dan keterampilan makin mendongkrak kompetensi. Kasus-kasus yang ada di RS daerah Sulawesi Tenggara, Papua, Maluku, pasti tidak sama dengan yang ada di RS dr. Hasan Sadikin, RSCM, Soetomo, atau Sangla. Semua orang sadar dan mengakui. Bila mau ideal, kita butuh sedikitnya 250 RS tipe A di negeri ini jika ditinjau dari kebutuhan kampus keperawatan untuk jenjang S.kep, Profesi, dan D3. Jumlah itu, manakala tersedia, otomatis bisa meliputi praktik mahasiswa kedokteran dan kebidanan.

Saat ini yang kita miliki hanya 20 persen dari kebutuhan praktik. Sebagai gantinya, mahasiswa bisa praktik di RS tipe B atau RS daerah, tempat mereka belajar. Perlu pula diakui, bahwa sekembalinya mereka dari praktik di RS tipe A ke kampus asal, dan melihat kenyataan di lapangan secara langsung, harus realistis bahwa kasus-kasus yang tidak ditemui di daerah mereka itu hanya sebatas “pengetahuan” yang akan hilang dalam sekejap.

***

Pengetahuan dan pengalaman di RS tipe A pada dasarnya bisa cukup diperoleh dengan membaca, atau dilihat di Google atau Youtube saja. Atau cukup lewat dosen mereka yang ditugaskan untuk praktik di RS tipe A, kemudian diwajibkan untuk menularkan ke mahasiswanya. Praktis, murah, dan realistis. Kita tidak menolak kenyataan, bahwa dengan praktik di RS-RS besar, mereka akan diuntungkan. Namun, seberapa keuntungan mahasiswa jika satu pasien dikerumuni oleh 40 mahasiswa?

Kita banyak berbicara tentang standar pendidikan, praktik, dan manajemen. Kebutuhan di lapangan yang realistis sayangnya seringkali kita abaikan hanya karena atas nama standar serta kertas. Mahasiswa nyatanya hanya jadi “korban”, termasuk orang tua, masyarakat, serta reputasi profesi.

Bagaimana seorang Clinical Instructor (CI) akan mampu memberikan bimbingan efektif kepada mahasiswa praktik yang jumlahnya melebihi kapasitas dia sendiri, yang bahkan melebihi ukuran kelas? Saya setuju, ada CI-CI yang mampu memberikan bimbingan secara efektif, atas nama akreditasi dan sertifikasi. Tetapi berapa jumlah di lapangan yang peduli kecuali hanya sebatas tanda-tangan di atas selebaran kertas ini?

Tidak heran, di atas kertas, lulusan kita sangat rapi kompetensinya. Namun, sesudah lulus, ditanya apa saja yang diperoleh selama kerja di lapangan dengan menyebutkan 5 kasus yang paling banyak ditemui, sebagian besar mereka hanya diam. Apalagi tentang keterampilan mereka.

Kemarin saya bertemu dengan 22 orang mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Sulawesi. Saat ditanya apa saja roles & responsibilities mereka selama mengikuti program profesi, hanya ada 2 (5 persen) orang yang menjawab. Itupun tidak terstruktur. Ada saatnya kurikulum tentang praktik mahasiswa di RS direview.

Di luar negeri, Qatar sebagai contoh, mahasiswa keperawatan hanya praktik di laboratorium. Sesudah lulus, mereka magang, dibayar, dengan bimbingan senior selama minimal 1 tahun. Sesudah 2 tahun magang (internship), kemudian dilepas. Selama internship ini mereka sudah punya STR. Zaman sekarang sangat beda dengan 20-30 tahun silam tentang dunia praktik profesi. Sudah tidak relevan lagi seorang mahasiswa kebidanan misalnya, dituntut untuk mampu menolong persalinan 10 kali. Sementara di lapangan, bidan saja harus merujuk pertolongan persalinan ke Puskesmas terdekat.

Negara kecil kemarin sore seperti Qatar, bisa melakukan hal serupa. Pasien dilindungi, mahasiswa diperhatikan kompetensinya, profesi dijaga reputasinya, keuangan masyarakat dihemat agar tidak sia-sia pengeluarannya. Mari kita buka mata, telinga, hati dan pikiran dengan jernih. Berikan penyusunan kurikulum kepada ahlinya, bukan hanya kepada mereka yang pandai di akademik, penelitian, tapi tidak banyak tahu realitas lapangan.

Praktik di RS tipe A itu sangat penting dan keharusan, namun tidak semua kita membutuhkannya. Praktik di RS Type A bagi semua mahasiswa keperawatan di Indonesia, bagi banyak institusi sudah tidak relevan dan pemborosan. Percaya atau tidak, praktik seperti ini mencekik generasi muda keperawatan secara keseluruhan. Masih butuh lebih banyak buktinya? Lihatlah hasil Ukom serta perolehan kerja mereka sesudah wisuda! (Tulisan ini dikirim oleh La Erwin Hi.Mutalib, Mahasiswa Keperawatan UMI Makassar)