Pengalaman Memalukan saat Pijat Refleksi

akupuntur
Sumber :
  • Pixabay/ Andreas

VIVA.co.id – Akhir minggu kemarin, salah satu teman saya mengajak saya ke sebuah tempat pijat. Tempat pijat? Pijat plus-plus kah? Jelas bukan, karena saya tidak (atau belum) tertarik datang ke tempat begituan. Teman saya yang sudah biasa dipijat, terus meracuni saya dengan bilang kalau sehabis dipijat badan pasti jadi enteng dan beban pikiran bakalan hilang.

Awalnya sih saya ogah-ogahan, tapi setelah diracuni terus-menerus akhirnya saya pun tertarik. Tapi sebelum pergi, saya pastikan dulu yang memijat saya adalah laki-laki dan bukan berada di ruangan yang gelap. Setelah dipastikan “aman”, saya dan teman saya itu akhirnya berangkat ke sebuah mall. Mall ini bisa dibilang mall kelas B dengan market menengah ke bawah (jangan samakan dengan Grand Indonesia atau Senayan City).

Setelah putar-putar sejenak, akhirnya ketemu juga tempat pijat refleksi yang dimaksud. Kesan pertama ketika saya sampai ke tempat pijat tersebut adalah saya sedikit aneh. Aneh karena ternyata tempat pijatnya bukan di dalam ruangan atau ruangan tertutup, tapi di depan sebuah swalayan dengan orang-orang yang hilir mudik di sekitarnya. Saat itu yang ada di pikiran saya adalah saya yakin banget orang-orang yang mau berbelanja mau tidak mau pasti bakal melihat kita yang sedang dipijat.

Perkiraan saya tidak salah. Setelah saya duduk di sebuah kursi pijat dan meluruskan kaki, saya merasa setiap orang yang masuk atau keluar dari swalayan itu pasti ngelihatin saya. Ada anak-anak yang lagi jalan sama ibunya dan melirik ke saya, setelah itu dia bisik-bisik ke ibunya, dan ibunya langsung ketawa-ketiwi.

Saya tidak tahu apa yang bocah itu bicarakan, tapi dari dari mukanya dia seperti bilang begini, "Ma, lihat tuh muka si om, enggak banget ya pas lagi dipijat". Berbeda dengan teman saya yang kelihatannya sudah lebih berpengalaman dalam dunia pijat memijat ini. Dia sudah bawa persiapan. Dia pakai topi, ditutup masker, sambil dengerin iPod. Kelihatan sekali kalau dia nyantai dan menikmati.

Nah, saya? Bagaimana bisa rileks, saya merasa semua mata pengunjung di mall ini seperti sedang memandang saya. Belum lagi, si mas yang memijat saya entah ada dendam apa sama saya, tapi mijatnya keras banget. Dan puncaknya, ketika di satu titik dia memijat kencang sekali sampai berasa urat saya mau putus. Saat itu saya ingin sekali teriak "Sakit banget bro!" Tapi saya tahan karena di sebelah saya ada ibu-ibu haji yang sama-sama lagi dipijat, tapi mukanya dia seperti yang benar-benar menikmati. Malu berat kalau ibu yang di sebelah saya saja menikmati dipijat, kok saya malah jerat-jerit tidak karuan.

Di saat ini, saya mendadak ingat kalau saya bawa iPod di tas. Biar lebih rileks, dipijat sambil dengerin lagu sepertinya lebih baik. Biar sakitnya tidak terlalu terasa dan bikin saya lebih santai juga. Oke, ketika saya nyalakan, lagu yang pertama muncul di telinga saya adalah lagu "Gingham Check" dari JKT48. Lagunya seru, sering saya dengerin lagu ini kalau lagi suntuk.

Salah satu kebiasaan buruk saya kalau lagi dengerin lagu adalah saya sering enggak sadar ikut nyanyi keras-keras sambil mengikuti irama musik. Biar tidak hafal lirik, tapi kalau musik sudah on di telinga, biasanya saya pun ikut nyanyi. Dan saya sama sekali tidak sadar kalau saya sekarang berada di tempat umum.

Saya merem sambil nyanyi lagu Gingham Check yang berputar merdu di telinga. "Ging-ham che-ck Pola dari cinta blue white blue Mana yang ku pilih". Saya menyanyi dari hati sambil menghayati. Sedang enak-enaknya nyanyi, tiba-tiba terapis yang mijat saya menyenggol jempol kaki saya. Saya buka mata sebentar, dan dia kasih kode tangan ke mulut. Kemudian melihat orang-orang di sekitar saya sedang memandang saya sambil senyum-senyum.

Ibu yang ada di sebelah saya geleng-geleng kepala, dan teman saya yang juga dipijat di sebelah saya pura-pura tidak pernah kenal sama saya. Dan saya baru sadar kalau ternyata saya menyanyi terlalu keras. Mending kalau suaranya bagus, lah ini? Oh oke. Mungkin ini adalah kali pertama dan terakhir saya pijat kaki di sini. (Cerita ini dikirim oleh Stefanus Sani, Bandung)