Apakah Kita sedang Diadu Domba?
- VIVAnews/Banjir Ambarita
VIVA.co.id – Indonesia sejak dahulu hingga saat ini merupakan negara sasaran kaum imperialis. Jika dahulu Indonesia dijajah langsung secara frontal, di era sekarang penjajahan yang dilakukan dengan model/gaya baru. Indonesia menjadi sasaran neo-imperialisme, karena Indonesia hingga saat ini negara yang kaya dengan sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) yang "sanggup" diupah murah.
Berapa banyak tambang batu bara, minyak, emas, timah dan sebagainya, hampir di setiap daerah ada dan dieksploitasi besar-besaran. Siapa yang melakukan? Kita semua tahu. Belum lagi potensi tambang yang belum tergali, diperkirakan masih jutaan potensi tambang di Indonesia yang belum tergali. Bahkan, konon katanya, puluhan atau ratusan tahun ke depan, apa yang ingin dikuasai dari negara tercinta ini bukan lagi sektor pertambangan, tetapi air.
Mengapa air? Karena ke depan, negara-negara maju diprediksi akan mengalami krisis air bersih. Hanya Indonesia yang memiliki sumber air melimpah. Jangankan negara maju, perhatikan saja kota-kota besar di Indonesia, sekarang sudah kesulitan mendapatkan air bersih. Ada air bersih, tapi harus beli. Siapa yang menguasai air bersih dan menjual air bersih selain Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Tidak perlu saya sebutkan, kita semua sudah tahu. Berapa harganya? Wow!
Pada akhirnya, mereka yang bisa menikmati air bersih hanya orang-orang tertentu saja, orang-orang berkantong tebal. Oleh karena itulah, mengapa Indonesia sejak zaman kolonial hingga saat ini terus menjadi sasaran negara imperialis dan antek-anteknya. Akan tetapi, negara neo-imperialisme itu sadar, mereka tidak akan mampu melakukan serangan terbuka terhadap Indonesia. Selain mendapat kecaman negara di dunia, perlawanan rakyat Indonesia diakui hingga saat ini sangatlah militan. Apalagi ketergantungan mereka terhadap Indonesia masih sangat tinggi.
Namun, mereka tidak pernah berputus asa. Sampai kapanpun, bagaimanapun caranya Indonesia harus mereka kuasai, dari Sabang hingga Merauke. Strategi apa yang dilakukan? Kita seperti tidak pernah belajar dari pengalaman, bahwa mereka sangat piawai menerapkan politik adu domba, Divide et impera atau politik pecah belah.
Di Indonesia ada dua kelompok organisasi/golongan dengan pemikiran dan perjuangan yang dianggap sebagai penghalang gerakan mereka, yakni kelompok Islam dan kiri. Kedua kelompok ini sangat bertentangan dengan ideologi kapitalisme sampai ke akar-akarnya. Kedua kelompok inilah yang ingin mereka hancurkan, dipecah belah, hingga tak berdaya. Lalu, mulailah mereka menyusup ke ormas-ormas Islam, ormas-ormas kiri, ke media massa, ke partai politik. Kemudian melakukan propaganda, menghasut, mengikis perlahan dari dalam tubuh organsasi itu sendiri.
Lihat saja sekarang, antara ormas Islam banyak berselisihnya. Coba perhatikan, betapa seringnya sekarang berita-berita yang membahas persoalan agama, lalu digoreng oleh media massa seolah-olah menjadi persoalan besar. Masing-masing ormas Islam berbeda pendapat, ulama berbeda pendapat, tokoh agama berbeda pendapat, yang sebenarnya perbedaan pendapat biasa, tetapi didramatisir seolah-olah sebuah pertentangan. Ini akhirnya membuat kekisruhan yang memancing reaksi para pengikut antar organisasi tersebut.
Ada pula ormas yang sengaja memancing emosi ormas lainnya, seolah-olah pendapat merekalah yang paling benar. Padahal mereka sesungguhnya penganut kitab yang sama, kiblat yang sama, dan Tuhan yang sama. Mereka juga tidak segan-segan melakukan fitnah, menuduh orang atau kelompok tertentu sebagai penganut paham radikalisme, terorisme.
Pelan-pelan tapi pasti, mereka juga mulai merambah ke organisasi-organisasi kiri, organisasi yang sangat keras memperjuangkan upah buruh, hak-hak buruh. Organisasi pembela orang-orang tertindas, orang pinggiran, golongan miskin, petani dan sebagainya. Hingga akhirnya, aktivis kiri saling bertentangan, saling bertikai. Mereka yang tadinya sangat solid, akhirnya terpecah, berjalan sendiri-sendiri padahal untuk mencapai tujuan yang sama.
Selanjutnya, kaum neo-imperialisme ini tinggal menghancurkan kelompok/golongan kecil yang dianggapnya sebagai penghalang dengan mudah. Sehingga, penjajah gaya baru itu sukses menancapkan kakinya menguasai Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, tanpa harus angkat sejata. (Tulisan ini dikirim oleh iman.crp)