Rumput Keluarga Kami Berwarna Pelangi
- U-Report
VIVA.co.id – Sudah seminggu ini, Siska menebar mendung di ruang makan. Wajah bundarnya ditekuk sedemikian rupa, menyerupai kain serbet, bekas lap papa, yang terlebih dulu meninggalkan meja makan. Mata sipitnya mengacak-acak nasi goreng di hadapannya, memain-mainkannya dengan sendok dan garpu sehingga menimbulkan suara bising. Satu suapan ia masukkan ke dalam mulut lantas mengunyahnya malas.
"Kenapa cemberut?" tanya mama. Mataku menatap lurus kepada Siska. Siska hanya diam. Wajahnya semakin masam. Bibirnya mengerucut, membuatku kehilangan selera makan. "Ditanya mama kok enggak jawab," tegurku. Alih-alih menjawab, Siska meletakkan sendok dan garpu secara kasar.
"Siska!" hardik mama dengan tatapan tajam. "Kenapa sih papa enggak mau sarapan bareng?" protes Siska tanpa berani menatap mama. "Pulangnya juga larut malam terus," tambahnya. "Tugas kantor memang mengharuskan papa berangkat pagi-pagi. Kadang juga harus pulang malam," ucap mama menjelaskan. "Pak Ubay kok enggak! Padahal mereka satu kantor," tukas Siska. "Tugas mereka beda, Sis!" kilah mama. "Pak Ubay di kantor, sementara papa di lapangan. Lagi pula papa kan kerja untuk kita," mama mencoba menjelaskan. "Mama bisa bilang begitu sama Siska. Padahal mama sendiri kadang bertengkar sama papa karena masalah ini." gerutu Siska.
Mama menghela nafas. Wajahnya tak senang atas ucapan Siska. "Seharusnya kamu bersyukur papa masih pulang setiap hari. Bayangkan kalau papa jadi TKI. Belum tentu tiga tahun sekali pulang," kata mama menasehati Siska. Sebenarnya jauh di dasar hatiku, aku merasakan kegelisahan yang sama dengannya. Aku hanya ingin Siska bersikap santun kepada orang tua.
"Kalau jadi TKI sekalian, Siska bisa memahami. Tapi papa kan bukan TKI." ujar Siska. "Kalau mau protes sama papa saja, tapi jangan menyia-nyiakan nasi. Di luar sana masih banyak orang yang tidak bisa menikmati seperti apa yang kamu makan," kata mama menasehati Siska. "Ketemu papa saja cuma beberapa menit, kapan Siska bisa protes?" gerutu Siska. "Sudahlah, habiskan sarapan kalian. Sudah setengah tujuh," kata mama menengahi.
"Siska berangkat sendiri saja. Malu diledek anak manja sama teman-teman," ujar Siska sembari beranjak dari duduknya. "Jangan bertingkah!" hardikku. Siska tak menggubrisku. Ia meraih tas, lantas mencium tangan mama. "Siska!" panggilku. Ia mengacuhkanku. Ingin aku kejar, tapi percuma, wataknya sangat keras, semua keinginannya harus tercapai. "Biarkan saja," suruh mama.
Aku mendengus kesal melihat tingkah Siska. Tak hanya sekali ini ia menolak aku antar, tapi mama selalu membiarkannya. Aku tak habis pikir, hanya gara-gara diledek teman-teman ia malu berangkat bersamaku. "Siska ngambek karena papa menolak membelikannya motor kan, Ma?" tanyaku. Mama memandangku resah. Sikap diamnya semakin membuatku yakin jika dugaanku benar.
"Belikan saja kenapa, Ma! Dengan begitu Dani tak perlu takut terlambat sampai kampus," pintaku. "Papa khawatir, Dan. Usia Siska belum tujuh belas tahun," kilah mama. "Banyak teman Siska yang belum punya SIM, tapi mereka bawa motor sendiri ke sekolah." ujarku. "Mereka bukan anak mama dan papa!" kata mama mengingatkan. "Jadi, kalau anak mama tidak boleh bawa motor sendiri ke sekolah?" tanyaku. "Bukan begitu, Dan," sanggah mama. "Ini masalah tanggung jawab. Orang tua yang memanjakan anak tanpa peduli dengan risiko itu urusan mereka. Mama dan papa mendidik kalian untuk menaati peraturan. Kedisiplinan itu dimulai dari keluarga. Apa mama salah?"
Aku menggeleng lemah. Dalam hati aku membenarkan ucapan mama. Jika setiap orangtua berpandangan sepertinya, tentu tak akan ada kecemburuan dalam hati Siska. "Soal papa, apa benar mama sering bertengkar dengannya?" tanyaku mengalihkan topik. "Dalam rumah tangga, hal seperti itu lumrah. Yang penting adalah bagaimana masing-masing menyikapinya. Jika saling ingin menang sendiri, rumah tangga tak bisa utuh." Aku mengangguk paham. "Mama pernah membicarakan tentang papa yang hanya punya sedikit waktu untuk keluarga," lanjut mama. "Tapi pada akhirnya mama sadar bahwa tidak semua yang kita inginkan harus tercapai. Papa juga sudah berusaha untuk meluangkan waktunya. Berilah kepercayaan kepada papa."
Pak Ubay membuka pintu belakang Xenia hitamnya. Dua alat pancing dan sebuah kardus ia masukan ke bagasi. Istri dan dua anaknya bercanda riang sambil berkemas-kemas. Setelah itu mereka masuk ke mobil. Mesin mobil menyala, lantas berjalan pelan keluar dari halaman rumah. "Kasihan!" ledek Siska, mengagetkanku. Ia memiringkan kepalanya sambil menatap wajahku. "Siapa yang kasihan?" tanyaku kesal. "Kak Dani!" ujarnya. "Kasihan kenapa?" tanyaku bingung. "Hanya bisa memandang, tak bisa merasakan," jawab Siska. "Maksudnya apa?" tanyaku mulai kesal. "Kak Dani iri kan sama keluarga Pak Ubay?" tanyanya sok tahu."Kamu itu tanya apa curhat?" aku balik bertanya. "Curhat sekaligus tanya!"
Aku berkacak pinggang. "Jangan samakan aku dengan kamu!" Siska tertawa meledek. "Berarti benar, Kak Dani memang perlu dikasihani." Aku menjitak pelan kepala Siska. "Kamu tuh yang perlu dikasihani." Siska meringis pura-pura sakit. "Ngaku saja kalau Kak Dani juga ingin keluarga kita seperti keluarga Pak Ubay. Setiap hari libur pergi keluar. Jika tak keluar pun mereka bisa berkumpul," jelasnya. "Tak perlu iri dengan orang lain. Syukuri apa yang ada. Hidup adalah anugerah," kataku mengutip lirik lagu D'Masiv. Siska mencibir, "Munafik! Padahal Kak Dani iri melihat keluarga Pak Ubay. Kak Dani juga ingin keluarga kita punya mobil bukan?" cecarnya. "Tidak!" sanggahku, meskipun dalam hati aku mengakui tuduhan Siska.
Siapa yang tak ingin bisa bercengkerama dengan keluarga? Ya, aku ingin papa punya waktu yang cukup untuk kami. Soal mobil, aku memang ingin keluarga ini memilikinya, tapi itu tidak terlalu merisaukan. Memang, kadang aku berpikir kenapa papa tidak mau membeli mobil. Menurutku, gaji papa cukup untuk membayar angsuran kreditnya. Ah! Jangankan mobil, beli sepeda motor baru untuk Siska saja papa tak mau. "Melamun berarti mengakui!" tuduh Siska sambil meninggalkanku dengan raut kesal.
Hangat mentari pagi masih kalah hangat dengan adanya papa di rumah. Aku sudah lupa kapan terakhir kali papa meluangkan waktu untuk keluarga di hari Minggu. Tak perlu aku hitung karena yang terpenting adalah kami bisa berkumpul bersama meski pun hanya di rumah. Mungkin akan lebih indah bila kami pergi jalan-jalan, tapi aku tak mau berharap terlalu banyak. Papa pasti akan memperhitungkan berapa rupiah yang harus ditariknya dari mesin ATM.
Kami hanya duduk-duduk di teras rumah sambil ditemani teh hangat dan sepiring singkong rebus. Canda riang kami terganggu oleh suara mesin pemotong rumput yang dipakai Pak Ubay. Ia sedang memangkas rumput di halaman rumahnya. Menyenangkan sekali tampaknya. Tak perlu repot mencabuti satu persatu seperti yang biasa aku lakukan. Lebih menyenangkan lagi, mereka sekeluarga bekerjasama merapikan taman. Istrinya menyirami bunga-bunga, sedangkan kedua anaknya mengumpulkan potongan-potongan rumput yang tercecer. Di pinggir taman, es jeruk telah siap menunggu mereka.
"Rumput tetangga memang terlihat lebih hijau," ucap papa. "Ada yang tahu kenapa?" Aku, Siska dan mama saling pandang. Kami diam, tak ada satu pun yang bisa menjawab. "Tak ada yang tahu kenapa?" tanya papa memastikan. "Karena tetangga merawat rumputnya, sedangkan kita hanya bisa memandang saja." Kami tertawa bersama. Lelucon papa menohokku. Aku merasa tersindir, entah dengan Siska. "Papa tahu kalian butuh perhatian, tapi keadaan menuntut papa untuk berangkat pagi-pagi sekali sebelum kalian bangun dan pulang saat kalian terlelap. Beberapa kali papa sudah mengajukan untuk pindah tugas di kantor, tapi pimpinan belum mengabulkan," lanjut papa menjelaskan.
Ini semacam klarifikasi menurutku. Mungkin mama menyampaikan semua keluhanku dan Siska kepada papa. "Sampai kapan, Pap?" tanya Siska penuh harap. Papa membelai rambut panjang Siska. "Pimpinan menjanjikan sebulan lagi," jawabnya. "Yaaah! Kok lama banget sih?" gerutu Siska. "Tidak juga," sanggah papa. "Itu waktu yang cukup untuk menambah saldo tabungan papa dari bonus dan lemburan," terangnya lagi. "Papa, uang saja yang dipikirkan," gerutu Siska. "Nyatanya, Siska minta dibelikan motor saja papa tak memberikannya."
"Bukannya papa pelit," sanggah papa. "Tapi saat ini kamu belum membutuhkannya. Mungkin nanti jika usiamu sudah cukup untuk mengajukan kepemilikan SIM," terang papa. "Papamu bisa saja membeli mobil secara kredit seperti Pak Ubay," timpal mama. "Tapi papa sudah memberikan apa yang lebih kalian butuhkan. Papa sudah membeli dua kavling tanah. Satu untuk Dani dan satu untuk Siska."
"Hah?" tanpa dikomando aku dan Siska terperangah bersama. "Kok tanah?" protes Siska. "Tanah adalah investasi paling menguntungkan. Kalian boleh mendirikan rumah di atasnya. Jika dijual untuk modal usaha juga boleh. Terserah, itu milik kalian. Tapi jika sudah lunas kreditnya." ucap papa menjelaskan. "Kapan lunasnya, Pa?" tanyaku yang tertarik dengan pemberian papa. "Bulan depan" jawab papa. "Horee!" teriakku senang.
Di benakku terbayang harga tanah yang akan naik berlipat-lipat jika kujual untuk kugunakan sebagai modal usaha setelah lulus kuliah nanti. Mama menggenggam jemari Siska yang masih tak puas dengan kejutan papa. "Rumput tetangga boleh lebih hijau, tapi rumput kita berwarna-warni seindah pelangi. Kita punya konsep yang jelas untuk membangun rumah tangga. Kalian sudah punya bekal untuk masa depan. Kita juga terbiasa hidup sederhana. Jika kelak kalian sukses, papa harap kalian tetap mempertahankan kesederhanaan," ucap papa.
"Senyum dong, cantik!" mama menyinggung lengan Siska. Siska tersenyum dipaksakan. Tiba-tiba ia mengerling jahat kepadaku. "Rumput pelangi kita belum dirapikan, Pa!" ucapnya. "Oh, iya, papa sampai lupa. Kalau begitu mari kita rapikan!" ajak papa. Aku terperangah. Terbayang di benakku bagaimana lelahnya mencabuti rumput satu per satu. (Cerita ini dikirim oleh Akhmad Al Hasni, Kendal, Jawa Tengah)