Hubungan Rumit antara Ayam dan Pemiliknya

Ayam, dilema antara hewan peliharaan tersayang dan santapan.
Sumber :
  • U-Report

VIVA.co.id – Hubungan antara manusia dan ayam peliharaan, bukan ayam ternak, termasuk hubungan yang paling rumit dan berbahaya. It’s complicated, meminjam istilah status hubungan di berbagai media sosial bagi mereka yang punya hubungan percintaan memusingkan kepala. Menikah tidak, single pun bukan.

Hubungan rumit dan berbahaya ini setidaknya terjadi di daerah tempat saya tinggal. Kami sebagian besar tidak menjadikan anjing dan kucing, dua jenis hewan yang paling umum dijadikan binatang peliharaan, sebagai santapan. Kucing dan anjing di daerah rumah saya punya nasib senilai nol persen saja untuk berakhir di meja makan. Kalau ayam, lain persoalan. Kisah mereka sering tragis. Kalau sudah terlalu tua atau didiagnosis sakit tak tertolong, banyak yang diakhiri hidupnya. Begitu akan lebih bermanfaat daripada cuma membangkai, pikir si empunya.

Namanya Bolo-Bolo, panggilan kesayangan Bolo. Namanya memang diambil dari lagu epik yang dilantunkan penyanyi yang semasa cilik chubby lucu dan kini cantik langsing itu, Tina Toon. Bolo bulat, gemuk, dengan bulu-bulu putih halus menggemaskan. Ayam negeri kesayangan keluarga abang saya ini berkelakuan bak princess. Punya kandang khusus paling bersih dengan tempat kehormatan di samping rumah, sebagai salah satu aksen taman kecil milik abang saya yang hobi berkebun. Sementara itu, belasan atau puluhan (saya tidak tahu persis jumlahnya), harus puas berdesak-desakkan di beberapa kandang di belakang rumah, dekat dengan wilayah saluran pembuangan.

Bolo malas bergerak tapi entah mengapa selalu terlihat cute. Mungkin karena malas bergerak itu, sekalinya bergerak ayam betina ini bisa membuat yang melihatnya melonjak-lonjak kegirangan atau melongo tersihir sambil senyum-senyum sendiri karena begitu lucunya. Kepalanya bergerak ke kiri dan ke kanan. Pantatnya yang berlemak berlenggak-lenggok. Saya yang sebenarnya lebih cat person, kalau melihat Bolo beraksi bahkan ingin memeluknya.

Bolo rutin dimandikan dengan air selang, dan dengan gembira dia duduk serta berusaha mengekspos perutnya. Hampir persis seperti kucing yang minta belly rub. Dia bergerak-gerak kesenangan, dengan wajah memancarkan kepuasan. Sumpah. Segar sehabis mandi, jarang ada ayam yang terlihat sebegitu bersih, segar, dan bulat sempurna.

Bolo benar-benar dimanja, bukan hanya oleh manusia tetapi juga teman sesamanya. Di kandang, dia diberikan pendamping supaya merasa lebih nyaman dan terpenuhi kebutuhannya. Makanan selalu tercukupi, dan si pejantan selalu mendahulukan pujaan hatinya. Dia selalu memastikan bahwa Bolo got the best bites. Sekali-kali mereka keluar kandang, berjalan-jalan berdua bermesraan. Kalau sayap bisa saling berkait, mereka pasti sudah bergandengan.

Si pejantan tak bernama yang berjenis ayam kate ini tentu berukuran jauh lebih kecil dari pasangannya, dan memiliki gerakan yang jauh lebih gesit daripada Bolo yang semlohay (baca: overweight) tak terkira. Demi tak meninggalkan Bolo, pasangannya itu rela mengubah langkahnya menjadi langkah-langkah yang lebih kecil. Jika ada ayam jantan lain yang mengincar, dia busungkan dada sehingga seolah ukurannya jadi berlipat ganda, lalu tak ragu-ragu menyerang untuk mengusir ayam lain dari teritori asmara mereka.

***

Tapi minggu lalu berbeda. Abang saya kedatangan besan, yaitu mertua dari anak laki-laki keduanya, beserta keluarga. Rumah abang saya ini berdekatan dengan rumah ayah saya, tempat saya tinggal. Di ruang tamu ayah saya, kemenakan saya bercerita kepada kakeknya bahwa mertuanya datang. Ayah saya bertanya, “Mama masak apa? Ada makanan, tidak?” Tentu tamu selayaknya harus dijamu. Kemenakan saya mengiyakan. “Ada, Kek. Bolo dipotong,” jawabnya keras kepada ayah saya yang pendengarannya kurang baik.

Mendengar itu, saya yang sedang membuat teh untuk diri sendiri di dapur langsung terbengong. Tangan saya yang sedang turun naik mencelupkan kantung teh ke dalam cangkir terhenti di udara. Bolo bernasib sama dengan ayam-ayam pendahulunya? Tapi kan mereka tidak istimewa.

Ketika tamu-tamu sudah pulang, saya menanyakan kepada abang saya tentang apa yang saya dengar. Bukan kepada abang pemilik ayam, tetapi abang lain yang paling beredar dan gaul di daerah rumah. Sehingga hampir bisa dipastikan mengetahui dan punya jawaban atas segala peristiwa atau misteri di rumah. Abang saya menjelaskan bahwa Bolo sudah kesulitan bergerak beberapa hari belakangan, mungkin karena obesitasnya itu. Dia juga sudah tua. Mungkin usianya setahun, dua tahun atau lebih, saya sendiri tidak tahu tepatnya. Sepulang saya datang dari bertugas di negeri seberang setahun lalu, Bolo sudah ada.

“Sebelum dipotong, sudah minta izin Liza dulu,” kata abang saya. Liza adalah anak bungsu abang saya yang melakukan self proclaim bahwa Bolo adalah peliharaannya, meski dia tidak ikut andil merawat. Dia bilang akan menangis jika Bolo dipotong. Rupanya karena dia melihat bahwa masa depan Bolo sudah pasti tidak akan cerah karena kesehatan yang terus menurun, anak kelas 5 SD itu memasrahkan.

Lalu keesokan hari, kakak ipar menawarkan jika saya ingin menyantap ayam goreng. Saya tanyakan apakah itu Bolo, “Iya,” katanya. Saya menggeleng sambil tersenyum agak dipaksakan. Merasa agak lemas. Bukan berarti saya menyalahkan tindakan mengubah nasib Bolo dari hewan kesayangan menjadi hidangan keluarga.

Tetapi, terpikir oleh saya jika saya tinggal di suatu wilayah yang budayanya menghalalkan memakan kucing, besar kemungkinan jika kucing saya Garfield yang telah menemani saya mengarungi suka duka bertahun-tahun lalu sakit-sakitan, saya tidak akan pikir panjang untuk merendangnya, misalnya. Sebab apa bedanya kucing, anjing, ayam, sapi, kerbau, babi, dan makhluk-makhluk lain non manusia itu? Semuanya sama berdaging dan bisa dimakan. Hanya masalah kebiasaan. (Cerita ini dikirim oleh Sylvia Masri)