Orang Tua yang Pilih Kasih
- Pixabay
VIVA.co.id – Siapa yang tidak ingin hidup bergelimang harta? Siapa yang tidak ingin hidup sukses? Siapa yang tidak ingin membahagiakan kedua orang tuanya? Semua anak pasti berpikirnya selalu ingin membahagiakan kedua orang tuanya kelak ketika hidup sukses. Walaupun tidak sukses, setidaknya bisa membahagiakan orang tua dengan jerih payahnya walau tidak seberapa.
Saya adalah 4 bersaudara, semuanya wanita. Saya adalah anak paling kecil, ketiga kakak saya dibesarkan oleh kedua orang tua saya sedangkan saya dibesarkan oleh nenek di kampung. Kedua orang tua saya tinggal di Jakarta bersama kakak saya yang kedua. Mereka hidup serba berkecukupan. Sekarang saya hanyalah lulusan SMK yang cuma jadi pengangguran. Orang tua saya menyarankan saya untuk pergi ke Jakarta dan mereka berjanji akan menguliahkan saya sampai sarjana.
Dengan senang hati saya pun pergi ke Jakarta. Dengan hati yang berbunga-bunga saya sudah membayangkan kalau saya menjadi anak kuliahan dan menjadi seorang mahasiswi. Di Jakarta, saya tinggal di tempat kakak dan kedua orang tua. Seminggu setelah saya di Jakarta, saya hanya membantu beres-beres rumah dan mengasuh keponakan yang masih kecil- kecil. Kakak saya bekerja, ibu saya berjualan di rumah makan, dan bapak seorang satpam di sebuah perkantoran.
Suatu hari saya menanyakan tentang nasib dan kelanjutan tentang sekolah saya, tapi orang tua saya malah menyuruh saya mencari pekerjaan. “Tidak usah kuliah, duit darimana?!” kata ibu tegas.
Saya hanya melengos kesal. Tapi bukan Arie namanya kalau tidak keras kepala. Dengan bermodalkan uang 70.000 rupiah, saya memberanikan diri mendaftar kuliah di salah satu universitas swasta dan memberikan persyaratan yang dimintanya. Alhamdulilah, saya akhirnya bisa menjadi mahasiswa di universitas itu.
Sekarang saya hanya memikirkan bagaimana caranya membiayai kuliah saya sendiri. Saya berusaha mencari pekerjaan dan tetap melakukan aktivitas kuliah di sore hari dengan mengambil kelas karyawan. Saya harus membuktikan kepada keluarga saya kalau saya mampu kuliah tanpa mereka.
Saya sebenarnya iri kepada kakak-kakak saya yang dikuliahi oleh kedua orang tua saya. Bahkan sampai menjadi perawat dan yang satu sampai bekerja di sebuah kantor bonafide. Sedangkan saya? Harus bersusah payah mencari uang sendiri untuk kuliah. Saya terbiasa melewati hari-hari dengan santai, dan uang kuliah yang ada benar-benar tidak berani saya pakai karena sebentar lagi ujian semester tingkat 2.
Saya pulang kuliah sampai larut, kadang bisa sampai jam 11 malam baru keluar kampus. Pagi harinya saya bekerja sampingan menjadi akuntan abal-abal di sebuah pul Metromini. Apapun saya lakukan demi membiayai kuliah.
Sampai suatu hari, saya dimintai tolong oleh kakak. Dia meminjam uang kepada saya, katanya ada keperluan. Saya hanya memegang uang sebesar 700 ribu rupiah dan itu pas banget untuk bayar kuliah saya. Kakak saya berjanji besok akan dibayar, tapi sampai waktunya tiba uang itu tidak juga dikembalikan dan saya hanya bisa pasrah karena tidak bisa membayar uang semester.
***
Marah? Iya. Entah sengaja atau tidak, tapi ini benar-benar keterlaluan. Dengan penuh kekesalan dan sakit hati saya menulis surat pengunduran diri ke kampus dan diserahkan ke bidang keuangan. Saya tidak sengaja mengeluh kesah kepadanya. Saya pun tidak tahu dia siapa, hanya saja setiap pembayaran uang kuliah dia yang menanganinya.
Saya menatap anak tangga yang lengang. Mereka sudah memasuki ruangannya masing-masing untuk mengikuti ujian tengah semester. Sedangkan, saya hanya duduk di depan bidang keuangan dan menyerahkan surat pengunduran diri dengan mata berkaca-kaca. Mungkin ini suatu keberuntungan bagi saya. Bagaimana tidak? Bapak-bapak tua di hadapan saya menyodorkan surat legitimasi untuk mengikuti ujian yang sedang berlangsung. Dengan bingung saya menerimanya.
Dia menyuruh saya mengikuti ujian yang sudah dimulai setengah jam yang lalu. “Ikutlah ujian, saya lihat kehadiran masukmu 100 persen, jadi jangan bingung memikirkan biaya kuliah. Masuklah dan ikut ujian.” Antara sadar dan tidak, saya menjabat tangannya dengan gembira. Kemudian dia menyuruh saya cepat-cepat mengikuti ujian.
Hampir semua teman saya di ruangan bingung menatap saya. Saya pun malu karena tadi sempat berpamitan kepada mereka kalau saya hendak keluar kuliah. Tapi semuanya bisa dijelaskan dengan gembira sambil mengikuti ujian.
Cobaan kehidupan saya tidak sampai di sini saja. Bahkan pernah sampai saya benar-benar berhenti kuliah karena memang tidak ada yang membantu dan mendukung. Akhirnya dengan berat hati saya keluar dan mencari pekerjaan lain. Saya bekerja menjadi penjaga pakaian di mall dan menjalani kehidupan sendiri tanpa saudara-saudara saya.
Sampai saya menikah pun perbedaan yang sangat menonjol sekali diperlihatkan oleh keluarga saya. Bagaimana tidak, semua kakak-kakak saya menikah di gedung mewah sedangkan saya hanya menikah di rumah penghulunya dengan biaya dandanan salon yang hanya perlu uang sebesar 60 ribu saja. Saya benar-benar diperlakukan berbeda dengan saudara saya yang sukses itu. Saya tetap sabar dan benar-benar mensyukurinya. Mungkin ini jalan satu-satunya menuju kesuksesan kelak di dunia dan akhirat nanti.
Saya mulai hidup dengan suami dan dikaruniai seorang anak perempuan. Namun tetap saja kedua orang tua saya selalu membeda-bedakan pemberian kepada anak saya dan kepada cucu-cucunya yang lain, terutama anak-anak kakak saya. Mungkin perbedaan harta yang membuat kedua orang tua saya begitu. Tidak adil dalam bersikap yang secara tidak langsung memberikan goresan luka yang terus menerus membuat luka itu semakin dalam.
Tapi saya sebagai anaknya sama sekali tidak membenci mereka. Hanya menyayangkan sikap mereka saja yang selalu membangga-banggakan kakak-kakak saya dan menceritakan kepunyaan yang mereka miliki yang di dunia tidak pernah kekal, yaitu harta. Sekali lagi, saya sebagai anak sangat mencintaimu, menyayangimu. Mungkin pemberian saya tidak seberapa, tapi itu hasil jerih payah saya. Walaupun sedikit saya sangat ikhlas. (Cerita ini dikirim oleh Aryand16)